Salah Paham Lagi
Setelah bel pulang berbunyi, Ara langsung berlari keluar kelas lebih dulu. Bahkan gadis itu mengabaikan teriakan Kinan dan Januar yang mengajaknya untuk pulang bersama. Masa bodo dengan dua temanya itu, ia harus segera sampai ke parkiran motor dan menemui Kak Yuno lebih dulu. Saat jam istirahat ke satu dan kedua ia tidak sempat bertemu dengan Kak Yuno, Ara tuh beneran ngerasa ada yang enggak beres sama sikap Kak Yuno yang kaya enggak biasanya.
“Eh, Ra. Nunggu siapa lu di situ?” tanya Bandi, si cowok kelas sepuluh IPS dua yang kelasnya bersebelahan dengannya.
“Nunggu... Nunggu..” Ara mengulum bibirnya sendiri, dia bingung harus jawab apa. Gak ingin jadi bahan omongan anak-anak lain saat dirinya menunggu Kak Yuno.
“Nunggu siapa anjir nungga nunggu nungga nunggu,” jawab Bandi sewot.
“Ihhh udah ah nunggu siapa kek kepo amat, lo ngapain juga disini?”
“Lah, ini motor gue. Minggir lu!”
Ara kaget, ternyata motor yang ia sandari bersebelahan dengan motor Kak Yuno ternyata motor Bandi, gadis itu akhirnya menyingkir dari sana. Dan tidak lama kemudian Kak Yuno datang, wajah cowok itu sudah tidak se masam saat pagi tadi. Begitu melihat Ara juga ia langsung tersenyum.
“Udah lama?” tanya Kak Yuno.
Ara menggeleng pelan, “belum kok.”
“Hmm, tadi aku sempat ke kelas kamu, terus ketemu Januar di tangga. Kata dia kamu udah lari duluan keluar, ternyata udah sampe parkiran aja.”
“I..iya, tadi aku kebelet makanya lari duluan. Terus langsung ke parkiran motor deh,” Ara enggak jujur sama yang sebenarnya kalo dia sedikit takut di tinggal Kak Yuno, dia gak mau kelihatan begitu. Biar gimana pun, Ara ini adalah gadis yang memiliki gengsi yang cukup besar.
“Kak Yuno?”
“Ya?”
Yuno yang tadinya sedang melepaskan dua helm yang ia sangkutkan di jok motornya itu berhenti, ia menatap Ara yang kini tengah memilin ujung dasi nya sendiri.
“Aku boleh tanya sesuatu gak?”
Yuno mengangguk, “boleh, mau tanya apa?”
“Tadi pagi.. Aku panggil Kak Yuno, tapi Kak Yuno—”
“Hhmm...” Yuno mengangguk, dan sedikit terkekeh pelan. Kalau di pikir-pikir sikapnya tadi pagi sedikit kekanakan juga.
“Aku sempat,” Yuno menahan kata-katanya sebentar, malu dan ragu berkecamuk di hatinya. Tapi otaknya berkata ia harus jujur agar semua kebingungan di kepala nya terjawab. “Aku sempat sedikit kecewa tadi pagi, Ra.”
“Ke..kecewa? Sama aku?”
“Iya, soal ajakan semalam, yang kamu bilang kalau kamu mau berangkat bareng sama Echa. Ternyata tadi pagi aku lihat kamu berangkat sama cowok lain, Ra, kalau kamu lagi dekat sama cowok lain, tolong kasih tau aku ya, biar aku—” belum selesai Yuno menyelesaikan kalimatnya, Ara justru tertawa ngakak. Saking gelinya tertawa, wajah gadis itu sampai memerah.
“Ra, kok ketawa sih?”
“Aduh, Kak Yuno, sumpah. Jadi Kakak marah karena itu?”
“Gak marah, aku kecewa aja. Apalagi pas aku tau kalau ternyata Echa gak masuk hari ini, aku jadi mikir kamu bilang mau berangkat sama dia cuma alasan aja karena mau berangkat sama cowok yang tadi pagi antar kamu.”
“Kak Yuno, yang tadi pagi itu Kakak sepupu aku. Namanya Mas Iyal, dia anterin aku karna searah. Tadinya emang aku mau berangkat bareng Echa, tapi subuh-subuh dia chat aku bilang gak masuk karena perutnya nyeri banget. Jadi deh aku berangkat bareng Mas Iyal,” jelas Ara yang membuat Yuno terdiam seketika, Yuno malu setengah mati.
“Ka..Kak sepupu?”
Ara mengangguk.
“Mau aku telfon orangnya biar Kak Yuno percaya?”
“Ga..gak, gak usah.”
Saat Yuno kembali membuka pengait helm nya dan mengeluarkan motornya dari parkiran, diam-diam Ara mengulum senyumnya sendiri. Walau dia khawatir Kak Yuno marah, tapi setidaknya sekarang dia tau kalau Kak Yuno ternyata cemburu.
Mereka akhirnya meninggalkan sekolah, Yuno sempat mengajak Ara berkeliling sebentar, membicarakan banyak hal di atas motor yang siang menjelang sore itu tampak cerah. Sampai akhirnya Yuno mengajaknya ke lapangan tempatnya biasa latihan basket sendiri.
“Jadi Kak Yuno kalau latihan basket disini?” tanya Ara, gadis itu duduk di pinggir lapangan sambil sesekali memotret Kak Yuno yang asik latihan sendirian.
