Towards The D Day (04)
“Iya, Buk. Sebentar lagi Stella pulang,” ucap Stella, sembari menerima panggilan Ibu nya, ia sembari membereskan meja nya.
Ini sudah jam sebelas malam, dan besok adalah acara akad nikah Jelang dengan Stella. Dan hari ini kedua calon pengantin itu masih bekerja, Stella sudah akan pulang. Tapi Jelang masih berada di lapangan untuk penyelidikan.
“Kamu nih sama Jelang niat nikah gak sih, La. Besok pagi loh udah akad kalian, tapi masih bisa-bisa nya kerja,” omel Ibu sepanjang telfon.
“Iya, Ibu ini Stella udah mau pulang beneran, kalo Stella jawab Ibu terus Stella gimana nyetirnya? Stella tadi juga udah telfon Jelang kok, dia juga udah perjalanan pulang.”
“yaudah, hati-hati kalo begitu. Ibu tunggu di rumah ya, La.“
“Hhmm.. Dah Ibu.”
Setelahnya Stella menyimpan ponselnya di saku celananya, dan bergegas untuk keluar dari gedung BFN. Gedung sudah tampak sepi, rencananya Stella ingin memakai jatah cutinya selama dua hari setelah akad nanti, makanya hari ini ia harus lembur demi menyelesaikan beberapa visum et repertum nya.
Tidak ada yang mencurigakan malam itu sampai akhirnya Stella melihat bayangan laki-laki di kaca mobilnya, alih-alih langsung membuka pintunya Stella berusaha tenang. Ia pun akhirnya berbalik, dan menghindar saat lelaki yang di tutupi wajahnya dengan masker, topi dan pakaian serba hitam itu menyerangnya lebih dulu.
Karena dulu ingin menjadi polisi, Stella ini banyak di bekali ilmu bela diri yang lumayan. Begitu berhasil menghindar, Stella memberikan serangan pada laki-laki itu dengan kakinya. Ia menendang bagian terlemah seperti perut dan juga bagian belakang kakinya, agar laki-laki itu tumbang. laki-laki itu sempat terjatuh, Namun tidak lama karna ia kembali menyerang Stella.
Laki-laki itu menendang bahu Stella dengan kencang sampai ia mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri, jujur, bahunya terasa ngilu namun Stella masih bisa menahannya.
“Arghhhh brengsekkk siapa lo!!” pekik Stella, laki-laki itu lumayan tangguh, tapi Stella jauh lebih unggul.
Pada serangan ketiga yang ia beri pada uluh hati dan membanting lawan ke tanah, ia berhasil membuat lawannya tumbang dan mengunci kedua lengan lawan ke belakang tubuhnya. Tidak lupa, Stella juga menindihi laki-laki itu dengan duduk di atasnya.
Laki-laki itu masih diam, karena tidak mendapatkan jawaban, Stella akhirnya membuka topi dan masker yang menutupi wajah laki-laki yang menyerangnya. Laki-laki yang tidak Stella kenali sama sekali, tapi Stella punya feeling jika laki-laki itu adalah preman bayaran yang di pakai untuk menyerangnya.
“Lo di bayar sama siapa? Jawab!!” sentak Stella.
“Ampun, Mbak. Lepasin Mbak, saya bisa jelasin.” rintih laki-laki itu pada Stella.
Stella tidak ingin lengah, untungnya ia sempat menaruh beberapa kabel ties di kantung bajunya. Jadi ia ikat kedua tangan laki-laki itu dengan kabel ties dan masih menahannya tepat di depan mobilnya. Stella juga menelfon polisi untuk membuat laporan bahwa ia di serang.
“Jawab, siapa yang nyuruh lo brengsek!!” Stella teriak dan menarik kerah baju yang laki-laki itu pakai.
“Tangan kanan nya Pa...Pak Gatot,” jawab laki-laki itu dengan suara yang bergetar.
Stella menghela nafasnya pelan, sesuai dengannya. Stella memang sedang menangani kasus yang meresahkan akhir-akhir ini.
Dua minggu yang lalu, Stella sempat mengautopsi jasad anak-anak yang di duga gelandangan, karena tidak memiliki identitas dan tidak memiliki keluarga sama sekali. Ada sekitar lima belas jasad yang Stella dan tim forensik autopsi, dan yang lebih mengejutkannya lagi, beberapa organ tubuh mereka ada yang hilang.
Kebanyakan yang di ambil adalah ginjal dan yang kedua adalah jantung, ini adalah sindikat penjualan organ tubuh ilegal yang melibatkan gelandangan sebagai target utama mereka mendapatkan organ.
