What Lies Ahead (O1)

Hari ini ruang autopsi tampak seperti biasa, sore ini tim forensik akan bertugas untuk memeriksa kerangka jenazah yang di temukan di sebuah kamar mandi apartemen. Kerangka ini di temukan saat petugas sedang melakukan renovasi pada kamar mandi di unit 105.

Stella namanya, Stella Anindya. Seorang dokter forensik yang bekerja sama dengan kepolisian. Tatapan matanya yang tajam menelisik sebuah kantung hitam besar yang berada di meja autopsi, di depan sana ada kaca besar yang menjadi penghubung terlihatnya proses autopsi oleh kepolisian.

Sebelum memulai autopsinya, Stella melirik laki-laki yang ada di ruangan itu. Jelang dan seorang penyidik yang memegang kasus ini bersamanya, Saat laki-laki itu memberi anggukan kecil, barulah Stella berani membuka kantung besar itu.

Sudah menjadi makanan keseharianya seperti ini, Stella bukan seorang yang gentar melihat potongan tubuh, kerangka, bahkan bentuk jenazah yang sudah tidak mudah di kenali lagi. Dengan teliti ia taruh satu persatu kerangka itu di atas meja autopsinya.

Stella kemudian mengambil tulang selangka kiri, memeriksanya dengan teliti tanpa melewatkan satu bagian. Menurutnya, tulang adalah catatan hidup seseorang.

“Tulang selangka kiri, dagingnya di potong dengan benda tajam. Tulangnya di pisahkan di sepanjang sendi,” jelas Stella.

Stella memeriksanya sendiri, sementara tim forensik yang lain membagi tugasnya.

Stella kemudian mengambil tulang lainya, itu adalah tulang hasta. “Tulang hasta, ada retakan di atasnya.”

Di dalam ruangan yang di batasi kaca itu, mata laki-laki seorang penyidik tegas tak ayal berpindah menatap Stella dan kerangka itu secara bergantian. Kepalanya membuat skenario bagaimana si pelaku membunuh korban dan memotong-motong tubuhnya.

“Tulang panggul,” Stella berhenti sebentar, matanya kemudian menatap mata Jelang yang kini juga tengah menatapnya. “Tulang panggul milik laki-laki,” lanjutnya.

“Dari mana tau kalo dia laki-laki?” tanya Jelang.

“Panggul laki-laki relatif lebih tajam, karena tidak mengandung anak.”

Setelah mendapatkan penjelasan, laki-laki itu kembali menyimak berjalanya autopsi kembali. Dan sekarang Stella berpindah memeriksa kerangka kepala jenazah itu.

“Fraktur remuk di lobus temporal. Beberapa fraksi depresi pada area kepala belakang,” ucapnya tegas.

Kedua penyidik itu kembali saling melirik satu sama lain, “lo ngerti, Bang?” tanya Davin.

Jelang hanya menggeleng pelan, kemudian menarik microfon yang berada di depanya. “Stella, bisa jelasin sekalian?”

Di dalam sana Stella mengangguk, dia kadang lupa kalo Jelang gak akan paham semua ucapanya tanpa penjelasan.

“Fraksi depresi, retakan tulang tengkorak yang membuat tengkorak tertekan ke bawah. Umumnya di serang dari samping, Lobus temporal ini adalah bagian tertipis tengkorak.”

Stella kemudian kembali memeriksa tulang hasta kanan, dan sesekali beralih ke bagian tengkorak belakang yang memiliki tekanan ke bawah yang sama.

“Tulang hasta kanan retak, kemungkinan korban melawan. Dan pelaku ngasih serangan kedua di tulang hasta kanan korban.”

Di tempatnya Jelang menghela nafasnya pelan, tercetak gambaran di kepalanya bagaimana pelaku menyerang dan korban berusaha mempertahankan dirinya dari serangan pelaku.

Dalam hati Jelang berani bersumpah, ia akan segera menangkap pelaku dan mencari tahu motifnya. Sudah separuh perjalanan hidupnya ia korbankan untuk menangkap penjahat, sudah banyak risiko yang ia terima, termasuk yang mengancam nyawanya sendiri.

“Bagian belakang tengkorak memiliki tekanan yang sama, serangan terakhir. Ini lah yang membunuh korban. Senjatanya di duga benda tumpul yang memiliki ujung bulat.”

“Palu..” ucap Jelang, yang di beri anggukan kecil oleh Stella.

“Ada tanda infeksi respons inflamasi, berarti tulang yang terluka menjalani pemulihan. Itu artinya korban enggak langsung meninggal.”

Mata Stella kemudian beralih ke bagian tulang lainya, ada sebuah benda asing di sana yang tidak seharusnya ada di dalam kerangka. Ia ambil benda itu agar bisa melihatnya dengan jelas.

“Benda asing, tolong periksa ini benda apa, La.” Stella memberikan benda asing itu pada asistenya, Laila akan membawanya ke lab.

Setelah autopsinya terakhir selesai, Stella mencuci tanganya dengan bersih. Ia harus memeriksa hasilnya dan menyerahkanya sendiri pada Jelang.

