I Hate This Part 04
Pagi ini Ara bangun lebih dulu, Hana akan sekolah pagi ini. Ngomong-ngomong soal Hana yang kecewa kemarin, anak itu udah enggak marah lagi, walau waktu Jeff pulang Hana sempat enggak mau di ajak bicara, tapi Jeff pandai mengambil hati anak itu.
Persis seperti yang suka Yuno lakukan, Hana itu akan mudah di bujuk sama Papa nya apalagi kalau Yuno sudah berjanji akan membelikan buku dongeng dan membacakannya. Selain itu, Hana juga senang sekali kalau Yuno membuatkan makanan kesukaanya.
Waktu Ara bangun, Jeff masih tidur di sofa kamar mereka. Ara tidur lebih dulu semalam dan Jeff enggan tidur seranjang dengannya, laki-laki itu lebih memilih untuk tidur di sofa meski mungkin badanya akan terasa pegal saat bangun nanti. Ara enggak bangunin Jeff dulu, dia justru keluar kamar dan bangunin Hana lebih dulu di kamarnya.
“Sayang?” tangannya mengusap pucuk kepala putri kecilnya itu dan menciumi keningnya.
“Bangun yuk, kan hari ini Kakak sekolah.”
Preschool tempat Hana sekolah enggak masuk setiap hari kaya sekolah pada umumnya, hanya 4 kali dalam seminggu setiap hari senin sampai kamis saja. Jam belajarnya pun pendek, dari jam 8 pagi sampai jam 11 saja. Kedua mata anak itu mengerjap, Hana tersenyum ketika Ibu nya juga tersenyum ke arahnya.
“Bangun, yah. Kakak mandi sama Mbak Ul, Ibu mau bangunin Papa dulu. Katanya Kakak minta di antar Papa pagi ini kan?”
“Um,” Hana mengangguk.
“Bangun yah.”
“Ibu?”
“Apa sayang?”
“kiss?” ucapnya, membuat Ara tersenyum dan mengecup pipi anak itu. “good morning.“
“morning too, princess.“
Setelah membangunkan Hana dan memastikan anak itu mandi bersama Mbak Ulfa, Ara kembali ke kamarnya dan Yuno. Jeff masih tidur di sofa, selimut yang dia pakai sudah jatuh ke lantai bersamaan dengan kaki panjang laki-laki itu yang juga sudah menyentuh lantai.
Baru beberapa hari Jeff menggantikan Yuno, tapi rasanya Ara sudah sangat merindukan Suaminya itu. Apalagi senyuman yang selalu Yuno layangkan ketika ia membangunkannya di pagi hari, kecupan laki-laki itu, usapan tangan hangatnya dan masakan yang biasa Yuno buatkan ketika Ara sedang merasa sakit pinggang.
Ara mendekat ke arah Jeff setelah melipat selimut yang laki-laki itu pakai semalam, jika Jeff tengah mengambil alih diri Yuno seutuhnya. Cara tidur keduanya memang berbeda, Jeff itu tidur dengan mata sedikit terbuka. Sementara Yuno, kedua mata laki-laki itu tertutup rapat dengan dengkuran kecil seperti anak kucing.
Ara mengusap wajah Suaminya itu, “Jeff...” bisiknya.
Jeff masih tertidur, alih-alih bangun. Laki-laki itu justru mengubah posisi tidurnya jadi membelakangi Ara.
“Jeff?”
“Hm?”
“Bangun, yuk. Udah pagi, kamu janji sama Hana mau antar dia ke sekolah kan?” Ara mengusap punggung Suaminya itu, berharap Yuno bisa secepatnya kembali.
Tanpa menjawab, Jeff bangun. Laki-laki itu duduk di sofa dengan mata yang masih terlihat mengantuk. Sementara Ara masih setia berdiri di depannya, dengan senyuman hangat. Ara selalu berharap setidaknya Jeff bisa menerima dirinya. Ara juga gak ingin terus-terusan di benci oleh Jeff, Ia juga ingin di terima oleh sisi Yuno yang lain.
“Kamu mau sarapan apa?” tanya Ara.
Jeff hanya mendengus, kemudian menggelengkan kepalanya. “Lo gak usah berusaha jadi Istri yang baik lah, gue bukan Yuno. Gue bukan laki lo.”
