I'm Sorry

“Baik, Mah. Hana juga udah tidur kok.”

Setiap kali Mama mertuanya itu tidak bisa menjenguk Ara dan Hana di rumah, Mama Lastri pasti selalu rutin menelfon Ara di sela-sela kesibukannya, yang Mama Lastri tanyakan selalu sama. Keadaan Ara, Hana, Yuno dan juga bayi dalam kandungan Ara.

Sore tadi, Ara baru saja mendapatkan kiriman vitamin dan beberapa buah dari Papa mertua nya. Padahal vitamin yang bulan kemarin di kirimkan itu masih ada, enggak cuma buat Ara. Papa juga mengirimkan untuk Yuno dan Hana.

“Mama gimana kabarnya? Sehat kan?” tanya Ara.

sehat, Sayang. Besok Mama sudah pulang dari Bogor kok. Besok kamu ada jadwal check up kan? Mama antar yah.

Ara tersenyum, Mama mertuanya itu bahkan ingat jadwal Ara memeriksakan kandungannya. Berbeda dengan Mama nya Yuno, Bunda justru menelfon Ara setiap hari. Dulu waktu Ara baru melahirkan Hana, Bunda juga yang mengurus Hana seperti memandikannya, menjemur dan merawat Ara pasca melahirkan.

Tapi sekarang waktu Bunda harus di bagi bukan dengan Ara saja, cucu Mama sekarang sudah ada 3 dari Mas Yuda. Si kembar punya Adik laki-laki, dan kadang Mas Yuda suka menitipkan anak-anaknya sama Bunda.

Kalau Reno, cowok itu masih sibuk dengan karirnya. Reno bekerja di sebuah stasiun TV swasta, Reno masih bersama Karina. Dan rencananya tahun depan mereka akan segera menikah.

“Iya, Mah. Tapi kalau Mama capek, Ara bisa pergi sendiri kok. Atau nanti Ara minta antar sama Bunda, Bunda juga kebetulan lagi gak sibuk sama urusan catering nya. Jadi bisa antar Ara ke dokter.”

gapapa, nak. Mama kan juga mau tau kondisi Nathan sama Ara. Besok kamu check up jam berapa?

“Sekitar jam 3 sore, Mah. Ara udah buat appointment sama Dokter Bagas jam segitu.”

Di sebrang sana Mama mengangguk, sebenarnya Mama sudah menawarkan Ara untuk melakukan check up rutin di rumah sakit Harta Wijaya saja. Tapi jarak dari rumah sakit milik keluarga Yuno itu lumayan jauh, jadi Ara memilih rumah sakit yang jaraknya dekat dari rumahnya saja. Toh Ara sudah nyaman dengan Obgyn nya saat ini.

Yasudah, besok Mama kabari lagi ya, Sayang. Sekarang kamu istirahat yah, salam untuk Hana dan Yuno. Mama tutup yah, Nak.

Setelah melakukan panggilan video dengan Mama mertuanya itu, Ara kembali memeriksa kamar Hana. Tadi dia memang baru saja selesai menidurkan Hana, Hana itu sudah terbiasa tidur sendiri dari umur 2 tahun. Kamarnya ada di samping kamar Yuno dan Ara, begitu memastikan Hana sudah tertidur pulas Barulah Ara kembali ke kamarnya.

Yuno belum pulang, tadi Suaminya itu bilang masih di jalan. Jadi Ara mau menunggu sebentar lagi sampai Yuno pulang. Biasanya yang di lakukan Ara sebelum tidur atau ketika menunggu Yuno pulang itu adalah membaca buku.

Di kamar Yuno dan Ara itu ada meja belajar dan beberapa rak buku tentang kesehatan, psikologi, novel dan beberapa buku filsafat. Tapi untuk kali ini Ara ingin bacaan yang ringan-ringan saja, jadi dia pilih sebuah novel dari rak bukunya.

