Dunia Kami

Setelah selesai makan siang, Ara kembali melanjutkan konsulnya yang terakhir. Seorang gadis berusia 25 tahun, Ara sudah mengenalnya karena dia sudah pernah konsul sebelumnya. Namun kali ini Ara sepertinya akan merujuknya ke psikiater karena pasiennya butuh penanganan khusus setelah 2 hari yang lalu menghubungi Ara, gadis itu mengeluhkan gangguan trauma nya semakin parah hingga menganggu keseharianya.

“Masuk,” ucap Ara setelah seseorang mengetuk ruangannya.

Tidak lama kemudian seorang gadis dengan tinggi 165cm itu muncul, gadis yang dari luar nampak baik-baik saja namun memiliki banyak ketakutan di dalam. Namanya Shanin, Shanindya Purwati.

“Siang, Mbak Ara.” sapa nya.

“Siang, Shanin. Duduk.”

Sebelum Shanin masuk tadi, Ara sempat menghubungi rekan psikiater nya di rumah sakit tempat Yuno bekerja. Kebetulan rumah sakit Harta Wijaya salah satu rumah sakit swasta dengan fasilitas kesehatan yang lengkap. Shanin juga sudah menyerahnyan semuanya ke Ara, dia percayakan pilihan psikiater yang di pilihkan olehnya.

“Bagaimana Shanin kabarnya?”

“Baik, Mbak. Tapi kaya dari yang terakhir saya cerita ke Mbak lewat telfon itu. Akhir-akhir ini saya sering mimpiin kejadian itu lagi, kadang sampai ganggu aktifitas. Dan baru beberapa hari ini saya ngerasa degup jantung saya suka berdegup kencang tiba-tiba.”

“Semacam deg deg an kaya kamu sedang gugup?” tanya Ara, sembari memperhatikan mimik wajah Shanin. Sembari ia memberikan diagnosis akhir yang nantinya akan ia serahkan pada dokter yang menanganinya.

“Beda sih, Mbak. Kaya deg deg an nya tuh sekali tapi cukup bikin badan saya bergetar,” jelasnya. Wajah gadis itu nampak gusar, ia juga terlihat tidak nyaman duduk di kursinya ketika menceritakannya.

“Tenang yah, Shanin. Tarik nafas dulu pelan-pelan. Kamu bisa ceritain ini perlahan-lahan yah.”

Shanin menarik nafasnya, mengikuti arahan yang psikolog nya itu ucapkan sampai akhirnya ia menjelaskan tentang ketakutan-ketakutan nya akhir-akhir ini. Shanin itu punya trauma dari kejadian 3 bulan lalu yang menimpanya, waktu itu Shanin pulang dari Paris. Pesawat yang di tumpanginya mengalami turbulance parah hingga ada 1 korban meninggal di udara.

Waktu itu Shanin juga mendapat beberapa luka di tubuhnya. Setelah kejadian itu, Shanin sering bermimpi buruk. Seperti ia kembali di lempar ke waktu-waktu ia berada di pesawat itu lagi. Saking pahitnya, trauma itu sampai mengangguk keseharianya.

Shanin yang seorang guru Sekolah Menengah Pertama itu mengajukan cuti demi bisa menenangkan dirinya dari trauma yang di deritanya. Awal-awal konsul dengan Ara, Shanin mulai mendapatkan ketenangan. Sampai ada 1 hari dimana dia terpaksa mengantar kedua orang tua nya ke bandara dan trauma itu kembali menghantuinya, Shanin sudah tidak tahan, Ia butuh obat atau terapi yang bisa membantunya untuk fokus pada kesehariannya.

“Saya sudah hubungi Dokter Amreiza di rumah sakit Harta Wijaya, saya sudah membuat surat rujukan untuk kamu konsul dan terapi dengan beliau besok jam 9 pagi. Nantinya kamu akan dapat terapi dan obat yang bisa membantu kamu pulih dan fokus sama keseharian kamu, semua yang kamu rasakan saat meminum obat dan sesudah terapi harus kamu ceritakan detailnya sama Dokter Amreiza, agar dia bisa terus memantau perkembangan kamu,” jelas Ara.

Shanin mengangguk, “terima kasih yah, Mbak Ara.”

“Sama-sama Shanin,” Ara tersenyum. Ia memberikan amplop berisi surat rujukan untuk Shanindya.

Gadis itu enggak langsung pulang, dia justru memberikan sebuah paper bag bertuliskan nama toko kue tempat biasa Ara belanja.

“Saya dapat kabar dari asisten Mbak Ara di depan katanya hari ini, hari terakhir Mbak Ara praktik di rumah sakit ini?” tanya Shanin.

Ara tersenyum, ini memang jadi hari terakhirnya. Semua pasienya sudah di beri tahu dari jauh-jauh hari, Ara juga sudah menyerahkan rekam medis pasiennya pada psikolog yang menggantikanya nanti.

“Iya, Shanin. Saya resign, saya mau fokus sama anak-anak saya dulu.”

“Ini buat Mbak Ara, hadiah dari saya. Saya sejujurnya nyaman banget konseling sama Mbak, tapi kayanya memang saya butuh penanganan lebih lanjut.”

Ara mengangguk, “terima kasih banyak yah, Shanin. Saya berharap kamu bisa segera pulih dari trauma ini.”

Setelah konseling terakhirnya selesai, Ara sempat mentraktir teman-teman di rumah sakit tempatnya bekerja itu makanan. Ara memang baru 3 tahun bekerja di sana, namun rasanya rekan-rekannya disana sudah seperti keluarga kedua baginya.

