Jatuh Cinta?
Siang menjelang sore itu, Ara dan Echa akhirnya memutuskan untuk mengunjungi sebuah mall, mendatangi satu persatu toko baju dan mencoba beberapa baju yang di rasa cocok untuk Ara. Sudah sekitar 1 jam mereka berkeliling namun rasanya Ara urung menemukan baju yang cocok untuknya.
Dalam hati, ia juga jadi bingung sendiri. Enggak biasanya dia kaya gini. Ara itu terkesan cuek, dia percaya diri-percaya diri aja pakai baju yang dia punya asalkan itu membuatnya nyaman dan sopan. Tapi kali ini berbeda, dia ingin beda dari hari-hari biasa. Setelah memakai midi dress yang Echa pilihkan gadis itu keluar dari fitting room untuk melihat reaksi temannya itu.
“Gimana, Cha?” tanyanya dengan wajah murung, Ara sudah lelah dan sedikit bingung dengan dirinya sendiri.
“Ra, kayanya jangan deh. Ini terlalu terbuka, ganti deh cari yang lain aja,” ucap Echa, alih-alih masuk kembali ke dalam fitting room Ara malah berjongkok di depannya dan menghela nafas keputusasaannya itu.
“Ih lo kenapa?”
Ara hanya menggeleng pelan, menatap setumpukkan baju yang tadi mereka ambil di tempat-tempat yang berbeda.
“Gue bingung, Cha.”
“Bingung kenapa ih? Ini kan gue bantuin, Ra.”
“Bukan itu.”
“Terus?” Echa akhirnya ikut berjongkok di depan Ara.
“Gue kaya enggak biasanya begini.”
“Emang biasanya lo kaya gimana?” Echa emang belum mengenal Ara sepenuhnya, maklum aja mereka baru 2 bulan kenal jadi wajar aja kan dia belum tau Ara orangnya kaya gimana, meskipun mereka udah merasa sedekat ini.
“Gue biasanya cuek aja mau pake baju apa aja, tapi kenapa kali ini rasanya beda. Apa gue udah kehilangan diri gue sendiri yah, sejak suka sama Kak Yuno?”
Ara masih belum sadar, dia masih terlalu buta kalau dirinya sedang jatuh cinta. Untuk pertama kalinya Ara menyukai laki-laki, makanya dia ngerasa ingin selalu terlihat sempurna di depan orang yang ia sukai.
“Ra, lo sadar gak sih sebenarnya lo lebih dari suka sama seseorang?” Echa memejamkan matanya sebentar, di rasa kalimat itu kurang tepat untuknya. “Gini, maksud gue, lo tuh lagi jatuh cinta, Ra. Jadi wajar aja kalau mau kelihatan perfect terus. Ya.. Apalagi gebetan lo Kak Yuno,” jelas Echa.
“Emang iya ya, Cha?” Ara natap Echa dengan pandangan bingung, dan itu sontak membuat echa terkekeh. Dia gemas sendiri karena Ara sepolos itu, Echa jadi penasaran, apa temannya itu sebelumnya gak pernah menyukai seseorang?
“Lo tuh udah pernah pacaran belum sih?”
Ara menggeleng.
“Pantesan,” Echa mendengus. “Gini yah, Ra. Sepengalaman gue yang udah pernah suka sama orang dan pacaran, gue tuh paham banget elo lagi di fase falling in love.
“Emang iya ya, Cha? Jadi gue gak kehilangan diri gue sendiri sebenernya?”
“Gini, lo cantik gini buat Kak Yuno atau buat kepuasan diri lo sendiri?”
Ara diam, tapi dia menunjuk dirinya sendiri dengan kedua mata yang berkedip polos.
“Nah!!! Berarti lo dandan dan mau merubah diri jadi lebih baik karena emang lo mau kelihatan cantik dan bikin diri lo sendiri puas, lagian selain itu. Kita kan juga lagi puber gak sih? Kalo kata Kak Jo, masa SMA gini kita lagi nyari jati diri.”
“Lo kok tau segala hal sih, Cha?”
Echa cuma senyum-senyum sendiri, gadis itu kemudian membantu Ara berdiri dan menyerahkan pakaian selanjutnya yang harus Ara cobain. Waktu mereka enggak banyak, mereka juga harus segera ke toko make up dan kemudian ke rumah Cindy.
“Udah, gausah galau lo, sekarang mendingan lo cobain lagi nih baju-bajunya. Waktu kita enggak banyak, kita kudu beli make up sama ke rumah Cindy.”
Setelah selesai ke mall kemudian ke rumah Cindy, Ara langsung pulang. Dia gak mampir lagi ke rumah Echa karena sudah malam, Ara juga harus belajar dan mengerjakan PR nya. Dan saat ini, gadis itu tengah bingung. Gimana caranya dia membawa paper bag berisi belanjaannya itu masuk ke dalam kamarnya. Bunda pasti belum tidur, biasanya jam segini Bunda itu sedang menjahit di ruang tamu.