“Bilang sama bos lo, gue pastiin dia bakalan dapat hukuman berlipat ganda setelah lakuin hal ini ke gue!” ancam Stella.
Tidak lama kemudian mobil polisi pun tiba, sesuai dugaan Stella. Ada Jelang dan Davin juga di sana. Jelang tampak khawatir berlari ke arah Stella yang kini duduk di depan pintu masuk gedung BFN.
“Lo gapapa, La? Ada yang luka gak?” tanya Jelang, ia memeriksa tangan dan leher Stella. Namun semuanya baik-baik saja, tidak ada luka sedikit pun.
“Gue gapapa, Lang. Lo tuh harusnya khawatir sama yang nyerang gue, karna dia babak belur banget,” jawab Stella dengan kekehannya.
“Brengsek!! Tunggu disini sebentar.”
Setelah mengatakan itu, Jelang pergi sebentar dan menahan Davin yang tengah memborgol laki-laki yang menyerang Stella. Emosi Jelang sudah di ujung kepalanya apalagi masalah ini menyangkut keselamatan Stella.
“BRENGSEKKK!!!”
BUG
Jelang memberikan bogem mentah pada lelaki itu tepat di wajahnya hingga darah segar mengalir di sekitar bibir dan hidungnya. Sebelum Jelang semakin naik pitam, akhirnya Stella berlari ke arah Jelang dan menahan tangan cowok itu. Sementara Davin dan polisi lainya berusaha melindungi laki-laki tadi dari serangan Jelang.
Biar bagaimana pun juga, tersangka harus tetap di lindungi dan di adili di pengadilan.
“Lang, Lang. Udah, biar ini semua di proses secara hukum aja,” kata Stella, tangannya masih menahan lengan Jelang.
“Dia udah hampir bikin lo celaka, La! Heh!! Ingat lo, lo bakal ketemu gue lagi di ruang interogasi!!” teriak Jelang.
“Bang, udah, Bang. Ini biar jadi urusan gue, lo fokus aja buat besok yah.” kata Davin menimpali, setelah laki-laki tadi di bawa masuk ke mobil.
“Dok, mending sekarang lo ajak Bang Jelang balik deh, dia udah capek banget kayanya,” lanjut Davin.
Stella mengangguk pelan, “thanks ya, Vin.”
Begitu mobil polisi dan mobil yang membawa laki-laki tadi meninggalkan gedung BFN, barulah Stella menggandeng Jelang untuk masuk ke dalam mobilnya. Nafas cowok itu masih memburu, Stella tahu Jelang masih berusaha mengontrol emosinya. Terlihat dari bagaimana kedua tangan itu mengepal hingga buku-bukunya memutih.
“Lang?” panggil Stella. Cowok itu tidak menjawab tapi Jelang menoleh ke arahnya.
“Gue gapapa.” Stella berusaha menyakinkan Jelang, ia tersenyum dan menunjukan pergelangan tangannya yang sedikit memerah. “Cuma punggung tangan gue aja yang lecet dikit, kayanya nghajarnya kekencangan.”
“Lo lagi megang kasus apa sih, La?” tanya Jelang tegas.
Stella hanya menghela nafasnya pelan, ini bukan kejadian yang pertama. Tapi sudah lima kali Stella mendapatkan serangan seperti ini. Kadang dia merasa beruntung, karena Tuhan masih melindunginya di tengah pekerjaannya yang sangat berisiko..
“Sindikat penjualan organ manusia ilegal, korban nya kebanyakan tuna wisma yang gak punya keluarga, targetnya anak-anak, remaja sampai orang usia 40an.”
“Siapa yang megang kasusnya?”
“Lang..”
“Siapa, La?”
“Ipda Hema,” jawab Stella. “Lang, udahlah. Gue juga gapapa kok.”
Jelang baru bisa mengendalikan emosinya, setelah memperhatikan wajah Stella lamat-lamat. Ia akhirnya mengangguk, dia lega Stella gak kenapa-kenapa. Demi membuat Jelang jauh lebih lega, akhirnya Stella memeluk cowok itu, ia merangkul Jelang dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Gue gapapa, Lang. Makasih udah datang yah..”
“Gue datang terlambat, La..”
Stella hanya tersenyum, begitu Jelang memeluk pinggangnya dan membuat jarak diantara mereka semakin terkikis, barulah Stella merasakan nyeri yang menjalar di bahunya.
“Aw.. Lang, sakit..” rintih Stella yang membuat Jelang melepaskan pelukan mereka.
“Kenapa, La?”
“Bahu gue, kayanya cidera. Gue sempet di tendang sama laki-laki tadi.”
“Ke rumah sakit yah, gue gak mau itu makin parah.”