Itu hanya sebuah novel remaja dengan alur cerita ringan, tentang gadis bernama Melan dengan keberaniannya untuk pergi merantau di negeri lain demi meraih cita-citanya. Saat Ara sedang asik membaca, tiba-tiba saja gerakan halus ia rasakan di dalam perutnya. Nathan bergerak di dalam sana, membuat senyum di wajah keibuan Ara itu merekah. Hatinya menghangat merasakan respon dari kaki kecil buah hatinya.

“Nathan udah ngantuk sayang? Hm?” ucapnya, suara Ara pelan nyaris berbisik. Ia menaruh novel itu dan mengusap-usap perutnya penuh kasih sayang.

“Kita tunggu Papa sebentar lagi yah. Papa sudah di jalan mau pulang, Nathan gak sabar mau dengar suara Papa yah?”

Tidak lama kemudian Ara mendengar suara mobil Yuno memasuki pekarangan rumah mereka. Senyum di wajahnya semakin mengembang, buru-buru ia taruh novel yang tadi ia baca dan keluar dari kamar demi menyambut Suaminya pulang.

“Kok belum tidur sayang?” tanya Yuno begitu laki-laki itu masuk ke dalam rumah.

“Nunggu Mas pulang. Tapi belum ngantuk juga sih,” Ara terkekeh. “Sini aku bawain tas nya.”

Baru saja Ara ingin mengambil tas yang Yuno bawa, tapi Suaminya itu langsung menghalau tangannya. “Ga Usah, sayang. Berat, biar aku bawa sendiri aja. Hm, ngomong-ngomong kamu masak apa?”

Yuno menggandeng Istrinya itu ke arah meja makan, menarik kursi untuk Ara di sana dan menyuruhnya duduk. Sementara ia menaruh tas yang tadi di bawa, kemudian jongkok di depan Istrinya itu.

“Ada ikan bakar sama sayur asam.”

Yuno menggeleng, tangannya mengusap-usap punggung tangan Ara. Yuno masih sibuk dengan jadwal praktiknya, belum lagi ada beberapa dokumen yang harus ia urus untuk kepentingan studinya lagi minggu depan.

“Kenapa, Mas?” tanya Ara, tangannya yang lain mengusap kepala Yuno hingga turun ke pipi tirusnya.

“Besok check up aku gak bisa nemenin lagi,” ucapnya meringis. “Kamu pergi sama siapa?”

“Sama Mama, sayang. Tadi mama video call aku. Mama masih di Bogor buat acara seminar, tapi besok pagi pulang dan sore nya antar aku ke dokter. Aku udah bilang sih, kalau aku bisa ke dokter sendiri atau sama Bunda. Tapi Mama bilang mau tau kondisi Nathan,” jelas Ara.

“Aku juga mau tau kondisi Nathan..”

“Nanti hasil USG nya aku send ke kamu, yah?”

Yuno mengangguk, laki-laki itu sempat berganti baju, kemudian memeriksa Hana di kamarnya dan lanjut makan malam. Ara masih setia menemani Yuno hingga Suaminya itu selesai makan, setelah itu mereka memutuskan untuk bertukar cerita di ranjang. Sembari Yuno memeluk Ara dan mengusap-usap punggung nya.

“Tadi gimana di rumah sakit, Mas?” tanya Ara, ia sedikit mendongak demi bisa melihat wajah tampan kesayangannya itu.

“Kaya biasanya aja, sayang. Selalu rame, UGD tadi agak sedikit chaos karena ada kecelakaan kerja.”

“Oh ya?”

“Um,” Yuno mengangguk. “Buruh pabrik, tangannya kena alat gitu. Ada beberapa luka yang harus di jahit juga, dan gak lama pihak keluarganya datang marah-marah nuntut pertanggung jawaban dari perusahaanya.”

“Pasti capek yah, Mas?”

