What Lies Ahead

Begitu mendapatkan hasil autopsi dari Stella, Jelang langsung menuju ke TKP untuk meminta salinan CCTV yang ada di sana sebagai barang bukti jika hari itu memang benar pacar korban lah orang yang terakhir keluar dari apartemen itu. Sebelumnya Jelang sudah menanyai beberapa tetangga korban, dan melihat CCTV di loby, di hari terakhir korban terlihat.

Di perjalanan Jelang fokus untuk menyetir, sembari sesekali ia meminta Hellen untuk terus memantau pergerakan tersangka melalu GPS ponselnya. Hellen ini adalah kepala digital forensik di kepolisian, Hellen pandai menggali informasi tentang para penjahat, termasuk melacak keberadaan korban bahkan meretas sekalipun..

“Gue gak habis pikir ceweknya yang bakalan ngehabisin nyawa cowoknya sendiri,” gumam Davin di sebelah Jelang.

Jujur Jelang juga tidak menyangka, di dengar dari bagaimana hubungan mereka yang sudah berjalan dua belas tahun, dan bagaimana image keduanya di mata tetangga sekitar, memang kalau di pikir rasanya mustahil jika pelaku yang melakukan ini pada korban ternyata pacarnya sendiri.

“Menurut lo, Bang. Kenapa Nona Nia bunuh pacarnya sendiri?” tanya Davin.

“Cemburu, abusive atau bahkan hal-hal sepele lainya bisa terjadi, bisa juga karena korban meras pelaku. Lo tau kan si korban enggak kerja, alis Nona Nia pacaran sama seorang pengangguran,” jelas Jelang, sudah banyak sekali kemungkinan di kepalanya, namun yang paling mendekati adalah opsi terakhir.

“Bisa jadi sih.”

Begitu lampu merah terakhir menuju gedung apartemen itu berubah menjadi hijau, Jelang langsung tancap gas untuk langsung masuk ke gedung apartemen itu. Security disana sudah tau jika Jelang seorang polisi, jadi ia tidak perlu meninggalkan kartu tanda pengenal lainya. Dan bisa langsung menuju kantor manajemen untuk meminta salinan CCTV nya.

“Bu Nia terakhir keluar di tanggal 15 november, setelah itu dia enggak pernah kembali ke unit pacarnya lagi. Pacarnya pun enggak terlihat lagi hari itu, kemudian di tanggal 1 desember. Kontrak sewa unit nya habis, Bu Nia bahkan gak bisa di hubungi, jadi kami terpaksa buka paksa pintu unit mereka,” jelas seorang staff pada Jelang dan Davin.

“Kenapa harus ngehubungi Bu Nia? Dia bukanya enggak tinggal di sana?” tanya Jelang.

“Karena unit itu di sewa atas namanya, Bu Nia juga yang membayar tagihan sewanya.”

Mata Jelang kemudian bertemu dengan Davin, semakin kuat dugaanya selama ini jika pelaku merasa di manfaatkan oleh korban.

“Saya minta salinan CCTV nya, ah iya, tadi anda sempat bilanh kalau unit itu di buka paksa oleh pihak manajemen?”

Staff itu mengangguk, “benar.”

“Masih ada barang-barang yang tersisa? Ada yang mencurigakan mungkin?”

Staff itu hanya menggeleng pelan, “enggak, bahkan unit nya masih rapih seperti semula. Cuma, barang-barang milik Pak Eru kami pindahkan ke gudang penyimpanan.”

Setelah mengatakan itu, Jelang keluar dari sana, sisa nya biar Davin yang mengurus karena ia harus tetap memantau pergerakan pelaku melalui GPS ponselnya. Saat ini pelaku masih ada di rumahnya, Jelang juga sempat mendatangi kantor tempat pelaku bekerja kemarin.

Setelah selesai mendapatkan salinan CCTV nya, Jelang juga mendapatkan surat perintah penangkapan dari atasnya. Jadi dia bisa langsung menuju ke tempat pelaku berada.

Saat di datangi pihak kepolisian, pelaku sempat mengelak, bahkan berontak. Pelaku juga menyebutkan alibi lainya, namun Jelang bersih keras untuk tetap membawa pelaku ke kantor polisi.