Sedang sibuk memikirkan bagaimana ia bisa masuk, tiba-tiba saja suara motor milik Mas Yuda menginterupsinya, Ara berdiri dengan muka panik. Lain halnya dengan Mas Yuda yang justru cengar-cengir dan Reno yang terlihat bingung, iya, Reno. Mas Yuda pulang jemput Reno dari bimbel nya.
“WAHHH ABIS BELANJA-BELAN—MMMMPPPH” belum sempat Mas Yuda menyelesaikan ucapannya, Ara langsung membekap mulut kakaknya itu agar tidak melanjutkan ucapannya.
“Mas Yuda please jangan berisik anjir nanti ketahuan Bunda.”
“HUH!” Mas Yuda melepaskan tangan Ara, kemudian kembali dengan cengiran jahil menyebalkannya itu. “Parah di transfer duit jajan lebih sama Papa malah belanja baju sama make up. Gue cepuin luh,” ancamnya.
“Kakak di transfer duit jajan lebih sama Papa?” tanya Reno dengan wajah irinya.
“Sssstttttt!” Ara berdesis, gadis itu menaruh telunjuknya di depan bibir agar Adik dan Kakaknya itu diam. “please jangan ember, Kakak juga minta lebihan gini tuh jarang.”
“Ihhh Reno juga mau.”
“MAS YUDA SIH AHHHH.”
Kalau sudah cemberut gini, Yuda jadi ketar ketir sendiri. Masalahnya Ara kalau ngambek itu pasti nangis, nanti kalau ketahuan Bunda sudah pasti yang jadi target sasaran di omeli itu Yuda.
“Udah-udah, ini kenapa kamu gak buruan masuk? Bukanya masuk terus belajar juga,” ucap Yuda pada akhirnya.
“Takut di tanya-tanya sama Bunda,” ucap Ara lirih.
“Gitu tuh kalau jajan gak bagi-bagi Adiknya,” samber Reno, bocah itu masih enggak terima Kakaknya dapat uang jajan lebih.
“Udah nanti kalau ditanya-tanya jawab jujur aja, lagian kamu kan emang di ajak ke party nya Kakak kelas. Mas Yuda juga kenal sama Baby kok.”
“Bukan itu Mas Yud masalahnya.”
“Terus?” Yuda mengangkat satu alisnya bingung.
“Bunda pasti marahin aku, apalagi kalau beli make up.”
“Ya emang kenapa? Kan kamu cewek, emangnya aneh? Kecuali Mas Yuda yang beli make up baru aneh, Udah buruan masuk ah.”
Dan benar saja ucapan Yuda, Bunda mereka enggak marah, Bunda cuma meriksa apa aja yang Ara beli. Bunda juga cuma nanya Ara beli baju dam make up sebanyak itu dalam rangka apa, setelah itu Bunda justru mengajari Ara make up yang simpel sesuai dengan umur Ara. Bunda cuma enggak ingin, Ara terlihat dewasa dari pada anak seusianya. Apalagi Bunda tahu kalau Ara baru kelas sepuluh.
“Kakak tuh lagi suka sama seseorang yah?” tebak Bunda, waktu Bunda lagi nyisirin rambut Ara di depan meja rias anaknya itu.
“Kelihatan banget yah, Bun?” tanya Ara.
Bunda hanya tersenyum, kemudian duduk di ranjang Ara sembari memperhatikan anaknya itu.
“Sama siapa, Kak?”
“Kakak kelasku, Bun. Mas Yuda juga kenal kok.”
“Namanya?”
Ara tersipu, alih-alih hanya memberitahu nama Yuno. Ara justru mengambil ponselnya dan menunjukkan foto Yuno pada Bunda.
“Namanya Kak Yuno, Bun.”
Bunda memperhatikan foto Yuno, kemudian tersenyum dan mengangguk pelan. “Ganteng, kelihatanya anak baik yah.”
“Baik banget, Bun. Kak Yuno juga gentle banget terus pinter lagi.”
“Oh yah?”
Ara mengangguk pelan, “dia pernah juara 1 O2SN catur, terus di gadang-gadang bakalan jadi ketua osis sama kapten basket juga. Hebat yah. Bunda kalo masih muda kira-kira bakalan suka gak sama Kak Yuno?”
“mungkin..”
Bunda tersenyum, kemudian mengusap pucuk kepala anak perempuan satu-satunya itu. Ara jarang bercerita kalau enggak di tanya, beda sama Reno yang selalu cerita kesehariannya di sekolah dan di bimbelnya. kalau Yuda, si sulung itu kadang cerita kadang enggak, Yuda itu cuek dan lebih sering bercanda dari pada seriusnya.
“Bunda gak larang Kakak buat suka sama lawan jenis, udah seharusnya. tapi Bunda cuma pesan Kakak harus bisa jaga diri dan yang paling penting,” Bunda menjeda kata-katanya sebentar. “prestasi Kakak di sekolah enggak boleh menurun, paham?”
“SIAP!!!”