Berusaha Berdamai 11

Setelah mengirimkan pesan singkat untuk Jeff, Ara kembali mengawasi anaknya itu yang sedang berlarian. Kadang Hana mengambil beberapa daun dan memberi makan domba yang ada di sekitar kebun.

Pagi tadi setelah Jeff berangkat ke rumah sakit, Ara mengajak Hana untuk setidaknya berlibur sebentar. Ara juga ingin lari untuk menyembuhkan luka-lukanya, dia gak pergi jauh-jauh kok. Cuma ke puncak dan menginap di hotel untuk beberapa hari.

Ara hanya berharap setelah ini ia bisa berdamai dengan keadaan, sejujurnya Ara juga sedikit merasa bersalah karena sudah memukul Jeff. Tapi waktu itu dia benar-benar emosi karena penjelasan laki-laki itu.

Katakanlah Jeff memang brengsek karena menjadikan Shanin sebagai senjata pelampiasan kecemburuannya, tapi tidak sesederhana itu memainkan perasaan seorang perempuan. Shanin mungkin tidak tahu apa niat Jeff mendekatinya, akan lebih baik begitu, Tapi Ara yang mengetahui semuanya benar-benar marah. Jeff bukan cuma menyakiti hatinya dan Hana, tapi juga menyakiti hati Shanin.

“Ibu!! Liat ke siniii!! Ada anak domba,” pekik Hana, dari jauh anak itu melambaikan tangannya, menyuruh Ibunya untuk menghampirinya dan melihat anak domba yang Hana tunjuk.

Ara berdiri, ia menghampiri anaknya itu dan ikut berjongkok di dekat Hana. “Lucu yah, makannya lahap banget. Hana gak takut di seruduk domba nya, nak?”

Hana menggeleng, “enggak, domba nya baik kok. Lucu yah, Buk. Domba nya ikutin induknya terus.”

“Habis kasih makan domba nya, Kakak cuci tangan yah?”

“Kita mau ke mana lagi, Buk?”

“Kita pergi memancing di sebelah sana, mau?“Ara menunjuk sebuah tempat pemancingan tidak jauh dari kebun tempat mereka memberi makan domba sekarang.

“MAUUUU!!!” pekik Hana girang.

Ara tersenyum, lega melihat Hana sudah kembali ceria seperti ini lagi. Bagi Ara sekarang, ia hanya ingin membahagiakan Hana. Ara masih belum tahu setelah ini ia mau melakukan apa, masih terlalu gamang memikirkan rencana yang sudah ia tata rapih jauh sebelum kehilangan itu datang dan kini kembali berantakan, entah lah Ara mau memulai membenahiny dari mana.

“Ibu?” panggil Hana.

“Ya, sayang?”

“Ibu udah enggak sedih lagi kan?” tanya Hana, Hana tahu ketika Ibunya merasa sedih dan kosong kemarin.

Kalau boleh jujur, rasa sedih itu belum hilang. Selain sedih, Ara juga kecewa dan menyesal karena keegoisannya. Nathan yang harus menjadi korbannya, tapi untuk saat ini ia tidak bisa jujur menampakan kesedihannya di depan Hana, Ara gak ingin hal ini membebani anaknya. Biar perasaan itu ia simpan sendiri.

Ara menggeleng, ia mengusap-usap wajah cantik kesayangannya itu. Satu-satunya sumber kekuatan untuk Ara sekarang.

“Udah enggak, Nak. Hana gimana? Masih sedih gak, Um?”

Hana menghela nafasnya pelan, sembari memegangi rumput bekasnya memberi makan domba. Anak itu duduk di hamparan rerumputan di sebelah Ibunya.

“Hana sebenarnya masih sedih, Buk. Tapi kata Budhe Ani, Kakak harus ikhlasin Adik. Karena Adik udah bahagia di surga.” jawabnya. “Tapi, Buk.”

“Hm? Kenapa, nak?”

