Hari Kami

Setelah mendapat izin dari kedua orang tua Ara, Yuno kini berhasil membawa gadis itu ke puncak. Begitu selesai dengan ujian semester mereka, keduanya langsung pergi meninggalkan sekolah, Yuno sengaja bawa mobilnya. Toh ia sudah kelas sebelas, Yuno sudah berani membawa kendaraan miliknya yang di berikan oleh Papa. Kalau waktu kelas sepuluh sih dia enggak berani.

Di kursi kemudinya Yuno sesekali melirik Ara yang tampak antusias di kursi sebelahnya, gadis itu kadang bersenandung sembari sesekali mengomentari apa saja yang ia lihat, kadang Ara juga menceritakan bahwa ia pernah ke tempat-tempat yang belum pernah Yuno kunjungi di puncak.

Gadis itu benar-benar cerewet, membuat Yuno sesekali terkekeh dengan ucapan asal-asalanya.

“Kita tuh masih lama ya, Kak?” tanya Ara sembari menoleh ke arah Yuno.

“Dikit lagi sampe kok, aku cuma mau ngajak kamu ke kebun teh,” jawab Yuno.

“Mau metik teh?”

Yuno hanya terkekeh menanggapi ucapan asal Ara, rasanya gemas saat gadis itu asal bicara. Yuno gak tahu kalau gadis itu sedikit ceriwis, padahal kalau di sekolahan dia terlihat seperti gadis yang tidak banyak bicara. Kata orang, jika seseorang tidak terlihat banyak bicara, namun akan sangat banyak bicara jika dengan beberapa orang, berarti orang itu yang bisa membuatnya nyaman, apa itu artinya Ara sudah mulai nyaman dengannya?

“Tadi pas Kak Yuno izin ke Bunda sama Papaku, mereka bilang apa?” tanya nya lagi.

“Katanya, iya gapapa Yuno ajak aja si Ara tapi jangan kaget yah kalo dia makanya banyak atau minta ini itu. Gitu doang sih.” Yuno menahan senyumnya, sebenarnya dia cuma ngarang aja kok.

Papa dan Bunda nya Ara cuma bilang mereka enggak boleh pulang lewat dari jam delapan malam, setelah itu hanya mengatakan hati-hati. Yuno senang orang tua Ara sebaik itu denganya, gadis itu benar-benar tumbuh di keluarga yang hangat.

“Ih bohong yah? Masa Bunda sama Papaku bilang gitu?”

“Beneran.”

“Ihhh bohong ah, aku kan makanya sedikit. Kecuali kalo di beliin nasi padang,” jawabnya sembari terkekeh.

Mereka akhirnya pun sampai, di sebuah perkebunan teh. Yuno memarkirkan mobilnya sedikit ke pinggir, tidak ada mobil lain selain mobil miliknya. Beruntung hari ini udara cukup cerah, ya walau tetap dingin. Yuno bahkan sampai memberikan jaket miliknya untuk Ara pakai, karena gadis itu hanya memakai luaran cardigan yang bahanya agak sedikit tipis.

Hari ini Yuno bawa gitar miliknya, gitar yang ia beli dari uang saku nya sendiri. Gitar itu juga gitar pertama miliknya, yang ia sembunyikan dari Papa. Tapi hari ini, Yuno bawa gitar itu. Ia ingin menunjukan sisi dirinya yang tidak banyak orang tahu.

“Wahhh... Kak Yuno bawa gitar? Kakak bisa main gitar?” tanya Ara excited.

Yuno hanya mengangguk, mereka duduk di sebuah ayunan berbahan dasar kayu yang ada di sana. Ada rumah pohon juga di dekat sana yang masih terlihat kokoh meski sudah berdiri lama.

“Bisa, kamu mau aku nyanyiin lagu apa?” tanya Yuno.

“Hhmm.. Apa ya,” Ara terlihat menimang-nimang pertanyaan itu, memikirkan beberapa lagu yang akhir-akhir ini ia sukai.

“Gimana kalau Mine?”

“Mine?” Yuno mengulangi ucapan Ara, “lagunya Petra Sihombing?”

“Yup, aku lagi suka sama lagu itu.”

Yuno mengangguk pelan, “boleh.”

