Luka Yang Sempurna 10
Setelah kondisi Ara membaik, Dokter Bagas mengizinkan Ara untuk pulang ke rumah. Dengan total 5 hari di rawat, kini kondisi Ara sudah lebih stabil. Tekanan darahnya juga sudah stabil, namun wanita itu masih sering melamun sendirian dan belum mau banyak bicara.
Tadinya, Papa dan Bunda menyuruh Ara untuk tinggal di rumah setidaknya sampai Ara pulih. Namun Ara bilang dia baik-baik saja, dia ingin pulang ke rumah. Dan sampailah ia, Hana dan Jeff di rumah mereka. Sampai hari ini pun, Ara masih memanggil Jeff dengan sebutan Yuno.
Tapi Jeff enggak masalah sama hal itu, selama Ara baik-baik saja. Ia berpura-pura harus menjadi Yuno pun akan dia lakoni, Jeff membantu Ara untuk beristirahat di kamar mereka. Hana juga ikut menemani Ibu nya di sana, Hana sudah tahu kalau Adik nya meninggal, anak itu juga jauh lebih pendiam. Bahkan Gita bilang Hana sering diam-diam menangis sembari memeluk guling bayi.
“Kakak mau di kamar aja atau mau di sini jagain Ibu, Um?” tanya Jeff.
“Kakak mau di sini jagain Ibu.”
“Papa ke bawah sebentar yah, Papa mau beresin koper punya Ibu dan Hana dulu. Nanti Papa ke atas lagi.”
Hana mengangguk, ia duduk di ranjang bersama Ibu nya sembari memperhatikan wajah tenang Ibunya itu. Ara sudah mau mengobrol kadang-kadang, di depan Hana pun ia bersikap seolah ia baik-baik saja.
“Kakak mau makan malam pakai apa, Nak?” tanya Ara, ia memeluk anaknya itu yang kini tiduran di sebelahnya.
“Pakai sup udang yah, Buk?”
“Boleh, sayang. Nanti Ibu buatin yah.”
Hana menggeleng, ia memeluk Ibu nya itu. “Budhe Ani aja yang masak, Ibu kan lagi sakit.”
“i'm fine, Kak. Emangnya Kakak gak kangen masakan Ibu, Um?”
“Kangen...”
“Nanti malam Ibu masakin, Yah.”
Hana akhirnya mengangguk, setelah kehilangan Nathan. Ara tidak ingin kehilangan kekuatan lagi, saat ini yang ia miliki hanya Hana sebagai sumber kekuatan terbesarnya. Sampai hari ini, Ara belum tahu dimana Nathan di makamkan.
Arial sudah memberi tahu alamat makam Nathan, namun Ara belum mengunjungi makam anaknya itu. Setelah kehilangan Nathan, Ara justru belum bisa menangis, tapi ia benar-benar merasakan kehilangan dan kekosongan. Rasanya seperti, kamu sudah kebal dengan semua rasa sakit sampai mati rasa.
Perasaan seperti ini jauh lebih tidak enak dari pada perasaan sedih yang selama ini ia rasakan, Ara ingin menghilangkan perasaan seperti ini, tapi dia sendiri enggak tahu bagaimana cara mengatasinya.
“Ibu?”
“Iya, Kak?”
“Where do you think passed away babies go?” Hana menatap Ibu nya, kedua matanya itu berlinang air mata. Hana belum pernah melihat Nathan secara langsung, saat jenazah Nathan sampai di rumah. Arial gak mengizinkan Hana untuk melihat jenazah adiknya itu.
Lagi pula, jenazah Nathan juga tidak lama di rumah. Mereka hanya menunggu tamu-tamu melayat dan menunggu administrasi pemakaman selesai, setelah itu Nathan langsung di kebumikan tanpa kehadiran Ibu nya. Jeff tentu saja hadir di pemakaman anaknya dan bersandiwara sebagai Yuno, waktu itu Ara di jaga oleh kedua orang tua nya.
“Hhmm.. I thought, babies who passed away must go to heaven.“
Hana kemudian kembali diam, ia memainkan jari Ibu nya itu sembari memikirkan apa yang sedang Nathan lakukan di surga, apa Adiknya itu baik-baik saja, dan apa Nathan di jaga oleh para malaikat. Hanya itu yang setiap hari Hana pikirkan ketika tahu Adiknya itu telah meninggal.
“Kak? Kok Kakak sedih?” Ara mengusap kepala anaknya itu penuh kasih sayang.
“Kakak sedih karena enggak bisa jaga Adik Nathan, Buk..”