“Ibu masih sayang sama Papa kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Ara hanya bisa meringis. Seharusnya sesederhana pertanyaan anaknya itu bisa Ara jawab kan? Toh ia sendiri tahu jawabannya jika ia sangat mencintai Yuno, tapi rasanya pertanyaan sederhana itu sulit Ara jawab, Ini terlalu rumit. Seperti ada orang ketiga di antara rumah tangga nya dan Yuno yang menjadi penghalang bagi mereka saat ini.

“Sayang, Ibu sayang sama Papa,” jawab Ara pada akhirnya. “Kenapa, Kakak kok nanya gitu?”

Hana mengangguk, “habisnya Ibu sekarang bobo sama Hana terus, Papa juga suka bobo di kamar Adik Nathan.”

Ara gak pernah tahu kalau sesederhana melihat kedua orang tua nya tidur di tempat terpisah saja bisa mendatangkan pertanyaan seperti itu bagi Hana. Kali ini, Ara tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Hana masih terlalu kecil untuk tahu apa yang terjadi di antara kedua orang tuannya.

“Kalau kita pulang nanti, Hana mau bobo di kamar Ibu sama Papa boleh yah? Hana mau bobo bertiga.”

Ara tersenyum, ia mengangguk pelan. “Boleh sayang, boleh.”

“Kemarin, waktu Ibu pergi ke rumah Omah. Hana banyak cerita sama Papa.”

“Cerita apa sayang?”

“Hana bilang ke Papa, kalau Hana kangen Papa. Hana juga bilang kalau Papa menyakiti Ibu, itu sama saja Papa juga menyakiti Hana. Papa juga minta maaf sama Hana, So, he apologized to you too?

Jeff selalu meminta maaf pada Ara meski Ara tidak memberikan jawaban atas permintaan maaf itu, bahkan enggak ada 1 hari pun tanpa Ara mendengar Jeff meminta maaf padanya ketika ia akan hendak tidur.

Ara bisa melihat perubahan drastis pada laki-laki itu setelah kehilangan Nathan, Jeff yang kasar padanya berubah. Jeff lebih lembut, lebih pendiam dan untuk pertama kalinya Ara melihat Jeff menangis.

“Papa has apologized,” jawab Ara.

So have you forgiven, Papa?” kedua mata Hana berkedip menunggu jawaban dari Ibunya itu.

“Um,” Ara mengangguk, “Ibu selalu memaafkan Papa, Hana juga sudah memaafkan Papa kan?”

Hana mengangguk, “But what Papa did to Ibu makes me love Papa a little bit less.” Hana menunduk, anak itu tidak bisa menyembunyikan perasaanya.

“Hana..” Ara memangku Hana, ia menggeleng kepalanya pelan dan mengusap wajah anaknya itu penuh kasih sayang.

“Hana harus sayang sama Papa, Ibu dan Papa memang pernah bertengkar. Tapi, walupun begitu, we still love each other. Hana tau gak, bertengkar itu bukan hanya tentang kemarahan aja, sayang.”

“Terus apa, Buk?”

“Karena Ibu dan Papa masih saling perduli. Kalau Papa salah, Ibu marah. Ibu kasih tau kesalahan Papa biar Papa gak mengulangi kesalahannya lagi, itu artinya Ibu masih perduli dan sayang sama Papa, nak.”

Setelah banyak bercerita dan jalan-jalan bersama Hana di sekitaran hotel, malamnya saat Hana sudah tidur. Ara membuka lembar demi lembar album foto miliknya dan Yuno. Semua momen bahagia ada di sana, ada foto saat mereka SMA, saat mereka memutuskan untuk kembali bersama, ketika Yuno melamar Ara, menikah dan ketika Hana lahir.

Ara tersenyum, mengusap foto Yuno yang ada di sana ketika Suaminya itu sudah selesai melakukan sumpah dokter. Hatinya menghangat, sekaligus perih. Membayangkan bagaimana jika ia akan berpisah dengan Yuno.