Cowok itu kemudian memangku gitarnya, memetikkan nada lagu milik Petra Sihombing itu. Untung saja dia hapal lagunya, akhir-akhir ini Yuno juga lumayan sering mendengarkan lagu itu. Genta pernah bilang bahwa lagu itu cocok di nyanyikan olehnya, selain Mama dan Ara yang kini tahu hobi bermusiknya, Genta juga jadi satu-satunya orang yang tahu dirinya. Genta bahkan orang yang mendukung Yuno bermusik, pernah saat obrolan random mereka, Genta mengajaknya membentuk sebuah band sekolah. Namun Yuno menolak, dia bisa di marahi habis-habisan oleh Papa nya kalau Papa nya itu tahu Yuno masih main musik.

Girl your heart, girl your face is so different from them others I say, you're the only one that I'll adore 'Cause every time you're by my side My blood rushes through my veins And my geeky face, blushed so silly yeah, oh yeah

And I want to make you mine

Ara sempat salah tingkah, waktu kedua matanya bertemu dengan mata Yuno. Cowok itu tersenyum, masih dengan iringan gitar dan bibirnya yang masih bernyanyi. Saat kedua netra mereka bertemu, rasanya seperti Ara hanyut ada desiran halus di hatinya yang membuatnya semakin mengagumi cowok di sebelahnya itu.

Oh, baby, I'll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we'll be together 'til we die Our love will last forever and forever you'll be mine, you'll be mine

Girl your smile and your charm Lingers always on my mind I'll say You're the only one that I've waited for

And I want you to be mine

Oh, baby, I'll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we'll be together 'til we die Our love will last forever and forever you'll be mine, you'll be mine

Bukan Yuno enggak tahu kalau wajah Ara sudah memerah, cowok itu cukup tahu. Tidak ada bedanya dengan Ara, Yuno juga merasakan jantungnya berdegub gila-gilaan, jujur, Yuno akan menyatakan soal perasaanya pada Ara hari ini, gadis itu sudah banyak melihat sisi nya yang lain, yang tidak dia tunjukan oleh banyak orang.

Ara sudah mengenal dirinya, dan sekarang Yuno semakin yakin untuk menyatakan perasaanya. Persetan di tolak atau di terima, ia akan menerima semua jawaban yang gadis itu kasih.

Sejujurnya Yuno ingin menyatakanya dengan cara yang paling manis, tapi Yuno gak tahu caranya, dia terlalu buta untuk tahu hal-hal manis untuk mengajak seorang gadis berkencan. Hidupnya selama ini hanya mengenal hitam dan putih.

And I want you to be mine And I want you to be mine

Oh, baby, I’ll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we’ll be together 'til we die Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Oh, baby, I’ll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we’ll be together 'til we die Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Begitu Yuno selesai menyanyikan lagunya, Ara bertepuk tangan. Pertunjukan kecil-kecilan itu berhasil membuat dirinya bahagia. Sungguh, ini pertama kalinya Ara di nyanyikan lagu favorite nya seperti ini oleh seorang laki-laki.

“Bagus banget, Kak Yuno keren banget!!!” pekiknya excited.

“Makasih ya, Ra?”

“Ya, Kak?”

“Gak banyak yang tahu kalau aku bisa main alat musik dan nyanyi,” Yuno menunduk, mengusap gitar kesayangan miliknya yang baru berumur 4 bulan itu.

“Oh ya? Kenapa? Padahal suara Kak Yuno bagus banget, main gitarnya juga keren banget.”

Untuk ukuran seorang yang bermain gitar dengan cara otodidak, Yuno ini memang keren. Cara bermain gitarnya tidak beda dengan seseorang yang di ajari oleh guru musik.

“Papa gak suka liat aku main musik,” ucapnya.

Mata teduh itu berubah menjadi sedih, Ara yang tadinya tersenyum jadi memudarkan senyumnya. Ia bisa merasakan kekecewaan atas penolakan yang Kak Yuno rasakan hanya dari mata teduh itu.

“Aku beli gitar ini diam-diam, pakai uang tabunganku sendiri. Gitarnya aku sembunyiin di kamarnya Budhe, Mbak yang kerja di rumahku. Kalau Papa tahu aku punya gitar, aku yakin Papa pasti udah marah besar,” jelasnya.

“Makanya Kak Yuno gak nunjukin soal ini ke orang lain?” tanya Ara.

