Luka Yang Sempurna

Ara enggak pernah menyangka dalam hidupnya ia akan sampai pada titik di mana ia tidak bisa merasakan perasaan apapun pada dirinya, bahkan Ara sendiri susah mengenali perasaanya. Dia hanya merasa ada lubang besar di hatinya yang membuatnya merasa kosong dan kebal akan semua rasa sakit yang akhir-akhir ini ia alami.

Ia masih sering melamun sendiri, tidak ada yang di pikirkan. Pikirannya kosong, hanya saja menatap objek di depannya tanpa memikirkan apapun membuat dirinya merasa sedikit ringan. Sore itu Ara melamun di teras rumahnya, sesekali ia tersenyum saat Hana memanggilnya.

Anak itu sedang main di teras depan bersama seekor kucing liar yang Hana dan Yuno suka beri makan. Tidak lama kemudian sebuah mobil sedan berhenti di depan pagar rumahnya, itu adalah mobil Reno.

Reno datang bersama Karina calon Istrinya, saat melihat Om nya itu datang. Hana yang sedang memberi makan kucing itu langsung berdiri dan menghampiri Reno dengan berlari kecil.

“Om Reno!!” pekik Hana.

Reno yang sangat merindukan keponakannya itu langsung membawa Hana ke dalam gendongannya, bahkan Reno menciumi pipi Hana. Sewaktu pemakaman Nathan kemarin, selain Arial dan Gita. Ada Reno dan Karina juga yang menemani Hana.

“Kak, gimana kabarnya?” sapa Karina sewaktu mereka sampai di depan teras rumah Ara.

“Gini-gini aja, Rin. Kalian habis dari mana?”

Setahu Ara, ini masih hari kerja. Karina dan Reno harusnya masih bekerja sekarang tapi saat ini keduanya malah datang ke rumah Ara.

“Karina cuma ada meeting tadi siang, Kak. Terus langsung pulang karna ada yang mau di urus, kalo Reno sih emang WFH dia kok,” jelas Karina.

Ara tersenyum kecil, “masuk yuk, kalian mau minum apa?”

Ara menggandeng Karina untuk masuk ke dalam rumahnya, di ikuti dengan Reno yang menggendong Hana di belakang mereka. Sore itu, Ara hanya di rumah bersama Hana, Mbak Ulfa dan juga Budhe Ani. Jeff sedang keluar, laki-laki itu kebetulan sudah kembali bekerja sejak kemarin.

Ara yang menyuruhnya, Ara enggak ingin melihat Jeff di rumah terlalu lama. Setelah kemarin menganggap Jeff adalah Yuno, kali ini Ara kembali mengenali Jeff sebagai dirinya sendiri. Dan sejak itu juga, Ara enggak mau banyak mengobrol dengan Jeff. Bahkan ia juga tidak mau tidur satu ranjang dengan laki-laki itu, Jeff tidur di sofa kamar sementara Ara di ranjangnya. Ini semua Ara lakukan agar Hana tidak sedih melihat kedua orang tua nya tidur di kamar yang terpisah lagi. Walau terkadang, Jeff lebih sering ketiduran di kamar bayi.

“Nanti Karin sama Reno ambil sendiri aja gapapa, Kak.” ucap Karin.

“Jangan dong, sebentar yah.” Ara mengetuk ruangan untuk menyetrika, Budhe Ani kebetulan lagi nyetrika baju di sana. “Budhe, bisa minta tolong gak yah?”

“Bisa, Buk. Sebentar.” tidak lama kemudian Budhe Ani keluar dan tersenyum pada Reno dan Karina. “Ada Reno sama Karin, tolong bikinin minum yah, Budhe.”

“Baik, Buk.”

“Ah, Iya. Mbak Ulfa kemana yah?”

“Ulfa lagi beresin kamar Kakak, Buk.”

Ara mengangguk, ia kemudian mengajak Reno dan Karina untuk duduk di ruang tengah. Karina dan Ara mengobrol, sementara Reno bermain dengan Hana.

“Sepi banget, Kak? Mas Yuno kemana?” tanya Reno.

“Kerja,” Ara tersenyum. “Kalian udah pada makan belum? Mau makan apa? Nanti biar Kakak pesanin aja yah.”

