Berpikir Berpisah
Setelah selesai dengan konselingnya ke poli kejiwaan, Shanin menyempatkan diri untuk mencari tahu soal Dokter Jeff, ah tidak. Ara bilang nama aslinya adalah Aryuno Abidzar Wijaya, jadi dia adalah Dokter Yuno. Shanin harus tanamkan fakta itu dalam kepalanya sekarang.
Menyusuri lorong demi lorong poli, Shanin berjalan ke pintu utama Harta Wijaya Hospital, kalau tidak salah di sana ada profil dan bagan jabatan dokter di rumah sakit ini. Dan benar saja, di sana terpampang jelas, Shanin agak menyesal kenapa selama ini ia tidak mencari tahu soal Jeff ini? Pikirnya.
Harta Wijaya hospital di pimpin oleh Yudi Harta Wijaya sebagai direktur utama rumah sakit, selanjutnya Shanin mencari wajah yang sangat ia kenali. Sampai akhirnya matanya menemukan sosok laki-laki yang ia cari, dan benar yang Ara bilang. Jeff yang selama ini ia tahu itu bernama Aryuno Abidzar Wijaya, di sana juga tertulis jelas kalau Dokter Yuno adalah dokter umum.
Dia juga di gadang sebagai calon pemimpin Harta Wijaya hospital menggantikan posisi Ayahnya kelak, Shanin sudah siap menghadapi kenyataan ini. Namun rasanya tetap saja seperti ada belati yang menghunus dadanya, kupu-kupu di perutnya kemarin menghilang di gantikan rasa kecewa yang enggak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Shanin berjalan ke rumah sakit dengan gontai, ia berharap tidak akan pernah bertemu dengan Jeff lagi. Ya, Jeff. Jika tubuh Dokter Yuno masih di singgahi olehnya. Bahkan di perjalanan Shanin sempat berpikir untuk pindah rumah sakit, dia bingung seperti apa dia bersikap saat tidak sengaja bertemu dengan Jeff atau Dokter Yuno.
Shanin memang sudah jatuh hati pada Jeff, namun setelah mengetahui fakta ini. Ia membuang perasaanya jauh-jauh, ia tidak ingin menyukai milik orang lain, ia juga perempuan ia tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti merasakan posisi Ara saat ini.
Hari ini Shanin enggak pulang ke rumahnya, gadis itu malah keliling-kelilinh di mall. Entah apa yang ia cari, dia sendiri enggak tahu. Shanin hanya mencoba mengisi kekosongan di hatinya saja dengan berada di tengah keramaian.
Ketika sudah selesai makan di sebuah restoran, Shanin masih merasakan hampa dan bingung mau melakukan apalagi. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menonton sebuah film di bioskop, filmnya baru akan mulai 15 menit lagi. Jadi Shanin menunggu pintu theater di buka di depannya.
“Mbak Shanin?” ucap seseorang, membuat Shanin yang sedang fokus pada ponselnya itu mendongakkan kepalanya demi melihat siapa orang yang menyapanya.
“Mas Julian?” Shanin berdiri, dia tersenyum.
“Mau nonton juga?” tanyanya.
Shanin mengangguk, “iya nih, gabut banget abisnya ke mall sendirian. Mau pulang bosen, akhirnya nonton aja deh.”
“Kebetulan banget, saya juga mau nonton. Mbak theater berapa?”
“3,” Shanin menunjukan tiket bioskop miliknya yang tadi ia beli. “Wah sama ya!!”
“Kursi kita juga sebelahan, barengan aja yah.”
Shanin mengangguk, keduanya kembali duduk untuk menunggu pintu theater di buka. Shanin dan Julian ini saling mengenal karena Shanin membeli tiket konser band indie pada Julian, yup, Julian sempat mau menonton konser tapi ternyata di hari yang sama dia harus di tugaskan di luar kota sampai 3 hari. Alhasil Julian menjual tiket konser miliknya melalui akun sosial medianya, dan itulah cara Shanin dan Julian saling mengenal.
“Gimana konser kemarin?” tanya Julian.
“Seru,” Shanin tersenyum, ia memang bahagia sekali hari itu. Konser pertamanya bersama orang yang waktu itu Shanin pikir akan menjadi kekasihnya juga.
“Seru banget malahan, banyak lagu lama juga yang mereka bawain. Ah, sebentar.” Shanin mengeluarkan ponselnya kembali dan menunjukan foto-foto yang ia ambil saat konser berlangsung.
“Ini foto-foto kemarin dari cat 2, gak nyangka juga sih stage nya bakalan semegah ini.”
“Dari cat 2 lumayan juga yah, dengar-dengar mereka spoiler lagu barunya juga di next comeback?” tanya Julian, walau enggak sempat menonton.
Dia sempat membaca update tentang konser band indie favorite nya melalui sosial media, ya walau dengan hati yang sedikit sedih sih. Pasalnya Julian sudah mengidamkan konser itu sangat lama, ia juga bela-belain war tiket sendiri di tengah-tengah hectic nya pekerjaan.