“Tapi tubuh yang kamu pakai ini tubuhnya Mas Yuno, Jeff.”
Ucapan Ara itu berhasil memancing amarah Jeff, Jeff merasa lagi-lagi Ara seperti melabelinya dengan benalu yang hanya bisa menumpang pada tubuh Yuno, Jeff benci di labeli seperti itu.
“Sampai kapan pun lo emang gak akan pernah bisa nerima gue dan Yuno dengan baik, Ra. Gak akan pernah bisa! Lo gak pernah bisa nerima Yuno apa adanya!” nada bicara Jeff agak sedikit meninggi, membuat Ara agak sedikit tersentak. Yuno itu enggak pernah bicara dengan nada tinggi dengannya, sedang semarah apapun laki-laki itu.
“Jeff.. Maksud aku bukan kaya gitu,” Ara ingin mengambil tangan Jeff namun Jeff menepisnya dengan sangat kasar.
“Yuno cuma di butain sama cinta-cintaan klise ini, dia gak pernah buka matanya lebar-lebar kalau Istrinya ini enggak tulus menerima dia.”
“Enggak gitu, Jeff. Enggak kaya gitu, maksud aku—”
Jeff menunjuk wajah Ara, rahangnya mengeras. Mungkin jika Ara adalah laki-laki yang sepadan dengan nya, Jeff pasti sudah melayangkan bogem mentah padanya.
“Diem!! Gue gak mau dengar lo ngomong lagi.” ucapnya tegas, setelah mengatakan itu Jeff langsung bergegas ke kamar mandi.
Ara sudah tidak tahan lagi, air matanya yang sedari tadi ia tahan sudah tidak bisa ia bendung. Cairan bening itu jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi kedua pipinya, ia duduk di pinggir ranjang sembari memegangi dadanya yang terasa sesak.
Namun ketika pintu kamarnya terbuka, Ara buru-buru mengusap air matanya dengan cepat. Itu pasti Hana, anak itu sudah mandi dan sudah siap dengan seragam sekolahnya. Biasanya, Hana akan masuk ke kamar kedua orang tua nya untuk minta di ikatkan rambutnya dengan bentuk yang lucu-lucu oleh Ibunya.
“Ibu..” sapa anak itu. Membuat Ara langsung menunjukan senyumnya, berusaha terlihat baik-baik saja di depan Hana.
“Sini, Ibu kepang rambutnya.” Ara menepuk ranjang di depannya, menyuruh Hana untuk duduk di sana agar ia bisa mengikatkan rambut anak itu.
“Nanti yang jemput Hana siapa, Buk?”
“Ibu, sayang. Kan Papa harus belajar, Papa kan sekolah lagi. Sama seperti Hana.”
Hana mengangguk, wajahnya sedikit murung. Sebenarnya tadi Hana enggak sengaja mendengar pertengkaran kecil kedua orang tuanya, itu untuk pertama kali bagi Hana mendengar Papa nya bicara dengan nada tinggi seperti itu dengan Ibu nya.
Setelah Hana siap, Jeff turun ke lantai 1. Dia enggak sarapan, padahal Ara sudah menyiapkan roti bakar dengan selai kacang coklat kesukaan Jeff. Tapi laki-laki itu enggan menyentuhnya.
“Kakak udah siap?” tanya Jeff pada Hana.
Anak itu hanya mengangguk pelan, Jeff yang sadar Hana enggak seceria biasanya itu jadi berjongkok untuk memastikan apa yang sedang Hana rasakan.
“princess kok enggak semangat gini, hm? What is it? princess nya Papa enggak sakit kan?” tanya Jeff.
Hana hanya menggeleng, ia menatap Ibu nya yang berdiri di belakang Papa nya sembari membawakan kotak bekal miliknya.
“Kenapa, Kak?” tanya Ara.
“Papa and Ibu fight? kok Papa bentak-bentak Ibu?” tanya Hana, kedua matanya berkedip menatap Jeff dan Ara secara bergantian.
Jeff yang mendengar itu hanya menunduk, Hana mendengar ucapannya ternyata. “just a small problem, an adult problem. Papa was wrong, Papa will apologize to Ibu later, okay?“
“Kenapa nanti, Pah?”