Sebelum meninggalkan rumah pelaku, Jelang sempat menggeledah rumah pelaku demi mencari barang bukti lainya. Dan beruntungnya Jelang dapat menemukan palu yg di duga sebagai senjata yang di pakai untuk membunuh korban, palu itu di balut oleh plastik hitam dan di taruh di bawah ranjang tidur korban.

“Kwitansi klinik, Bang.” Davin memberikan sebuah kwitansi dari klinik yang tidak jauh dari tempat pelaku tinggal.

“Gue udah suruh Hellen buat cek, klinik bilang ini kwitansi kalau Nona Nia pernah ngelakuin tindakan kuretase di sana. Dua puluh hari yang lalu sebelum dia terakhir terlihat di unit korban,” jelas Davin.

Jelang mengangguk, “bawa palu ini ke mobil.”

“Lo mau ke mana, Bang?” teriak Davin karena Jelang pergi begitu saja setelah mendapatkan penjelasan.

“Ke klinik!” teriaknya. Jelang harus bertanya pada petugas klinik tentang pelaku dan mendapatkan CCTV nya sebagai tambahan bukti.


Dan disini lah sekarang Jelang berada, di sebuah ruang introgasi bersama dengan pelaku. Hanya dengan cara Jelang melihat ke arah pelaku saja sudah bisa membuat pelaku merasa terancam.

Begitu rekaman CCTV itu sudah selesai di putar, mata pelaku menelisik ke arah lain. Jelang juga tahu jika pelaku meremas jari-jarinya sendiri di kolong meja.

“Hari itu saya putus sama Eru,” jelasnya.

Jelang hanya mengangguk, “di hari itu juga hari terakhir Eru terlihat di loby apartemen bersama anda.”

“TAPI SAYA BENAR-BENAR GAK TAU ERU DIMANA!!” pekik pelaku frustasi.

Sementara itu Jelang hanya terkekeh, ia kemudian mengeluarkan foto-foto hasil autopsi, palu, mata pisau, kwitansi klinik, serta kertas berisi keterangan sidik jari pelaku yang ada di kantong plastik hitam tempat kerangka jenazah Eru di simpan.

“Palu ini, ada sidik jari anda dan bekas darah yang sudah mengering, termasuk kantung plastik hitam ini, semua itu ada sidik jari anda.”

Pelaku terlihat seperti tidak punya alasan lain, bahu nya yang tadi terlihat tegap itu mendadak menjadi merosot begitu Jelang mengeluarkan bukti-bukti yang sudah ia kantongi.

“Sekarang bilang sama saya apa motif anda bunuh korban!!” sentak Jelang, yang berhasil mengagetkan pelaku.

“Sa...saya benci sama dia!”

Dan benar saja, hanya dalam sekali sentakan saja Jelang mampu membuat pelaku akhirnya jujur. Sebenarnya pelaku termasuk orang yang mudah Jelang taklukan, dia sudah banyak mengintrogasi penjahat jadi sudah jelas Jelang bisa membaca karakter pelaku mulai dari yang banyak mengelak, lebih memilih diam, atau bahkan melakukan perlawanan padahal sudah di dalam ruang interogasi.

“Hubungan kami enggak sehat, Eru sering banget make uang saya buat kepentingan dirinya sendiri, pakai kartu kredit saya. Bahkan yang terakhir, dia ngelakuin kekerasan ke saya sampe saya keguguran, saya benci dia, bahkan setelah saya keguguran, dia masih bisa-bisa nya nyuruh saya kerja dan ngambil kartu kredit saya lagi buat beli HP baru. Waktu saya minta putus, Eru ngancam mau nyebarin video kami berdua ke kantor tempat saya bekerja. Saya gak bisa diam aja, saya harus bikin dia diam.”

“Makanya kamu bunuh dia?”

Pelaku tidak menjawab, pelaku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Pelaku juga mengaku menyesal.

“Gimana cara kamu bunuh Eru?” tanya Jelang tegas.

“Dia lagi tidur, awalnya saya gak berniat bunuh dia. Saya cuma mau kasih dia pelajaran, tapi saya ternyata enggak puas cuma bikin dia kesakitan, saya ketuk kepalanya pakai palu, dia sempat melawan dan ngejar saya, tapi saya dorong dia sampai jatuh dan saya hajar lagi kepala belakangnya pakai palu sampai dia enggak sadar,” jelasnya.