“Ah, ga usah, Kak. Kebetulan Karin sama Reno ke sini mau ngajak Hana pergi.”

Dari kemarin Reno selalu kepikiran sama Hana, karena saat menemaninya sewaktu pemakaman Nathan. Hana banyak diam, anak itu juga sering nangis sendirian. Reno gak mau Hana punya trauma atau merasa sedih yang berkepanjangan karena kehilangan Adiknya.

Selain itu, mendengar kondisi Kakaknya yang belum stabil. Reno juga takut Kakaknya belum bisa menjaga Hana sepenuhnya, ya walau di rumah mereka pun Hana enggak akan sendirian karena ada Budhe Ani dan Mbak Ulfa yang menjaganya.

Tapi tetap saja, Reno ingin sedikit menghibur anak itu dengan mengajaknya jalan-jalan keluar. Berharap hal kecil yang ia lakukan bisa mengobati luka di hati Hana.

“Kemana, Rin?”

“Cuma makan di luar aja, Kak. Kak Ara ikut juga yuk?” melihat kondisi Ara yang banyak diam, Karin jadi sedikit khawatir jika meninggalkan Ara di rumah.

“Kakak di rumah aja, ajak Hana aja gak papa. Kakak mau istirahat, Rin.”

“Bekas operasinya masih sakit yah, Kak?” tanya Reno.

Sebenarnya luka sayatan di perutnya sudah tidak nyeri, ah tidak. Ini hanya Ara yang merasa kebal akan rasa sakit sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi, tapi memang waktu Jeff memeriksanya. Luka itu sudah kering, tidak ada komplikasi apa-apa di lukanya yang mengkhawatirkan.

Namun Ara tetap mengangguk sebagai bentuk alibi agar Reno dan Karina tetap membiarkannya di rumah.

“Um, masih sakit.”

“Kakak gapapa sendiri di rumah?” Karin memastikan, dia benar-benar khawatir melihat Kakak dari Reno itu tidak seperti biasanya. Tapi yang Karin pikirkan saat itu adalah, Ara masih dalam suasana berkabung dan kehilangan jadi wajar jika masih agak berdiam diri.

“Gapapa, Rin. Ada Budhe Ani sama Mbak Ulfa juga kok.”

“Kakak mau titip apa gitu? Kakak lagi kepengen apa? Nanti Reno beliin.”

Ara tersenyum, ia menarik nafasnya panjang. Ia sendiri bahkan sudah tidak menginginkan apa-apa lagi rasanya, semua yang Ara inginkan sudah menghilang bersamaan dengan rasa sakit yang hinggap di dirinya sampai saat ini.

“Apa yah.. Kakak kepengen..” Ara kelihatan menimang-nimang ucapannya sebentar kemudian terkekeh, “ga usah, Kakak gak kepengen apa-apa.”

“Kak? Beneran?” tanya Karina memastikan.

“Yup.” Ara mengangguk. “Kakak, siap-siap dulu yuk sayang, Kakak mau di ajak keluar sama Om Reno dan Aunty Karin.” Ara memanggil Hana, ia ingin menggantikan baju anak itu dan merapihkan sedikit rambutnya sebelum Reno dan Karina mengajaknya pergi.

“YEAYYYY!!” Hana menghampiri Ibunya itu. “Om Reno, kita mau kemana?” tanya Hana pada Reno yang kebetulan duduk di sebelah Ibunya.

“Jalan-jalan tapi masih rahasia..”

“Ihhh Ibu, Om Reno nih main rahasia-rahasiaan,” Hana mengadu pada Ibunya dengan wajah cemberut dan bibir yang mengerucut, sangat menggemaskan. Sampai-sampai Ara, Reno dan Karina terkekeh melihatnya.

“Om, jangan main rahasia-rahasiaan sama Hana dong,” Ara memperingati Adiknya itu, membuat Hana merasa di bela oleh Ibu nya.

Setelah menggantikan baju Hana dan merapihkan rambut panjang anak itu, Reno dan Karina langsung berpamitan. Keduanya pergi dan kini Ara sendirian di lantai 2, di depan pigura pernikahannya dengan Yuno, Ara menarik nafasnya pelan. Ia kembali memikirkan keputusannya untuk berpisah dengan laki-laki yang ia cintai dalam hidupnya.