Jeff menghela nafasnya pelan, ia berdiri dan menghadap Ara yang ada di belakangnya. Wanita itu masih menunduk, Ara enggak berani melihat wajah Yuno dengan tatapan dingin seperti itu.
“Aku minta maaf, Sa...” Yuno menahan nafasnya sebentar. “Sayang,” lanjutnya.
“Iya,” Ara mengangguk, hatinya masih sakit. Tapi dia enggak ingin membuat Hana cemas. Apalagi sampai membenci Papa nya, “go, udah hampir jam 8 nanti Hana telat.”
Setelah melihat kedua orang tua nya berbaikan, Hana tersenyum. Ia berjalan keluar rumah dengan riang. Sementara Ara dan Jeff masih berada dalam suasana canggung.
“bye, Ibu!!!” pekik Hana dari dalam mobil, tangan anak itu melambai-lambai.
“bye, Kak. have fun ya sayang.”
Setelah Jeff dan Hana pergi, Ara langsung bergegas mandi. Hari ini dia enggak ada kegiatan di luar apa-apa, tapi semalam Bunda mengabarinya kalau pagi ini Bunda mau main ke rumah Ara. Bunda di antar Reno sebelum anak itu berangkat bekerja, kebetulan kantor tempat Reno bekerja itu satu arah dengan rumah Ara dan Yuno.
Setelah selesai mandi dan sarapannya, Ara sempat duduk di taman belakang. Dia ngerasa harus cerita tentang masalah Jeff pada seseorang, mungkin dengan Gita. Selain kedua orang tua Yuno yang tau soal Jeff, ada Gita dan Arial juga yang tahu tentang Jeff. Jeff bahkan dekat dengan Gita.
Ara cuma berpikir mungkin Gita bisa bicara dengan caranya sendiri dengan Jeff, toh selama ini Jeff lebih mendengarkan ucapan Gita dari pada siapapun itu. Ara sengaja gak bicara soal ini ke kedua orang tua Yuno, mereka enggak lebih baik dalam bicara sama Jeff.
Setelah bercerita dengan Gita melalui pesan singkat, Ara mencoba untuk membuat dirinya jauh lebih tenang dengan merajut. Baru-baru ini dia belajar merajut, Ara udah bisa membuat topi. Dan kali ini dia ingin mencoba membuat jaket untuk bayinya nanti.
“Kakak sayang??”
Sedang berkonsentrasi untuk merajut, tiba-tiba saja atensinya teralihkan karena sapaan seseorang, itu Bunda. Yang memanggilnya dengan sebutan Kakak hanya Papa dan Bunda. Ternyata Bunda sudah datang, Bunda datang sendiri Reno enggak sempat turun karena takut terjebak macet di jalan.
Dulu, yang biasa nganter jemput Bunda tiap pergi itu Mas Yuda. Tapi sekarang Mas Yuda tinggal di Surabaya bersama dengan Istrinya. Mas Yuda membantu Istrinya menjalankan usaha keluarga mereka di sana, makanya Mas Yuda jarang banget pulang ke Jakarta.
“Bunda...” Ara menghampiri Bunda nya dan memeluk wanita itu. “Kakak kangen banget sama Bunda.”
“Sama, sayang. Maaf yah, Bunda baru sempat jenguk kamu ke sini.”
Ara mengangguk, melepas pelukan itu dan menyuruh Bunda untuk masuk dan duduk di ruang TV saja alih-alih di taman belakang.
“Gapapa, Bun. Kakak paham Bunda kan sibuk.” Akhir-akhir ini selain sibuk mengurus catering, Bunda juga sibuk mempersiapkan pernikahan Reno dan Karina. Makanya baru sempat menjenguk Ara sekarang.
“Kakak sehat kan?” Tanya Bunda.
“Yup, Kakak sehat, Mas Yuno sehat, Hana juga sehat.”
Bunda tersenyum, lega rasanya mengetahui putrinya dan keluarga kecilnya itu baik-baik saja. Ara juga terlihat lebih bahagia setelah menikah, dari awal, Bunda itu udah yakin sekali Yuno bisa menjaga putri sematawayangnya itu.