Beberapa dari mereka ada yang terlihat begitu sedih begitu Ara berpamitan, dan sisanya hanya bertanya kapan Ara akan kembali lagi setelah melahirkan. Sejujurnya, dia masih belum tahu kapan bisa kembali lagi. Kalau pun kembali pada karir psikolog nya, mungkin Ara akan membuka klinik sendiri. Agar ia bisa membatasi jumlah pasiennya dan memiliki banyak waktu bersama anak-anaknya.

Ara ingin semuanya seimbang dalam genggamannya. Karir, menjadi Ibu, menjadi Istri dan untuk dirinya sendiri. Ia ingin semua itu tidak ada yang jomplang, makanya sebisa mungkin Ara membagi waktunya dengan adil.


Malamnya seperti biasa, Yuno selalu pulang telat karena UGD kebetulan sedang ramai. Laki-laki itu sampai di rumah jam setengah dua pagi, Yuno enggak bisa asal meninggalkan UGD begitu saja, ia harus memastikan semua pasien di sana tertangani dengan baik. Belum lagi ia harus memberi laporan pada dokter selanjutnya yang akan berjaga.

Waktu Yuno pulang, Ara sudah tidur. Namun ia terbangun karena suaminya itu menciumnya. Begitu membuka matanya, Yuno tersenyum, wajah lelah dan kantung matanya yang semakin membesar itu membuat Ara kadang tidak tega. Maka di usapnya wajah tampan kesayangannya itu dengan ibu jarinya.

“Malam banget pulangnya, Mas?” Ara berusaha untuk duduk, perutnya yang semakin besar itu membuat geraknya sedikit terbatas. Sampai-sampai Yuno harus membantunya untuk duduk dan bersandar di head board

“UGD lagi hectic kebetulan tadi ada pasien meninggal. Jadi harus bantu urus beberapa hal dulu, makanya pulangnya sampai malam deh,” Yuno meringis. “Kamu udah makan?”

Ara mengangguk, “bareng sama Hana tadi, mandi gih. Aku hangatin makan malamnya sebentar.”

“Sayang?”

“Hm?”

Yuno menghela nafasnya pelan, jemarinya ia tautkan pada jemari Istrinya itu. Ada yang ingin Yuno bicarakan meski berat, tapi ia tetap harus memberi tahu Ara soal studinya yang tiba-tiba ini.

“Kenapa, Mas?” karena Yuno hanya menunduk, tangannya Ara terulur mengusap wajah lelah suaminya itu lagi.

“Papa..”

“Kenapa sama Papa?”

“Papa nyuruh aku lanjutin studi kedokteran aku, bahkan Papa udah daftarin nama ku di universitas di Depok. Gimana ya sayang? Aku bingung. Aku gak siap, aku udah bikin komitmen sama diri aku sendiri dan kamu, kalau aku bakalan lanjutin studi setelah Nathan lahir. Aku gak mau sering-sering ninggalin kamu kaya waktu kamu hamil Hana,” jelas Yuno.

Ara paham, Yuno memang telah berjanji kalau ia tidak akan meninggalkan Ara sendirian lagi saat hamil Nathan. Dan Ara paham bagaimana kecewanya laki-laki itu saat tahu Papa nya mendaftarkanya studi kedokteranya lagi, yang mana nantinya Yuno akan semakin sibuk dengan kuliah dan juga jadwal praktiknya.

“Papa cuma mau yang terbaik buat kamu, Mas. Papa emang salah gak rundingin ini dulu sama kamu, tapi mau gimana lagi?” Ara menaikan satu alisnya. “Nama kamu udah terdaftar di sana sebagai mahasiswa.”

“Sayang...”

“Aku bisa mengerti kamu, Mas. Toh aku kan gak sendirian. Ada Mama kamu, ada Bundaku, Gita, Reno. Aku bisa minta temenin mereka bergantian kalau kamu lagi sibuk. Di rumah juga ada Mbak Ul sama Budhe Ani yang nemenin aku terus.”

Yuno menggeleng, “tapi ini yang jadi masalah buat aku. Aku yang gak mau ninggal-ninggal kamu.”

Ara mengangguk, sejujurnya Ara enggak tega melihat Yuno terlihat tertekan seperti ini. Dari dulu hidupnya memang sudah tertata rapih mengikuti alur dari kedua orang tua nya, mereka bahkan enggak pernah bertanya apa yang Yuno inginkan.

Dan Ara enggak punya pilihan lain selain mendukung dan menyemangati Yuno agar dia tidak tertekan, Yuno itu punya kepribadian lain yang hanya muncul jika Yuno merasa tertekan. Namanya Jeff, umurnya 25 tahun. Berbeda dengan Yuno yang lembut dan penyayang, Jeff adalah sisi Yuno yang lain.

Jeff itu pintar, tapi memiliki tempramen yang cukup buruk. Jeff sulit mengelola emosinya, gak jarang Jeff kadang berbuat semaunya sendiri. Ara mengenal Jeff, dan laki-laki itu membencinya. Sudah 4 tahun belakangan ini sejak mereka menikah sosok Jeff enggak pernah datang menggantikan Yuno lagi, Ara harap akan begitu selamanya.

“Kamu mandi gih, kita ngobrolin ini nanti lagi setelah kamu mandi dan makan, yah.” ucap Ara.

Yuno menggeleng, wajah lelah yang tadinya cemberut itu kini sedikit menyeringai dengan jahil.

at least give me a kiss, aku pikir capeknya bakal cepat hilang kalau di cium,” ucapnya.

Ara hanya terkekeh, kemudian menangkup wajah Yuno dan mengecupnya. Senyum di wajahnya semakin mengembang, setelah mendapatkan 1 ciuman dan menyapa bayi dalam kandungan Ara, Yuno segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Sebenarnya Yuno sudah bersih-bersih di rumah sakit, namun ia akan tetap mandi ketika pulang ke rumah.

To Be Continue