Ara gak tahu ini akan menjadi keputusan yang baik atau tidak, namun sejak merasa kehilangan Nathan. Ara hanya ingin sendirian seperti ini, berdiam diri dan merenungkan banyak hal. Dengan langkah gontainya itu, ia masuk ke dalam kamar bayi yang masih rapih itu.

Namun Ara baru menyadari jika ranjang yang waktu itu belum selesai di rakit oleh Yuno, kini sudah selesai di rakit. Ara enggak tahu siapa yang merakitnya, tapi ranjang itu berdiri tegap dan rapih. Lengkap dengan kasur kecil, guling, bantal bayi dan selimut.

Bahkan sudah terpasang kelambu di sana dan mainan yang bisa di putar untuk mengeluarkan lagu, Ara tersenyum. Pedih, sangat pedih rasanya mengetahui jika kamar ini mungkin tidak akan pernah berpenghuni. Tidak akan ada bayi yang tidur di sana, tidak akan ada tangisan dari bibir kecil di sana saat tengah malam.

Ara masih ingat bagaimana pagi itu ia, Hana dan Yuno menghias dan merapihkan kamar bayi ini. Kala itu hidupnya masih baik-baik saja, seratus persen baik-baik saja. Sangat berbeda dengan hidupnya yang sekarang, Ara duduk di depan ranjang bayi itu.

Ia mengambil 1 guling kecil di saja dan memeluknya seolah-olah itu adalah bayi nya. Saat Nathan lahir, Ara bahkan belum melihat wajahnya secara langsung dan menggendongnya. Ara gak tahu seberapa besar Nathan jika dalam dekapannya.

Tanpa Ara sadari, air matanya menetes begitu saja menjatuhi kedua pipinya. Itu untuk pertama kalinya Ara menangis setelah merasa kehilangan Nathan, ia memeluk guling itu erat, menciuminya seolah-olah yang ada di gendonganya adalah Nathan, anaknya.

“Maafin Ibu, Nathan...” Ara menangis sesenggukan di sana, hatinya benar-benar sakit saat ini.

Masih menggendong guling kecil itu, Ara membuka laci berisi baju-baju bayi disana. Ada jaket rajut yang belum sempat ia selesaikan.

“Baju kamu, belum Ibu selesain sayang. Nanti Nathan pakai ini biar gak kedinginan yah.” gumam Ara dengan air mata mengalir di pipinya.

Namun tidak lama kemudian, saat Ara melihat dari jendela kamar bayinya. Di luar sudah hampir gelap karena sore, itu memang sudah menjelang magrib. Entah apa yang Ara pikirkan, tapi ia menaruh guling yang sedang ia bawa dan berlari keluar dari kamar bayi itu untuk mengambil tas miliknya.

Tanpa berpamitan pada 2 pekerja di rumahnya, Ara menyetop taksi yang memang melintas di depan rumahnya dan mengarahkan taksi itu untuk menuju ke pemakaman umum. Ini untuk pertama kalinya Ara menginjakan kakinya di depan makam Nathan anaknya.

Tidak sulit menemukan makam Nathan, Arial sudah memberikan alamat lengkap berserta blok tempat Nathan di makamkan. Begitu sampai di makam itu, Ara mengusap nisannya. Masih banyak bunga di atas makam yang masih basah itu.

Dalam hati, Ara membaca nama di makam itu. Memastikan bahwa bayi yang di kandungnya selama 7 bulan itu benar-benar berada di sana. Namanya Abiyan Nathan Putra Wijaya, ada nama Yuno juga di sana sebagai Ayahnya.

“Nathan...” panggil Ara, ia kembali menangis.

“Ini Ibu, sayang...”

Ara tidak perduli dengan hari yang semakin menggelap itu, ia tidak takut pada apapun lagi. Ia hanya ingin di sana bersama Nathan sebentar saja.

“Nathan belum ketemu Ibu, Papa sama Kakak Hana.”