“Papa sehat kan, Bun?”
“Papa sehat, Nak. Reno juga baik-baik aja, dia bilang tadi salam untuk Kakak. Maaf belum sempat mampir buat jenguk keponakan-keponakannya.”
Ara mengangguk dan tersenyum kecil, “gapapa. Ah iya, Bunda udah sarapan?”
“Udah kok, tapi Bunda bawain makanan kesukaan Kakak.”
“Sushi?” Tebak Ara, Bunda menggeleng karena tebakan Ara itu salah.
“Kakak kan lagi hamil sayang, mana mungkin Bunda bawain sushi atau sashimi.”
Ara terkekeh, biasanya Bunda memang suka membawakan Ara sushi atau sashimi sebelum Ara hamil Nathan. Dari dulu Ara itu suka banget sama sushi, selain sushi dan sashimi. Dia juga suka banget sama ikan gurame asam pedas buatan Bunda.
“Ikan gurame asam pedas yah?” Tebaknya lagi.
“Benar, mau makan lagi sayang?”
Ara mengangguk, kedua nya sempat makan bersama di meja makan. Ara juga sempat bercerita kesibukannya, Yuno dan Hana akhir-akhir ini. Begitu juga dengan Bunda, Bunda cerita kalau Papa akhir-akhir ini mau membuka bisnis coffee shop kecil-kecilan. Papa nya itu memang gemar meminum kopi dari dulu, dan ide dalam membuat bisnis coffee shop kecil-kecilan ini di dukung sama Mas Yuda.
Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum Ara menjemput Hana di sekolahnya, waktu itu ia pakai untuk tiduran di paha Bunda nya. Biarpun sudah menikah, Ara masih suka melakukan hal itu. Ia suka tiduran di paha Bunda, dan Bunda akan setia mengusap-usap kepala putri satu-satunya itu.
“Bun..”
“Kenapa, Kak?”
“Bunda pernah, berantem sama Papa gak?” Tanyanya. Membuat sang Bunda tersenyum, Bunda sempat berpikir Ara dan Yuno mungkin sedang bertengkar.
“Ya pernah lah, Kak. Rumah tangga tuh gak mungkin mulus-mulus aja, pasti ada berantem-berantem kecil. Namanya juga menyatukan 2 kepala gak mungkin isinya selalu sama, Nak. Kenapa, um? Kakak lagi berantem sama Yuno?”
Ara menggeleng pelan, Bunda enggak tahu soal Jeff. Ara emang gak pernah bercerita soal kepribadian Yuno yang lain. Ara enggak mau Bunda menganggap Yuno berbeda, lagi pula Dissociative identity disorder (DID) itu masih sering kali di anggap tabu. Enggak banyak orang tahu soal gangguan ini.
“Kalau, Papa. Pernah bicara dengan nada tinggi sama Bunda waktu berantem?” Tanya Ara lagi.
Firasat orang tua itu kuat, melihat sorot mata Ara yang terlihat meredup itu membuat Bunda bertanya-tanya dalam hati ada apa sebenarnya dengan putrinya itu? Pasalnya selama ini Ara enggak pernah nanya-nanya hal seperti ini. Apa Yuno marah dengan nada tinggi dengan putrinya? Apa laki-laki itu tidak sengaja menyakiti hati putrinya? Pikir Bunda.
“Kakak baik-baik aja sama Mas Yuno kan, Kak?” Tanya Bunda, membuat Ara jadi mengubah posisi nya dari tiduran menjadi duduk.
“Ara sama Mas Yuno baik-baik aja, Bun. Ara cuma nanya aja kok, pertanyaan Ara enggak ada sangkut pautnya sama hubungan Ara dan Mas Yuno.”
“Beneran sayang?”
“Yup,” Ara mengangguk. “Mas Yuno itu Suami yang baik, Bun. Sangat.. Baik.”
Demi mengalihkan pikiran Bundanya, Ara melihat ke arah jam. Kebetulan ini sudah waktunya ia untuk menjemput Hana.
“Udah jam setengah sebelas, kita jemput Hana di sekolah yuk, Bun. Pasti dia senang banget liat Omahnya ikut jemput.”