Namun ketika persiapannya tinggal 80% lagi ia justru kehilangan kesempatan itu karena perusahaan tempatnya bekerja menunggaskannya di luar kota sampai 3 hari ke depan, waktu itu Julian sempat frustasi sekali harus menjual kembali tiket konsernya pada orang lain. Namun itu terdengar lebih baik, dari pada dia harus merasa rugi kehilangan uang yang enggak cukup sedikit di tambah gak bisa menonton pula.
“Yup, katanya pakai tema summer, yah emang udah masuk summer juga sih yah di sana. Makanya saya gak sabar banget mau cepet-cepet dengerin lagu barunya.” Shanin tersenyum.
“Mereka enggak ada ngomong tahun depan bakalan balik ke sini lagi?”
“Ah,” Shanin menjentikkan jarinya, ia hampir saja lupa. “Lois, dia spoiler kalau tahun depan bakalan ada konser lagi. Yah berdoa aja semoga mereka balik ke sini lagi yah, Mas Julian sendiri tahu kan. Penggemar mereka di sini tuh banyak banget, jadi gak mungkin sih gak ke sini lagi.”
Julian terkekeh, semoga saja begitu. Dan semoga saja saat mereka kembali Julian bisa menonton band kesukaannya itu tanpa halangan dan drama pekerjaan apapun itu lagi.
“Semoga yah.”
“Semoga juga Mas Julian bisa nonton, harus banget tuh ajuin cuti waktu mereka announce mau konser ke sini. Biar gak bentrok jadwalnya terus gak di ganggu gugat sama kerjaan deh,” jelas Shanin menyemangati. Ia tahu banget betapa patah hatinya Julian saat gagal dengan konsernya.
Pasalnya saat menulis surat kuasa untuk Shanin agar dapat menukarkan tiket dan mendapatkan Wristband, kedua mata Julian sempat berkaca-kaca. Shanin tahu pasti laki-laki itu sedikit tidak rela dengan konser impiannya yang harus batal.
“Yah, semoga aja yah. Kayanya lebih sakit saya gagal nonton konser deh, dari pada liat cewek yang saya sukain nikah sama orang lain,” Julian terkekeh, ini hanya guyonannya saja kok. Padahal sakitnya lebih sakit di tinggal nikah.
Shanin yang mendengar itu tertawa, ucapan asal dari cowok di sebelahnya berhasil membuat kekosongan di hati Shanin sedikit terisi, ia merasa terhibur.
“Jadi pernah di tinggal nikah nih?” ledek Shanin.
“Pernah, ah tapi sama aja sih sakitnya,” Julian terkekeh. Masih sakit, tapi ia jadikan rasa sakit itu sebagai bahan candaan saja biar hidupnya gak kelihatan se menyedihkan itu. “Semoga kamu gak ngerasain yah.”
Shanin tersenyum miris mendengarnya, gadis itu menghela nafasnya pelan. Membuat Julian menoleh ke arahnya.
“Kok gitu nafasnya? Jangan-jangan kita senasib lagi?” tebaknya.
“no!! haha astaga, Mas Jul. Nasib saya kayanya lebih miris lagi deh.”
“Loh kenapa?”
“Cowok yang saya beliin tiket konser itu, yang saya pikir jadi gebetan saya. Justru ternyata udah punya Istri, ya.. Saya juga gak tau sih, dan dia—” Shanin terdiam, dia ngerasa gak berhak menceritakan kekurangan Yuno pada orang lain, apalagi Julian masih menjadi orang asing bagi Shanin karena mereka baru beberapa kali bertemu saja.
“Yah.. Gitu lah, ceritanya panjang.”
Julian mengangguk, ia menghargai pilihan Shanin untuk tidak melanjutkan ceritanya. Mungkin terlalu menyakitkan atau dia sendiri malu menceritakannya, tidak lama kemudian pintu theater 3 di buka. Mereka pun akhirnya masuk bersama dan menikmati film yang tadinya keduanya pilih secara random.
Malam ini Ara kembali ke rumahnya dan Yuno, ia hanya ingin memeriksa keadaan rumahnya saja dan mengambil baju miliknya. Mungkin ia akan menginap di rumah kedua orang tua nya untuk membahas keinginannya untuk berpisah dengan Yuno.
Ara gak menyangka kalau Jeff ada di rumah, jadi setelah berbicara sebentar dengan Budhe Ani, Ara langsung naik ke lantai 2 tempat kamarnya dan Yuno berada. Ternyata Jeff ada di kamarnya, laki-laki itu sedang belajar.
Dan waktu Ara membuka pintu, Jeff menoleh ke arahnya. Namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada buku-buku yang ada di atas meja belajarnya itu.
“Hana ke mana?” tanya Jeff, waktu Ara membuka lemari bajunya.
“masih di rumah Gita sama Mas Arial.”
Mendengar itu, Jeff langsung berdiri. Dia memperhatikan Ara yang tengah mengemasi beberapa potong bajunya ke dalam tas.
“Lo mau ke mana?” tanya Jeff lagi.
Ara diam sebentar, dia menatap Jeff dengan wajah datarnya yang masih sedikit pucat itu. “Kenapa nanya? Emang kamu perduli aku mau ke mana?”