Di usapnya kembali nisan anaknya itu, seolah-olah itu adalah Nathan anaknya. Saat ini Ara baru bisa merasakan rasa sakit kembali setelah berhari-hari mati rasa.

Di tengah isak nya yang menyesakkan, Ara mengeluarkan foto dari dalam dompetnya. Itu adalah fotonya, Yuno dan Hana di sebuah studio saat mereka sedang foto keluarga. Ara taruh foto itu di makam Nathan, berharap anaknya itu tidak akan merasakan kesepian dan berharap di atas sana Nathan bisa melihat foto ini.

“Ini, Ibu, Papa dan Kakak Hana,” Ara menunjuk satu persatu siapa saja yang ada di foto itu. “Nathan udah sering dengar suara Ibu kan?”

“Ibu belum sempat gendong kamu, sayang...” tangis Ara semakin pecah, ia memeluk dirinya sendiri di sana dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya itu dan menangis menyesakkan.

Tanpa Ara sadari, sedari tadi langkahnya memasuki pemakaman dengan terburu-buru. Ada seseorang yang mengikutinya, laki-laki itu juga berdiri tidak jauh di belakangnya. Ia menyaksikan apa yang terjadi dan apa yang Ara katakan.

Laki-laki itu kemudian semakin mendekat pada Ara, ikut berjongkok di depan makam itu dan membaca namanya di sana. Ara masih belum sadar ada orang lain selain dirinya di sana, ia masih sibuk menangisi bayinya.

Setelah membaca makam itu milik siapa, laki-laki itu menoleh ke arah Ara. Tangannya mengusap pundak Ara, ia ingin sekali merengkuh wanita itu dan mendekapnya erat, membiarkan wanita yang ia cintai itu mengadu padanya. Namun sayangnya Julian tidak bisa melakukannya.

Waktu sadar ada tangan yang mengusap bahunya, Ara menengadahkan kepalanya. Ia melihat Julian di sampingnya dengan mata yang memerah seperti sedang menahan tangis.

“Jul..” ucap Ara.

“Maaf aku ngikutin kamu, Ra.” ucap Julian. “Aku lagi lewat sini, gak sengaja liat kamu lari masuk ke pemakaman. Aku khawatir, makannya aku ikutin kamu.”

Ara mengangguk, ia menghapus air mata yang ada di wajah dan matanya. Namun Ara tidak menyadari jika kedua tangannya sedikit kotor terkena tanah, jadi ada sedikit tanah menempel di wajahnya.

Julian enggak tahu apa yang terjadi pada Ara, tapi satu hal yang ia tahu dari ucapan Ara barusan adalah, bayi yang di kandungnya meninggal. Julian yang melihat wajah Ara belepotan dengan tanah itu mengambil sapu tangan miliknya, dan membersihkan wajah wanita yang ia cintai itu dengan sapu tangan miliknya.

“Nathan udah gak ada, Jul...” ucap Ara, nada bicaranya seperti wanita itu tengah mengadu.

“Iya, Ra.. Iya.. Aku tau.”

“Nathan ninggalin aku..”

Julian enggak menjawab, laki-laki itu hanya mengangguk kecil saja. Tangannya masih sibuk membersihkan wajah Ara dari sisa-sisa tanah.

“Kenapa hidup aku jadi kaya begini yah, Jul.. Kenapa semuanya hancur.”

“Kamu kuat, Ra. Kamu gak sendirian.” Julian masih setia di sana meski hari semakin gelap, mengusap-usap kedua bahu Ara, berharap itu bisa menjadi sedikit kekuatan untuk wanita itu.

“Kalo aku gak bisa kuat gimana, Jul? Aku mau ikut Nathan aja, Jul..” Ara luruh, dia yang tadinya berjongkok itu kini jadi duduk. Celana yang di pakainya juga kotor dengan tanah, Julian baru sadar kalau sendal yang Ara pakai bahkan hanya sebelah saja, sendal itu terlepas saat Ara hendak berlari menuju blok tempat Nathan dimakamkan.

Setelah menenangkan Ara, Julian membawa wanita itu ke mobilnya. Julian akan mengantar Ara pulang. Tapi sebelum itu, Julian belikan Ara sendal baru. Sendal berwana biru bergambar ikan lumba-lumba di depannya, laki-laki itu juga yang memasangkan sendalnya setelah kedua kaki Ara yang lecet itu sudah selesai ia obati.