Yuno tersenyum, memang lelah. Tapi semuanya sudah luruh hanya karena memeluk Istrinya saja. Ara dan Hana benar-benar menjadi alasan Yuno untuk tetap bertahan dari sulitnya menjadi seorang dokter, Yuno bisa kuat dari segala tuntutan yang orang tua nya berikan juga berkat Ara yang selalu sabar menemaninya.

“Tapi capeknya udah hilang kalau di peluk kamu.”

“Gombal,” Ara mencubit pinggang Suaminya itu dan terkekeh pelan. “Tapi, Mas. Kamu tuh udah jadi dokter yang hebat banget. Pasti gak mudah kan buat sampai di titik ini, banyak yang kamu korbanin, makannya aku tuh bangga banget sama kamu.”

“Banyak, banyak banget. Termasuk waktuku sama kamu dan Hana.”

Ara mengangguk, “gapapa, aku sama Hana selalu mendukung kamu. Jangan pernah merasa bersalah cuma karena waktu sama aku dan Hana gak banyak, jangan yah, Mas. Aku sama sekali enggak keberatan dengan itu.”

Jujur Ara lebih sering menahan rindunya dengan Yuno, Ara jauh lebih dewasa setelah menikah. Apalagi perkara waktu, sebisa mungkin ia tidak ingin banyak menuntut pada Yuno. Ara enggak ingin membuat Suaminya tertekan dengan keadaan.

Mendengar ucapan Istrinya itu Yuno hanya mengangguk, ia masih merasa tidak enak karena sering meninggalkan Ara saat wanita itu membutuhkannya. Tapi tahu kalau Ara selalu berada di pihaknya juga membuat Yuno tenang, ia merasa tidak berjuang sendirian.

Yuno mensejajarkan wajahnya dengan Ara, mengusap pipi wanita itu penuh kasih sayang. Dan perlahan menarik dagu wanitanya untuk ia layangkan sebuah ciuman di bibir ranum Istrinya. Kedua mata sepasang Suami Istri itu saling terpejam, Yuno mengecupi bibir Istrinya itu dengan gerakan sepelan mungkin, membawa keduanya dalam suasana yang khidmat, baik Ara maupun Yuno melepas ciuman mereka sebentar, kemudian saling melempar pandangan mereka.

“Aku sayang kamu, Mas.” bisik Ara.

“Aku lebih sayang kamu.”

Lalu tanpa aba-aba, Ara memulainya lagi lebih dulu. Dengan kedua tangan ia taruh di pundak Yuno dan perlahan turun ke dada bidang Suaminya itu, dia menjatuhkan bibirnya begitu saja di atas bibir Yuno. Membuat keduanya saling kembali berciuman, kembali mencecapi rasa hangat, basah dan deru suara nafas yang saling beradu.

Ciuman mereka sarat akan kerinduan dan kasih sayang, enggak ada gerakan terburu-buru seperti pasangan pada umumnya yang tengah menuntaskan hasrat. Bahkan Ara masih sempat-sempatnya tersenyum, dan mengigit kecil bibir bawah Suaminya itu. Kedua tangan Yuno yang semula menopang tubuhnya itu, kini beralih membuka satu persatu kancing piyama yang Istrinya itu kenakan.

Sebelum semua kancing itu tanggal, Ara menahan tangan Yuno dulu dan melepaskan ciuman mereka. Menatap Suaminya itu kemudian tersenyum kecil.

“Aku boleh jenguk Nathan?” bisik Yuno lembut.

“Kamu gak capek?” tanya Ara yang hanya di balas gelengan kecil sama Yuno.

Ketika Yuno ingin memulainya lebih, pintu kamar keduanya terbuka. Membuat Ara sedikit mendorong Suaminya itu dari atas tubuhnya dan sedikit memberi jarak karena Hana terbangun dari tidurnya, mereka lupa mengunci pintu.