“Iya, kadang sama Yuda juga sih. Tapi kan sekarang Yuda udah jadi MABA.”
Yuno kembali melempar bola nya, dan bola itu berhasil masuk ke ring basket, memecahkan teriakan takjub Ara dan tepukan tangan dari gadis itu.
“Kak Yuno keren banget,” pekiknya.
“Kamu mau aku ajarin gak? Sini!”
Ara menggeleng pelan, dia agak sedikit trauma sama bola sejak SMP kelas sembilan, kepalanya pernah kena bola basket sampai pusing. Sejak itu Ara gak berani dekat-dekat sama bola.
“Aku liatin Kak Yuno aja.”
Yuno tersenyum, cowok itu kemudian menghampiri Ara dan duduk di sebelahnya. “Kenapa gak mau?”
“Aku takut sama bola?”
“Takut?”
“Um,” Ara mengangguk pelan. “Kepalaku pernah kena bola di sekolah dulu, sampai pusing kayanya mau pingsan juga deh.”
“Oh ya?”
“Sejak itu aku gak mau dekat-dekat sama bola.”
“Kalau main skuter mau?” Yuno menunjuk ke deretan skuter yang terparkir rapih di taman itu, ada rental penyewaan skuter untuk berkeliling taman di sana.
“Mauuu!” pekik Ara girang.
Keduanya langsung menyewa skuter sore itu, berkeliling di taman sembari sesekali Yuno mengajak Ara untuk balapan dengannya. Sore itu bisa di bilang menjadi hari terbahagia sekaligus bebas untuk Yuno, sampai tidak terasa langit semakin gelap dan bulir hujan pun turun, mereka sempat berteduh di sebuah warung es kelapa. Namun sayangnya seragam yang di pakai Ara sudah sedikit basah, hingga menampakan tank top yang gadis itu pakai. Karena tidak nyaman melihatnya dan khawatir Ara kedinginan, akhirnya Yuno melepaskan hoodie miliknya dan memakaikannya ke Ara.
“Makasih ya, Kak,” ucap Ara sedikit canggung.
“Kita nunggu hujan nya reda dulu yah, baru habis itu pulang. Gapapa kan?”
Ara mengangguk, dia sempat memeriksa ponselnya sebentar. Ara ingin menelfon Bunda. Takut Bunda khawatir karena sudah jam enam sore, tapi Ara belum pulang juga. Namun sayang, ponselnya mati.
“Kenapa, Ra?”
“HP ku ternyata mati, Kak. Lowbat kayanya sih, baru aja aku mau nelpon Bunda.”
“Aku udah izin sama Yuda mau ajak kamu jalan-jalan sebentar, aku lupa minta nomer Bunda kamu. Lain kali aku izinnya sama Bunda yah.”
Ara gak pernah kepikiran jika Kak Yuno sudah meminta izin lebih dulu sama Mas Yuda, hari ini Ara benar-benar di buat takjub sama Kak Yuno. Dan hatinya juga semakin mantap untuk bisa menafsirkan jika Kak Yuno memiliki perasaan yang sama dengannya. Setelah hujan reda, Yuno langsung mengantar Ara pulang. Dan ia pun langsung bergegas pulang ke rumahnya, Yuno sempat berpikir jika Papa belum pulang. Namun ia salah, Papa dan Mama nya sudah pulang.
“Dari mana saja kamu, Yuno?” tanya Papa begitu melihat Yuno pulang. Papa dan Mama sedang mengobrol di ruang tamu.
“Yuno kan bimbel, Pah.”
“Bimbel?”
Papa mendengus, kemudian memperlihatkan ponselnya kepada Yuno. Ada nomer guru di tempat Yuno bimbel yang menelfon ke ponsel Papanya.
“Guru mu hari ini telfon Papa kalau sudah 3 hari kamu enggak ke bimbel. Kemana sebenarnya kamu, Yuno?”
Yuno menunduk, ia tidak berani menjawab lagi. Ia sudah ketahuan berbohong.
“Maafin Yuno, Pah.”
“Papa sedang bertanya kamu sebenarnya kemana? Bukan nyuruh kamu minta maaf, kamu tau kan Yuno. Nilai-nilai kamu enggak boleh turun kalau kamu mau daftar di fakultas kedokteran nanti. Papa daftarkan kamu di banyak bimbel itu untuk kebaikan kamu sendiri, Nak.”
“Yuno... Emang bolos bimbel, Pah. Yuno harus latihan basket karena minggu depan Yuno ada tanding sama SMA tempat Gita sekolah,” jelas Yuno. Ia memang bolos bimbel untuk latihan, dan baru hari ini ia bolos bimbel dan bolos latihan demi bisa berduaan sama Ara.
Papa menghela nafasnya pelan, kemudian mengangguk pelan. Berusaha memaklumi Yuno saat ini. “Yasudah kalau begitu, masuk kamar kamu. Ganti baju, makan, kemudian belajar. Papa gak ingin pertengahan semester nanti Papa lihat nilai kamu turun, mengerti Yuno?”
Yuno hanya mengangguk pasrah, kemudian menaiki tangga menuju kamarnya. Begitu sampai di kamar, Yuno melempar tasnya ke atas ranjang dan mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Ia ingin sekali memiliki keberanian untuk menunjukan marahnya, namun Yuno tidak bisa. Ia tidak bisa melakukanya.