Apa Ara sanggup hidup tanpa laki-laki itu? Tanyanya pada dirinya sendiri.


untuk Yuno

setelah baca surat ini, gue yakin lo pasti bakalan marah sama gue, No. Gue pantes dapat makian dari lo tentang apa yang gue lakukan sama Ara dan Hana. Gue menyesal, No. Maaf atas sikap kasar dan arogan gue selama ini sampai menyakiti hati keluarga kecil yang lo bangun. No, andai saat itu gue bisa memilih siapa yang pantas mati, gue pasti bakalan milih diri gue sendiri sebagai orang yang pantas mati dari pada Nathan.

Maaf, maaf karena kehadiran gue harus ngebuat Nathan pergi. Gue emang pantas mati, No. Gue menyesal, dan ini penyesalan pertama dalam hidup gue. No, semua masalah di rumah sakit udah gue selesain sebagai permintaan maaf gue ke lo, gue jamin gak akan ada yang berani ngeremehin lo lagi, gue tau ini mungkin gak cukup sebagai ucapan permintaan maaf. Tapi maaf cuma ini yang bisa gue lakuin buat lo. No, maaf. Gue mencintai Ara tanpa sepengetahuan lo, kita mencintai wanita yang sama.

Tapi gue sadar Ara cuma cinta sama lo, Untuk yang terakhir kalinya, gue buat janji yang gak akan gue ingkari kalau suatu hari gue muncul kembali, gue gak akan muncul sebagai diri gue sendiri. Gue akan berpura-pura jadi lo. Sekali lagi, maaf.

Setelah membaca surat yang Jeff tulis dengan tulisan tangannya itu, Yuno meremas suratnya dengan sangat kencang. Hari ini Yuno telah kembali menjadi dirinya sendiri, dia membaca semua yang Jeff tulis di buku penghubung mereka, termasuk surat yang laki-laki itu tulis.

Yuno baru mengetahui jika Nathan meninggal hari ini, dia marah, sedih sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri. Di kamarnya Yuno menangis menyesakan disana, ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya Ara kehilangan anak mereka tanpa ia di sampingnya.

“AAAAAARGHHHHH!!!” teriak Yuno, ia meninju lantai yang ada di rumah mereka sangat kencang.

“Bajingannn!! Brengsek lo, Jeff!!”

Karena kemarahannya yang meledak-ledak, Yuno merasa ia butuh pelampiasan. Ia bangun dari tempatnya duduk dan meninju dinding kamarnya dengan sangat keras, membayangkan jika yang ia pukul adalah Jeff.

“BAJINGANN!! BAJINGANNN!!!”

Yuno sudah tidak perduli pada tangannya yang memar dan sudah mengeluarkan banyak darah, setelah puas meninju dinding kamarnya. Yuno jatuh merosot, hatinya sakit mengetahui Nathan tidak selamat dan pernikahannya nyaris kandas karena Jeff.

Nafas laki-laki itu terengah-engah, Yuno merasa ia seperti seorang pecundang yang menyedihkan saat ini. Masih dengan tangisnya yang menyesakkan, Yuno keluar dari kamarnya dan berlari masuk ke kamar bayi.

Di sana ia jatuh, dan kemarahan Yuno semakin memuncak karena ranjang bayi yang kemarin belum selesai ia rakit itu kini sudah berdiri tegap sempurna dan siap pakai, Yuno tahu jika itu Jeff yang membuatnya.

Tidak memperdulikan tangannya yang sudah berdenyut nyeri dan terus mengeluarkan darah, Yuno bangkit dari sana dan melempar kelambu serta hiasan yang ada di atas ranjang bayi itu.

“BRENGSEKKK BERANI-BERANINYA LO SENTUH RANJANG NYA NATHAN!!” teriak Yuno.

Teriakannya sangat kencang, bahkan Budhe Ani yang berada di lantai 1 juga mendengarnya. Namun Budhe Ani tidak berani naik ke atas untuk memastikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada Yuno.

Masih dengan kemarahannya, Yuno menendang ranjang itu sekuat tenaga hingga bagian samping ranjang rusak, bahkan ada bagian yang patah karena tendangan itu.

Tidak lama kemudian Ara tiba di rumah, Budhe Ani langsung buru-buru menghampiri Ara dan Hana yang baru saja keluar dari mobil. Budhe Ani yang nampak terlihat panik itu, membuat Ara jadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya.