“Papa.. Hana mau pipis..” ucap bocah itu, matanya masih terpejam di depan pintu sembari ia kucak karena gatal.

“Papa anterin yah,” Yuno bergegas bangun. “Aku antar Hana ke kamar mandi dulu, sayang.”

Ara hanya mengangguk, begitu pintu kamar mereka tertutup. Ia tersenyum kecil, hatinya menghangat hanya karena mengingat apa yang mereka lakukan barusan.


“Posisinya normal, beratnya juga bertambah. Gak ada yang perlu di khawatirkan, bayi nya sehat kok,” jelas Dokter Bagas.

Mata Ara masih tertuju pada monitor yang menampakan posisi bayi di dalam kandungannya. Bayi nya sehat, dan wajahnya semakin terlihat jelas.

“Gak ada keluhan apa-apa kan yah, Ra?”

“Gak ada, Dok. Paling nafsu makan nya aja sih yang kayanya bertambah,” Ara terkekeh. Makannya akhir-akhir ini memang semakin banyak, apalagi jika menyangkut makanan yang pedas dan gurih.

Ara pergi ke Dokter kandungan sendiri, Mama mertuanya itu enggak bisa mengantarnya karena ada urusan mendadak. Ara bisa paham itu, toh jarak rumah sakit dan rumahnya enggak begitu jauh.

“Tapi perlu di ingat yah, Ra. Kurangin makanan yang gurih-gurih. Dari yang kita tahu, kamu sendiri ada riwayat hyper tensi waktu kehamilan pertama kan?”

Ara mengangguk, setelah seorang suster membersihkan sisa-sisa gel di perutnya. Ia merapihkan bajunya dan turun dari ranjang di bantu suster, Ara duduk di depan meja Dokter Bagas dan mendengarkan penjelasanya. Dokter Bagas ini senior nya Yuno di kampusnya dulu, Dokter Bagas juga melanjutkan studinya hingga mendapatkan gelar spesialis obgyn di Jerman. Berbeda dengan Yuno yang pulang lebih dulu setelah wisuda dan sumpah dokternya selesai.

Dan Ara sangat nyaman di periksa sama Dokter Bagas, mereka juga cukup dekat layaknya seorang teman. Apalagi beberapa kali Dokter Bagas pernah merekomendasikan beberapa kenalannya untuk konseling dengan Ara, jadi enggak ada lagi tuh yang namanya canggung di antara mereka.

“Ingat kok, dok. Saya masih bisa kontrol makanan yang gurih-gurih dengan baik, karena saya udah resign juga. Mungkin mulai besok mau olahraga sedikit-sedikit.”

“Bagus,” Dokter Bagas tersenyum, ia sempat menuliskan beberapa vitamin untuk Ara dan juga hasil USG wanita itu.

“Yuno gimana, Ra? Baik kan? Kok dia gak antar kamu?”

Karena sudah selesai dengan jadwal praktiknya, Dokter Bagas langsung bergegas untuk segera pulang. Makanya mereka masih mengobrol dalam perjalanan ke parkiran mobil.

“Lagi ada jadwal praktik, dok. Makanya enggak bisa anterin.”

“Salam buat dia yah.”

“Nanti pasti saya salamin, dok.”

Dokter Bagas mengangguk, keduanya telah sampai di depan parkiran mobil. Kebetulan juga mobil Dokter Bagas terparkir di sebelah mobil Ara.

“Kebetulan banget mobil kita sebelahan, yasudah kalau gitu saya duluan yah, Ra. Mau istirahat karena capek banget habis ada operasi tadi sebelum praktik disini.” pamitnya.

“Makasih, dok. Hati-hati.”

Sebelum melajukan mobilnya, Ara sempat mengirimi Yuno foto dan hasil pemeriksaanya hari ini. Yuno belum membalas pesannya, namun Ara sudah tersenyum membayangkan reaksi Suaminya itu.

To Be Continue