“Aku anterin kamu pulang yah? Bang Yuno pasti nyariin kamu,” ucap Julian.

Ara kini jauh lebih tenang, pandanganya juga tidak kosong lagi. Meski merasa sedih, tapi ini jauh lebih baik dari pada perasaan mati rasa seperti kemarin.

“makasih yah, Jul.”

“Um,” Julian mengangguk, “sama-sama, Ra.”

Begitu sampai di rumahnya, Ara langsung di bawa Budhe Ani dan Mbak Ulfa masuk. Untungnya Hana belum pulang, Julian gak bisa membayangkan bagaimana perasaan Hana jika melihat Ibu nya sehancur itu. Waktu Julian antar Ara pulang, ada Jeff di sana yang nampak panik mencari kemana Istrinya itu pergi.

Di perjalanan Julian sempat menghubungi laki-laki itu, memberi tahu Yuno kalau Ara bersamanya. Makanya Yuno langsung pulang begitu Julian bilang ia akan mengantarkan Ara.

“Gue gak ngerti lo sama Ara kenapa, Bang. Tapi gue bisa ambil kesimpulan kalau Ara benar-benar sekacau itu, bukan cuma karena kehilangan bayi nya aja,” ucap Julian sebelum ia pergi dari rumah Ara.

“Lo gak perlu tahu, Jul. Ara emang lagi enggak baik-baik aja,” ucap Jeff dengan nada dinginnya. “thanks udah nganterin Istri gue pulang.”

Jeff itu pencemburu, ia cemburu dengan semua laki-laki yang pernah dekat dengan Ara. Dan Jeff tahu jika dulu Ara sempat dekat dengan Julian. Bahkan Julian memiliki perasaan dengan Ara, mungkin hingga kini.

Julian hanya menyeringai, “kalau gak bisa jaga, dari awal harusnya lo gak pernah minta Ara buat jadi Istri lo.”

Jeff tertawa, ia menertawakan ke pecundangan Julian yang ternyata sampai saat ini masih mencintai Ara dalam diamnya.

why don't you just admit that you're still in love with her, am i right?

“Kita sama-sama tahu kalau hal ini.” Julian menjawabnya dengan tenang, Julian tahu Yuno memiliki kepribadian lain. Tapi Julian gak tahu kepribadian Yuno yang lain itu seperti apa, jadi Julian tidak tahu saat ini dia sedang berhadapan dengan Yuno atau kepribadiannya yang lain.

yes, i do love her. gue udah cukup melepas Ara untuk memilih hidup bahagia sama laki-laki yang dia cintai, gue cukup menghargai keputusannya.” Julian menyeringai, dia mendekat ke arah Yuno dan berbisik ke telinganya.

and it looks like her chose the wrong,” Julian tersenyum, “tapi gapapa, walau begitu “I will still love her.

Setelah mengatakan itu Julian pergi meninggalkan Jeff yang masih diam mematung di depan pagar rumahnya, Jeff enggak bisa membalas perkataan Julian. Pikirannya saat ini sudah tersita karena kondisi Ara, jadi setelah Julian pulang. Ia masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai 2.

Ternyata Ara baru selesai membersihkan tubuhnya, waktu Jeff masuk ke kamar. Ia sedang duduk sembari memperhatikan plester di kaki nya, Ara gak menoleh ke arah Jeff waktu laki-laki itu masuk. Jadi Jeff memutuskan untuk kembali berjongkok di depan wanita itu.

“Kamu kok ke makam Nathan sendirian? Kenapa gak bilang sama aku? Kan bisa aku antar,” tanya Jeff.

Ara hanya diam, namun wanita itu berbaring di ranjangnya dan meringkuk. “Jeff?”

“A..apa?”

“Tolong bawa pulang Mas Yuno.. Aku butuh dia.”

Jeff mengangguk mengiyakan, ada rasa cemburu dan sakit bercampur aduk menjadi satu.

“Aku janji Yuno pasti kembali, kamu istirahat yah.”

To Be Continue