“Benda asing yang gue temuin tadi ternyata mata pisau, mungkin pisau ini di pakai buat misahin daging dan tulang dan gak sengaja patah terus tertinggal di tulang.” Stella memberikan benda asing yang sudah di periksa tadi ke Jelang, itu adalah salah satu barang bukti yang harus di simpan polisi.

“Udah gue duga, gue udah ngantongin satu nama yang di duga kuat pembunuhnya. Kurang satu bukti lagi, gue udah bisa bikin surat penangkapan.”

Stella hanya tersenyum, kemudian menepuk pelan lengan Jelang. Kalau Jelang sudah bilang begitu, itu artinya pelaku tidak lama lagi akan segera tertangkap.

Stella mengenal baik Jelang, cowok yang tegas, bermata tajam dan memiliki insting yang kuat itu adalah sosok penyidik yang di hindari oleh pelaku. Jika Jelang sudah mengetahui kasus dan mengantongi nama pelaku, sekalipun pelaku menyangkal. Jelang akan mempertaruhkan apa saja agar pelaku mau mengaku dan menjebloskanya ke dalam penjara.

Autopsi tadi menjadi autopsi terakhir hari ini untuk Stella sebelum ia pulang ke rumah. Setelah mengganti bajunya kemudian mengambil barang-barang miliknya, ia langsung melesat keluar dari gedung tempatnya bekerja.

Seluruh badanya sudah pegal, dan rasanya Stella ingin langsung tidur jika sudah sampai rumah nanti. Di perjalanan pulang, ia menyalakan beberapa lagu dan bersenandung, menunggu hingga rambu lalu lintas berubah warna.

Ada banyak cetakan ingatan di kepalanya tentang jenazah-jenazah yang ia autopsi hari ini. Stella tersenyum, ia selalu bangga dengan dirinya yang sekarang. Enggak mudah baginya untuk bisa sampai di titik ini.

Banyak yang ia korbankan, termasuk masa muda dan jam tidurnya. Begitu sampai di rumah, bayangan akan beristirahat yang tenang itu sirna ketika sebuah teko melayang mengenai kakinya ketika hendak masuk.

Teriakan yang tidak asing di telinganya seperti sudah menjadi makanan keseharianya, pemandangan yang ia benci itu kembali ia lihat. Dimana kedua orang tua nya kembali bertengkar, kali ini entah karena apa.

“KAMU PIKIR SAYA ENGGAK TAHU SURYA KALAU KAMU YANG AMBIL UANGNYA? BRENGSEK KAMU YAH, KAMU KASIH LAGI UANG ITU KE PEREMPUAN SIALAN ITU?!”

“Apa buktinya? Asal tuduh aja kamu! Penghasilan saya memang kurang, tapi saya gak pernah nyuri uang toko kamu Anjani.”

Tanpa memperdulikan Stella yang berdiri di ambang pintu, kedua pasangan suami istri itu kembali berdebat. Kepala Stella sudah pening, jadi, dia abaikan keduanya begitu saja. Stella melewati keduanya dan masuk ke dalam kamar, ia menarik nafasnya dalam kemudian duduk di meja belajarnya.

“Sialan!” gumamnya.

Karena sudah tidak tahan mendengar suara itu, akhirnya Stella mengambil jaket miliknya dan pergi dari rumah. Kemana saja, asalkan jika nanti ia kembali pertengkaran itu sudah selesai dan ia bisa tidur.


Stella akhirnya memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah toserba 24 jam, ia memakan mie instan dan menyeruput sekaleng kola di tempatnya duduk. Perutnya sedikit lapar, sembari memakan-makananya. Stella kembali memeriksa tabunganya, uang hasil kerjanya itu ia sisihkan beberapa untuk membeli rumahnya sendiri.

Stella ingin pisah dan hidup sendiri tanpa orang tuanya, ia ingin tenang. Sudah tidak sanggup rasanya Stella harus melihat pertengkarang kedua orang tua nya setiap hari.

Belum lagi Ayah nya yang selalu meminta uang denganya, Stella tidak membenci kedua orang tua nya. Ia hanya menyayangkan saja sikap kedua orang tua nya selama ini yang selalu memanfaatkanya, Stella jadi harus banting tulang untuk menghidupi dirinya dan juga kedua orang tua nya.

“Hah...” helaan nafasnya itu terdengar putus asa, uang yang ia tabung itu masih kurang. Itu artinya ia masih harus berhadapan dengan pemandangan seperti tadi sampai benerapa waktu ke depan.

Baru saja ia ingin membuang sampah makananya, perhatian Stella tertuju pada ponselnya yang bergetar. Jelang menelponya ternyata.

“Kenapa, Lang?” tanya Stella to the point.

lo di mana?

“Sunshine mart, kenapa?”

Gue kesana sekarang, tunggu disitu jangan kemana-mana.

Setelah sambungan telfonya di putus sepihak oleh Jelang, Stella hanya mengangkat bahunya pelan. Kemudian mengambil benerapa makanan lagi untuknya dan untuk Jelang.