“Buk, anu,” ucap Budhe Ani terbata-bata.

“Kenapa, Budhe?” tanya Ara.

“Bapak, Buk.” Budhe Ani menunjuk jendela kamar bayi yang terlihat dari teras rumah. “Kayanya lagi ada masalah, Buk. Budhe mau periksa, tapi gak berani.”

Mendengar penjelasan Budhe Ani masih membuat Ara bingung, namun ia juga mengkhawatirkan Suaminya itu.

“Budhe tolongin saya, di dalam ada oleh-oleh sama koper belum saya keluarin, tolong keluarin yah.”

“Baik, Buk.”

“Kak?” Ara berjongkok di depan Hana demi menyamai tinggi badannya dengan anak itu. “Looks like there's a little problem, Ibu wants to check on Papa upstairs and maybe talk a little about our problem, jadi tugas Kakak adalah bantuin Budhe Ani buka oleh-oleh yang kita beli yah.”

Hana mengangguk, “um.”

“Pintar, Ibu ke atas dulu yah.”

Setelah mengatakan itu, Ara langsung bergegas ke lantai 2 rumahnya. Awalnya ia memeriksa kamar nya dan Yuno dahulu, tapi tidak ia dapati Suaminya di sana. Dan saat mendengar sedikit suara tangisan dari kamar bayi, akhirnya Ara melangkahkan kakinya di sana.

Dan benar saja, Yuno sedang menangis di sana sembari memeluk guling bayi dengan kondisi ranjang bayi yang sudah hancur lebur.

“Mas?” panggil Ara, membuat Yuno yang sedang menangis menyesakkan itu menoleh ke arahnya.

Dan air mata Ara ikut menetes ketika ia sadar itu adalah Aryuno Suaminya, ia masuk ke kamar bayi itu dan memeluk Yuno yang masih menangis terduduk di lantai dengan tangan kanan yang berlumuran darah.

“Aku udah bunuh Nathan, sayang... Aku bunuh anak aku sendiri..” ucap Yuno lirih.

“Gak, Mas. Gak.. Bukan kamu.”

Keduanya saling terisak menyakitkan di sana, saling memeluk, mengutarakan rasa sedih dan kehilangan bercampur dengan perasaan rindu yang selama ini keduanya pendam.

“Aku belum sempat gendong Nathan, aku belum sempat liat muka dia, sayang maafin aku...” Yuno luruh, ia memeluk tubuh Istrinya itu cukup erat bertumpu pada tubuh mungil yang sangat ia rindukan itu.

Setelah keadaan Yuno cukup tenang, Ara mengobati luka-luka di tangan Suaminya itu dan memakaikannya perban. Yuno masih diam aja, memandangi ranjang bayi yang sudah ia rusak itu.

“Aku rusakin ranjang bayinya..” ucap Yuno setelah Ara selesai memakaikannya perban.

“Nanti kita benerin lagi yah.”

Yuno mengangguk, “Sayang... Aku minta maaf.”

Ara diam, dia gak tau harus memaafkan siapa. Toh Yuno tidak ingat apa saja yang di perbuatanya saat Jeff menguasai dirinya. Yuno meminta maaf untuk kesalahan yang tidak ia ketahui.

“Bukan salah kamu, Mas.” Ara menggeleng kepalanya.

“Harusnya aku gak biarin bajingan itu datang kan..”

“Itu di luar kendali kamu,” Ara mengusap wajah Yuno dengan ibu jarinya. Sungguh, Ara sangat merindukan Suaminya itu.

“Aku takut nyakitin kamu tanpa aku sadari lagi, sayang.” Yuno memegang tangan Ara yang berada di wajahnya dan ia usap punggung tangan itu dengan ibu jarinya.

“Aku udah tahu kamu berencana pisah sama aku, kalau kamu sudah yakin. Lakuin, aku gak bisa menjamin dia gak kembali lagi dan gak nyakitin kamu.”

“Mas...”

“Kalau berpisah sama aku adalah jalan terbaik buat gak bikin kamu sakit lagi, tolong lakukan, sayang.”