Yuno mengangguk, “aku mau jadi penyanyi, Ra. Tapi Papa dan Mama nyuruh aku jadi dokter, aku selalu tertekan sama keinginan mereka, aku kadang capek harus belajar mati-matian dan pergi ke bimbel demi nurutin maunya mereka, aku juga capek harus jadi yang pertama biar enggak bikin mereka kecewa.”

Suara Kak Yuno bergetar, dan itu membuat kedua mata Ara memanas, ia merasa bersimpati dengan cerita Kak Yuno, awalnya Ara ragu, namun saat kedua bahu itu bergetar, tangannya begitu saja terulur mengusap punggung cowok yang ia cintai dalam diam itu.

Yuno selalu ingat bagaimana dulu nilainya turun dan menjadikanya juara kedua di kelas, kedua orang tua nya marah, Papa bahkan memaki wali kelas Yuno karena tidak terima Yuno menjadi yang nomer dua. Padahal waktu itu Yuno sempat sakit, ia mengalami anemia karena belajar terus-terusan. Tapi bahkan orang tua nya tidak memperdulikan sakitnya saat itu.

“Pasti rasanya berat yah, Kak? Kak Yuno selama ini udah kerja keras, aku yakin orang tua Kak Yuno pasti bangga sama apa yang Kak Yuno lakuin selama ini. Kak Yuno cuma manusia biasa, Kakak boleh capek, Kakak boleh istirahat, Ara selalu mau dengerin Kak Yuno kalau Kakak butuh tempat cerita.”

Ini pertama kalinya Yuno menangis di depan seorang gadis, cowok itu pun langsung menaruh gitarnya dan memeluk Ara erat, seperti menumpahkan segala kerisauannya akhir-akhir ini. Bukan hanya takut membuat orang tuanya kecewa saja akhir-akhir ini, Yuno juga takut ada sesuatu yang terjadi padanya, hingga ia melupakan sedikit ingatannya akhir-akhir ini, makanya setiap habis melakukan sesuatu, ia akan menulisnya di sebuah buku yang ia taruh di meja belajarnya.

Setelah Yuno merasa sedikit lebih lega, barulah cowok itu melepaskan pelukan Ara. Yuno baru sadar jika Ara juga ikut menangis, waktu pelukan itu terurai, Ara sempat mengusap wajahnya, menyeka sisa-sisa air mata dari pelupuk matanya.

“Aku cengeng yah, Ra?” tanya Yuno, dan gadis itu hanya menggeleng.

“Nangis itu normal, Kak. Aku salut selama ini Kak Yuno begitu tabah.”

“Sekarang aku bisa jauh lebih tabah berkat kamu,” ucapnya sembari tersenyum. “Ra?”

“Hm?”

“Makasih ya.”

“Untuk?”

“Semuanya, makasih karna udah hadir di hidup aku, bikin aku ngerasain perasaan yang belum pernah aku rasain sebelumnya.”

Yuno menarik nafasnya pelan, jantungnya yang tadinya berdegub normal kembali menggila setelah ia memutuskan untuk menyatakan perasaanya pada Ara saat ini juga. Tidak ada keraguan lagi sekarang, apalagi setelah Ara memeluk luka-lukanya itu.

“Aku sayang kamu, Ra. Untuk pertama kalinya aku ngerasa aku suka sama perempuan lebih dari sekedar teman, aku ngerasa nyaman sama kamu, sampai bikin aku mau cerita soal masalahku di rumah dan apa yang aku rasain akhir-akhir ini, sama kamu bikin aku lupa sama semua tekanan yang orang tua aku kasih. Dan aku bisa ngerasa bahagia cuma sama Kamu, Ra.”

“Kak Yuno...”

Dengan segenap keberanianya, Yuno membawa jemari Ara ke dalam genggamanya, ia sudah tidak perduli lagi pada degub jantungnya yang menggila.

“Jadi pacarku, Ra.”

Kebahagiaan di rongga dada Ara rasanya meletup-letup. ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanya karna mengetahui perasaanya dan Yuno sama, ia bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang cowok itu utarakan dari kata-kata dan tatapan matanya. Ia tidak jatuh cinta sendirian.

Ara mengangguk, “aku mau, Kak. Ara juga sayang banget sama Kak Yuno.”

Dan hari mengharukan sekaligus membahagiakan itu menjadi hari jadi mereka, Yuno dan Ara resmi menjadi sepasang kekasih.

SELESAI