“Eru enggak langsung mati, makanya kamu terus mukul kepalanya?”

Pelaku hanya mengangguk.

Setelah selesai menginterogasi pelaku, Jelang belum langsung pulang. Ia masih berada di ruanganya untuk memeriksa beberapa laporan kasus yang ada. Ia masih memiliki kasus besar yang harus ia selesaikan.

Matanya yang masih berkonsetrasi pada sederet informasi yang ia dapat dari Hellen itu, kemudian harus terlaihkan karena ponselnya yang berdering. Ternyata Ibu nya yang menelfon, Ibu dan Bapaknya memang berada di Jakarta saat ini.

Keduanya ada di rumah yang dulu mereka tempati, setelah Jelang resmi di lantik menjadi seorang polisi. Ibu dan Bapak memutuskan untuk tinggal di desa kelahiran keduanya, di Solo. Sementara Jelang bertugas di Jakarta.

Tapi sudah dua bulan ini Bapak dan Ibu di Jakarta, mereka terus membondongi Jelang dengan pertanyaan kapan ia akan segera menikah. Ibu dan Bapak bilang mereka takut Jelang tidak menikah hanya karena asik menangkap penjahat.

“Ya, Buk?”

dimana kamu, Lang? Masih belum selesai?

“Jelang masih di kantor, Buk. Masih ada kasus yang harus Jelang pantau dulu.”

kamu loh, ada Ibu sama Bapak di Jakarta malah kabur-kaburan terus.

Jelang menjepit ponselnya di antara kepala dan bahunya, ia menghela nafasnya pelan sembari membalas beberapa pesan yang masuk dari Hellen.

“Ya, Buk. Ibu kan tau Jelang sibuk, maaf ya. Nanti kalau Jelang libur Jelang pasti temani Ibu sama Bapak, ah Iya, Jelang mau keluar kantor dulu, Buk. Nanti Jelang kabarin Ibu lagi.”

Dan tidak lama kemudian ia putus sepihak panggilan telepon itu, berkali-kali Jelang menghela nafasnya kasar. Ia sudah mencoba memberi pengertian pada kedua orang tua nya, bahwa ia masih ingin fokus bekerja. Lagi pula, dekat dengan perempuan saja enggak, bagaimana Jelang mau menikah?

Setelah memeriksa berkas-berkas itu, Jelang langsung melesat dari kantor. Jam kerjanya sudah selesai, ia memutuskan untuk tidur di kantor, namun perutnya yang sedikit lapar mengharuskanya keluar untuk mencari makanan dulu.

Jelang itu memiliki kebiasaan yang unik, ia tidak bisa makan sendirian. Harus ada orang lain yang menemaninya makan juga, Davin sudah pulang dan nama yang terlintas di kepalanya saat ini hanya Stella. Maka dari itu, sembarin menyetir ia juga menelfon Stella untuk mengajaknya makan bersama.

“Kenapa, Lang?” tanya Stella begitu cewek itu mengangkat panggilanya.

“lo di mana?”

Sunshine mart, kenapa?

“Gue kesana sekarang, tunggu disitu jangan kemana-mana.”

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jelang untuk sampai di toserba yang di sebutkan Stella, hanya 5 menit saja ia sampai di sana. Dan benar saja, Stella ada di sana, duduk di kursi panjang sembari menyeruput mie instan nya.

“Makan sendirian aja,” ucap Jelang begitu ia tiba di kursi Stella.

“Ini gue beliin mie, gue seduhin juga, gue beliin cola sama sosis juga kurang baik apa gue?” cibirnya tidak terima.

Jelang hanya terkekeh pelan, kemudian ikut menyantap mie instan itu dan sosis yang sudah Stella hangatkan sebelum ia datang.

“Kok makan disini lo?” tanya Jelang.

“Males, biasa di rumah ada pertunjukan.”

Kalau sudah bicara soal pertunjukan, Jelang sudah tahu apa yang Stella maksud. Di buangnya nafas keduanya secara bersamaan, kemudian keduanya juga saling melirik satu sama lain.

“Kenapa jadi barengan gini deh.”

Stella hanya menggedikan bahunya, “gimana tadi kasusnya? Udah ketangkep pelakunya?” Stella mengalihkan pembicaraan mereka berdua.