Ara menggeleng, “no, gak gitu sayang, Hana udah menjadi Kakak yang baik untuk Adik Nathan. Kakak gak salah, Nak. Kakak gak boleh nyalahin diri Kakak sendiri, Yah?”
Hana tidak menjawab lagi, ia justru menangis dan memeluk Ibunya itu. Hana itu senang sekali waktu tahu akan punya Adik sebentar lagi, Hana begitu mendambakan seorang Adik yang bisa ia jaga dan ia ajak bermain bersama. Namun keinginannya itu kini hilang dalam sekejap.
Di depan pintu kamar, Jeff tertegun mendengar obrolan Ara dan Hana di dalam kamar. Ia yang ingin masuk ke kamar itu jadi mengurungkan niatnya, Jeff justru berakhir menutup pintu kamar itu kembali dan masuk ke dalam kamar bayi.
Di dalam kamar bayi, Jeff menangis menyesakan di sana. Jeff masih bisa membayangkan wajah mungil itu pucat dengan mata yang tertutup rapat belum pernah melihat dunia, anaknya dan Ara. Bahkan Jeff masih ingat bagaimana ia menggendongnya, dan memakamkannya sendiri.
“Maafin Ayah Nathan, maafin Ayah, Sayang..” ucap Jeff di sela-sela isak tangisnya.
Kamar bayi yang penuh harap dan doa itu kini hanya tinggal kenangan saja, kamar yang sudah di hias itu tidak akan pernah di tempati, tidak akan pernah ada suara bayi di sana, tidak akan pernah ada tangisan bahagia dan tidak akan pernah ada ucapan selamat ulang tahun setiap tahunnya untuk Nathan.
Dengan sisa-sisa tenaga yang Jeff miliki, ia mencoba untuk merakit ranjang bayi yang waktu itu belum Yuno selesaikan. Jeff merakitnya sembari menangis dan memukuli dadanya yang terasa sesak itu.
Jeff sudah pernah merasakan sakit karena sebuah penolakan, tapi ia tidak pernah merasakan sakit yang begitu luar biasa karena merasakan kehilangan anaknya.
“Nathan...” Jeff tersungkur di lantai, ia meremas bagian dari ranjang kayu itu dengan sangat kencang.
Setelah selesai merakit ranjang bayinya, Jeff turun ke lantai 1. Ara sedang menyiapkan makan malam di sana di bantu oleh Budhe Ani dan juga Hana yang sedang duduk di depan meja pantry memperhatikan Ibu nya memasak.
“kok kamu masak? Kamu gak boleh kecapean loh,” ucap Jeff mengingatkan.
“Cuma masak sup udang, Mas.” jawab Ara, masakannya sudah matang. ia menata makanan nya itu di meja makan dan duduk di sana.
“Makan malam, Yuk?”
Jeff masih mematung di tempatnya, Ara memang sudah jauh lebih baik, tapi Jeff masih merasa ada sesuatu yang mengganjal dengan sikap Ara yang seperti ini. Pandangan wanita itu juga kerap kali kosong.
“Mas?” panggil Ara.
“Um?”
“Makan.”
Jeff mengangguk, ia duduk di kursi meja makan setelah menurunkan Hana dari kursi meja pantry yang lumayan tinggi itu. Ketiganya makan malam di meja makan, hanya ada obrolan kecil saja di sana seperti besok Hana ingin sarapan apa. Dan cerita Hana tentang anak-anak Arial dan Gita yang berusaha untuk menghiburnya.
Setelah selesai makan malam, Ara masih betah melamun di depan ruang TV. Sementara Hana sedang berganti baju dengan Budhe Ani untuk siap-siap tidur.
“Aku mau ke rumah Mama sama Papa dulu setelah ini, Ra. Kamu gak kenapa-kenapa aku tinggal sendiri?” tanya Jeff setelah mereka selesai makan malam.
“Ada Budhe Ani di rumah, Mas.”
Jeff mengangguk pelan, ia kemudian mengambil jaket miliknya dan kunci mobil milik Yuno. Begitu hendak akan berpamitan dengan mencium kening Ara seperti yang biasa di lakukan oleh Yuno, Ara menjauhkan kepalanya dari Jeff dan menatap laki-laki itu dingin.
“Kamu tahu apa yang aku butuhin sekarang?” ucap Ara.
Jeff hanya diam di tempatnya dengan pandangan bingung, kemudian menggeleng pelan.
“Yang aku butuh itu Mas Yuno, Jeff. Bukan kamu.” jawab Ara ketus.