Jeff mendengus, Ara selalu saja berhasil menyalakan alarm kemarahan di kepalanya. “Gue nanya baik-baik yah, Ra. Gue nanya kaya gini karna gue perduli sama lo dan anak-anak gue—”
“Yakin?”
Ara tertawa, “terus kalau kamu perduli, seharusnya kamu gak nyakitin Hana, Jeff. Seharusnya kamu juga gak jalan sama perempuan lain buat nonton konser sama dia.”
Jeff kaget, dia gak nyangka Ara tahu soal konser dan Jeff yang bersama dengan perempuan lain. Wajah keterkejutan itu juga enggak bisa ia sembunyikan, apalagi saat Ara berhasil memergokinya jika ia terkejut.
“Gak usah kaget gitu, Jeff. Cewek yang kamu ajak nonton konser itu,” Ara menahan nafasnya, “aku tahu siapa dia dan aku kenal.”
“Oh,” Jeff menyeringai, “pantas akhir-akhir ini Shanin berubah, lo labrak dia?”
“Aku gak pernah ngelabrak orang, Jeff. Aku ngomong baik-baik ke dia kalau laki-laki yang dia ajak nonton konser itu Suami aku Mas Yuno.”
“Gue bukan Yuno!!” bentak Jeff.
Ara dan Jeff sempat terdiam saat Jeff berteriak barusan, nafas keduanya tersengal-sengal menahan amarah yang sedang memuncak itu.
“Aku udah tahu, kalau ngomong sama kamu, aku bakal selalu di teriakin kaya gini, makanya percuma juga kita ngobrol kan?”
“Lo harus bisa bedain gue sama Yuno, Ra. Dia gak selingkuh, cowok yang jalan sama Shanin itu gue,” Jeff menunjuk dirinya sendiri. “Jeff, bukan Yuno.”
“Oh, iya jelas. Mas Yuno emang gak selingkuh dan mungkin gak akan pernah selingkuh. Tapi kamu yang ngebuat dia seolah-olah dia selingkuh, kamu hampir bikin Shanin salah paham sama semuanya, Jeff!!” bentak Ara, sungguh kesabarannya sudah menipis. Meski sakit rasanya berbicara sekencang itu dengan Suaminya.
“Gue sama Shanin cuma nonton konser, kita teman, dan setelah itu juga enggak terjadi apa-apa antara gue sama dia.”
“Kamu gak perlu jelasin itu, Jeff. Aku gak mau tahu soal itu.”
“GUE JELASIN GINI KARENA GUE GAK MAU LO SALAH PAHAM!!” Jeff kembali berteriak, bahkan kali ini suaranya lebih kencang dari biasanya.
Ara sudah tidak lagi menangis seperti kemarin-kemarin, yang ada di hatinya kali ini hanya rasa kesal dan cemburu.
“Gak salah paham? Buat apa? Kan kamu sendiri yang bilang kalau aku gak perlu jadi Istri yang baik karena kamu bukan Mas Yuno, kamu juga yang bilang kalau aku Istri Mas Yuno dan yang menikah sama aku itu Mas Yuno. Bukan kamu, jadi buat apa, Jeff? Buat apa aku salah paham dan mikir kamu selingkuh, gitu? Iya?” jelas Ara, dia tertawa, sungguh Ara benar-benar tertawa. Meski Jeff tahu tertawa wanita di depannya itu terasa kosong, tidak ada hal konyol yang mereka bahas saat ini yang harusnya membuat Ara tertawa.
Jeff hanya diam kali ini, dia benar-benar kehabisan kata-katanya. Saat Ara kembali ingin membereskan baju-bajunya, di saat itu lah Jeff menahan lengan wanita itu dan membuat Ara jatuh di ranjang tempat mereka berdua duduk tadi.
“Lo MAU KEMANA SIH HAH?!” bentak Jeff lagi.
“Aku mau pulang ke rumah orang tua aku,” jawab Ara, air matanya mengalir tanpa ia sadari. Bahkan kalimat menyakitkan itu belum terucap dari bibirnya, namun Ara sudah merasakan jutaan pisau menusuki hatinya.
“Aku mau pisah sama Mas Yuno.”
Kedua mata Jeff membulat, pegangan tangan di lengan Ara itu mengendur. Dia gak menyangka Ara akan mengatakan itu saat ini.
“Aku mau cerai, biar kamu.” Ara menunjuk dada Suaminya itu. “Jeff, bisa bahagia. Bisa nyari bahagia kamu sendiri. Kamu bilang kan, kalau kamu juga menginginkan kehidupan seperti Mas Yuno? Kamu juga bilang kan kalau Mas Yuno gak akan pernah kembali lagi?”
Sungguh, rasanya sesak. Dadanya seperti di tiban batu besar yang membuat Ara sulit bernafas, ini mungkin bukan hanya menyakiti hati Yuno. Tapi juga hatinya sendiri, ah tidak. Anak-anaknya kelak akan menjadi korban yang paling tersakiti.
“Cari bahagia kamu, Jeff. Lakuin apa yang mau kamu lakuin.”
To Be Continue