“Pacarnya sendiri, sesuai dugaan gue. Korban manfaatin pelaku buat hal-hal pribadinya. Termasuk revenge porn.

“Gila yah,” Stella menggeleng kepalanya tidak menyangka. Sejak bekerja di badan forensik nasional, ia selalu kaget dengan alasan-alasan keji pelaku membunuh korban.

“Lo habis ini mau kemana?” tanya Stella.

“Kantor lah, gue gak balik.”

“Lo udah dua minggu tidur kantor, gelandangan apa gimana sih?”

“Sembarangan mulut lo,” karena kesal, Jelang menjejali Stella dengan sosis yang ada di tanganya. “Gue lagi ngehindari orang tua gue.”

“Sama,” sela Stella. “Lo masih di suruh nikah mulu?”

Jelang hanya mengangguk, ia masih fokus menghabiskan mie instan nya.

“Lo kenapa gak pindah dan tinggal sendiri aja si, La.”

“Ngekost maksud lo?”

Jelang mengangguk.

“Duit gue bisa habis buat bayar kosan, gue ada rencana buat beli rumah sendiri. Tapi masih kurang, Bokap sama Nyokap gue masih banyak minta bantuan gue, belum lagi gue punya Mbah di panti jompo yang masih jadi tanggungan gue,” jelas Stella.

Jelang tahu selama ini Stella jadi tulang punggung keluarganya, belum lagi ia masih harus mencicil hutang biayahnya sewaktu kuliah kedokteran dulu. Ayahnya juga memiliki hutang yang Stella sendiri tidak tahu untuk apa.

Lalu terlintas ide konyol di kepala Jelang yang ia rasa ia memiliki jalan keluar untuk masalah mereka berdua.

“La?”

“Hm?”

“Gimana kalo kita nikah aja?”

Stella melirik Jelang dengan kedua matanya yang membulat, di tendangnya kaki cowok itu dari bawah meja.

“Gila kali?”

“Gue serius, La. Selama ini cewek yang deket sama gue cuma lo doang. Kalo gue nikah, urusan gue sama orang tua gue selesai. Terus lo juga bisa punya rumah sendiri, lo gak harus liat orang tua lo berantem tiap hari.”

Stella mengerutkan keningnya, Jelang emang suka asal-asalan kalo ngomong tapi dia gak nyangka kalau kali ini cowok itu juga asal-asalan berpikir.

“Nih yah coba lo pikir, lo deket sama cowok lain gak selain sama gue?”

Stella menggeleng.

“Tuh kan!”

“Tapi masa nikah si, Lang? Kita kawin kontrak maksud lo?”

“Kok kontrak sih? Serius ini, bukan nikah main-main. Kita bisa jadi teman hidup, La.”

“Lo suka sama gue?” tanya Stella to the point. dan pertanyaan itu membuat Jelang jadi salah tingkah sendiri.

“Mu..mungkin.”

Stella tidak menimpali lagi, ia hanya mengetukan jari-jari nya di meja sembari berpikir tentang tawaran yang Jelang berikan kepadanya. Kalau di pikir-pikir yang di katakan Jelang ada benarnya juga, selama ini dia enggak pernah dekat sama cowok lain selain Jelang.

Kalau mereka menikah, ia bisa beli rumah sendiri walau hasil patungan sama Jelang. Selain itu, kedua orang tua nya juga bisa ia beri pelajaran untuk hidup lebih mandiri. Stella bisa pakai alasan dia sudah menikah dan tidak bisa membantu kebutuhan mereka terus-terusan, dan Jelang juga bisa berhanti di cecar dengan pertanyaan kapan ia menikah oleh kedua orang tua nya.

“La, lo kan udah kenal gue, gue baik, pekerja keras, ganteng? Jaman SMA kita juga sering di jodohin anak-anak kelas.”

“Lo ngorok kalo tidur?”

Jelang menggeleng.

“Ngiler?”

Jelang menggeleng.

“Suka naruh handuk basah di kasur?”

Lagi-lagi Jelang menggeleng.

“Kalo tidur lampunya mati atau nyala?”

“Ck,” Jelang menghela nafasnya kasar.

“Jawab aja, Lang.”

“Mati, La. Mati.”

“Oke deal kita nikah.” ucap Stella kemudian.

To Be Continue