Jeff cukup tertohok dengan kalimat itu, Ara sudah sadar jika ia bukan Yuno, ah tidak. Dari awal Ara sepertinya sadar jika ia memang Jeff, tapi wanita itu berusaha menutupinya dengan bersandiwara ia mengira Jeff itu adalah Yuno.
Jeff hanya mengangguk, ia berharap setelah ini Yuno bisa datang mengambil alih tubuhnya. Jeff juga merasa tidak pantas berada di depan Ara setelah ia menyakiti hati wanita itu dan membuat separuh hidup nya hancur.
“Aku pergi dulu, yah.” pamit Jeff.
Jeff kemudian pergi ke rumah kedua orang tua Yuno, memang sejak kemarin mereka menelpon Jeff untuk meminta bertemu, mereka bilang, Ada banyak hal yang mau mereka bicarakan tentang Ara. Dan malam ini Jeff baru memiliki waktu untuk bertemu mereka.
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, Jeff masuk ke dalam rumah megah milik keluarga Wijaya itu. Papa Yuno ternyata sudah menunggunya di ruang tengah bersama dengan Mama nya Yuno.
Jeff yang baru datang itu langsung duduk dan melempar kunci mobilnya ke atas meja yang ada di sana, ia duduk dan menatap kedua orang tua Yuno itu dengan sorot mata tegas khas seorang Jeff.
“Saya minta, ini untuk yang terakhir kalinya kamu mengacaukan hidup Yuno, Jeff.” ucap Papa.
Jeff yang mendengar itu justru tertawa, Jeff tetap lah Jeff. Ia seorang pembangkang yang akan terus kontra dengan setiap ucapan orang tua Yuno itu. Menurut Jeff, yang menghancurkan hidup Yuno itu adalah Papa nya sendiri, bukan dirinya.
“Papa gak salah bilang itu ke saya? Bukan saya yang hancurin hidup Yuno. Tapi justru Papa yang hancurin hidup dia, Papa bikin Yuno seolah-olah Yuno adalah thropy Papa, hanya karena Yuno anak laki-laki satu-satunya di keluarga Wijaya,” ucap Jeff santai.
“Jaga bicara kamu Jeff!! Saya melakukan itu semua demi kebaikan Yuno!!”
“Kebaikan Yuno atau ego Papa?”
“Jeff,” Mama memperingati, membuat Jeff menoleh ke arahnya dengan tatapan acuh.
“Saya tahu yang saya lakukan salah, kalian pikir saya enggak merasa berdosa dengan semua ini? Saya merasa berdosa!! Nathan itu anak saya sama Ara, dia anak saya bukan anak Yuno. Dan yang paling kehilangan itu saya.” pekik Jeff, nada suara yang selalu tegas dan terdengar berat itu kini bergetar.
“Jangan gila kamu, Jeff. Nathan itu anaknya Yuno!” Papa sempat kaget dengan penuturan Jeff barusan, namun benar kan, bagaimana pun juga Nathan tetap anaknya Yuno.
“Kalau gitu jangan pernah datang lagi,” lanjutnya.
“Saya harap begitu, Pah. Saya enggak akan datang kalau Papa tidak pernah menekan Yuno sampai dia stress.”
Jeff menarik nafasnya pelan, “ini untuk terakhir kalinya saya bicara sama Papa dan Mama untuk mewakilkan semua yang Yuno rasakan,” ucap Jeff.
Ia berharap setelah ini, Yuno bisa kembali pada tubuhnya. Jeff juga berharap setelah ini kedua orang tua Yuno itu tidak menuntut Yuno untuk selalu sempurna seperti keinginan mereka. Ya, Jeff harap begitu.
“Yuno capek untuk menjadi anak yang sempurna, Yuno bukan thropy kalian. Yuno seorang anak yang juga ingin di tanya apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Setelah ini, tolong jangan paksa Yuno untuk hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Yuno sudah cukup mengikuti kemauan kalian, dan sekarang biarkan dia bahagia dengan pilihan-pilihan hidup yang ingin ia ambil,” jelas Jeff.
Ucapan Jeff itu cukup membuat kedua orang tua Yuno terdiam, mereka merasa yang berbicara itu Yuno meski sorot mata tegas itu tetap milik seorang Jeff. Papa bahkan kehilangan kata-katanya, setelah mengatakan itu, Jeff pergi. Dia enggak berpamitan lagi pada kedua orang tua Yuno.
Sebelum pulang ke rumahnya, Jeff sempat menuliskan semua yang dia lakukan dan surat untuk Yuno baca ketika laki-laki itu nanti kembali. Jeff juga meminta maaf atas semua yang dia lakukan.