Pertama Kali
Pertama kali saat Ara membuka mata di pagi hari adalah, meraba ranjangnya tempat Yuno dan ia tidur. Semalam, setelah membuat mie instan, Jeff langsung tidur di kamar Yuno dan Ara. Setelah menidurkan Hana dulu, barulah Ara masuk ke dalam kamar mereka dan tidur di ranjang yang sama. Jeff enggak mau makan masakan Ara, makanya dia lebih memilih masak mie instan sendiri. Berbeda dengan Yuno yang pandai untuk urusan dapur, Jeff itu sama sekali enggak pandai memasak. Bahkan untuk menggoreng telur sekalipun.
Itu memang bukan Yuno Suaminya, tapi tetap saja tubuh itu milik Yuno seutuhnya. Jeff hanya kepribadian yang Yuno sembunyikan dari orang-orang, bagi Ara mereka tetap sama. Yuno adalah Jeff dan Jeff adalah Yuno.
Kedua matanya terbuka setelah Ara tidak mendapati Jeff tidur di sebelahnya, Ara buru-buru melihat jam di meja kecil sebelahnya. Ternyata ini sudah jam 10 pagi, Ara ingat kalau hari ini Jeff sudah janji dengan Hana akan pergi berenang. Apa mereka sudah pergi? Ara memang terlambat bangun, semalam pinggangnya sedikit sakit dan ia jadi sulit untuk tidur.
Dengan agak terburu-buru, Ara memeriksa kamar mandi lebih dulu. Siapa tahu Jeff sedang mandi, tapi di kamar mandi tidak ada siapa-siapa. Lalu Ara keluar dari kamar dan turun ke dari lantai 2.
“Mas? Hana?” panggil Ara, ia sempat memeriksa kamar Hana. Tapi anak nya itu tidak ada, entah kenapa tiba-tiba saja perasaan Ara enggak enak.
“Hana?”
Ara kemudian menyusuri taman yang berada di depan rumah, Hana tidak ada di sana. Mobil Yuno juga tidak terparkir di halaman rumah, Ara semakin panik. Ia kemudian menyusuri taman belakang. Dan ia dapati Hana di sana bersama Mbak Ulfa sedang bermain. Tapi Ara enggak mendapati Jeff di sana.
“Ibuuuuuu!!” pekik Hana, bocah itu sudah mandi. Sudah rapih akan bersiap untuk pergi, ia lari menghampiri Ara dan memeluk Ibu nya itu.
“Kakak lagi apa sayang? Tadi Ibu cariin Kakak.”
“Kakak, playing with dolls, maaf yah, Bu. Hana enggak dengar Ibu panggil,” ucapnya. Membuat Ara tersenyum dan mengangguk kecil.
“Gapapa, sayang. Um, Papa kemana?” tanya Ara.
“Tadi pagi Papa bilang, Papa mau ke bengkel dulu.”
“Bapak tadi pamit ke bengkel, Buk. Katanya kemarin di rumah sakit mobilnya sempat nyerempet mobil lain. Jadi mau benerin dulu baru nanti antar Hana ke kolam renang,” jelas Mbak Ul.
“Bapak pergi jam berapa yah, Mbak?”
“Sekitar jam 8 pagi, Buk.”
Ara terdiam sebentar, Jeff enggak cerita soal mobil Yuno yang menabrak mobil lain di rumah sakit. Jeff juga enggak cerita bagaimana bisa Jeff mengambil alih Yuno, kepala Ara rasanya berkedut. Ia takut Jeff membuat masalah di luar, ia duduk di kursi taman sembari mencoba menghubungi ponsel Suaminya itu.
“Kakak main lagi yah, Ibu mau telfon Papa dulu.”
“Okey!!”
Beberapa kali Ara mencoba untuk menelpon ke ponsel Yuno, tapi Jeff sama sekali enggak mengangkatnya. Bahkan kali ini panggilannya di tolak oleh Jeff, karena Jeff tidak kunjung mengangkat telfonnya akhirnya Ara mengirimi pesan ke ponsel Suaminya itu.
Setelah perdebatan dengan Jeff melalui pesan, Ara kembali mencoba menelfon laki-laki itu lagi. Kali ini ia agak menjauh dari Hana, kebetulan Hana juga sedang asik bermain dengan boneka-bonekanya.
“kenapa lagi?” ucap Jeff di sebrang telfon sana.
“Kamu di mana? Biar nanti aku jemput kamu, Jeff. Aku gak mau Hana kecewa, biar urusan mobil aku bisa minta tolong sama Ren—”
“lo kenapa keras kepala banget sih? Apa susahnya cuma bujuk Hana supaya mau berenang di rumah!! Hana itu masih kecil, Ra. Dia gampang di kelabuhi, lagian Hana bukan tipikal bocah tantrum yang kalau keinginannya gak kesampaian dia bakalan ngamuk kok. Dia juga pasti ngertiin Papa nya,” jelas Jeff.
Ara menghela nafasnya pelan, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Ia tidak ingin Hana kecewa, Hana memang pengertian, tapi Ara tahu betapa inginya Hana mengajak Yuno ke kolam renang itu. Bahkan anak itu sudah sering menceritakan keinginannya itu pada Ara, dan sekarang Jeff tega membatalkan janjinya begitu saja.
“Ya Udah, nanti aku coba bujuk Hana.” Ara mencoba menenangkan dirinya sebentar, “Jeff, Hati-hati yah, tolong kabarin aku kalau udah selesai.”
Tidak ada sahutan di sana dari Jeff, Jeff langsung mematikan sambungan teleponnya. Membuat Ara hanya bisa meringis, Ara gak ingin memancing amarah Jeff. Karena itu akan membuat Jeff semakin lama mengambil alih Yuno.
Karena ini sudah hampir siang, Ara akhirnya menghampiri Hana. Mencoba bicara pada anaknya itu jika Papa nya enggak bisa memenuhi janjinya kali ini, Ara hanya berharap Hana enggak ngambek jika Jeff pulang nanti.
“Kakak?” panggil Ara, anak itu menoleh dan menghampiri Ibu nya.
“Kenapa, Bu?”
Ara duduk di kursi taman, memegang kedua tangan kecil putrinya itu dan menatapnya. “Ibu tadi telfon Papa, Papa bilang, Papa enggak bisa antar Hana renang hari ini, sayang.”
Wajah bocah itu langsung mendadak mendung, Hana enggak bisa menyembunyikan kekecewaannya itu. Dan Ara langsung buru-buru menarik tangannya pelan dan memangku putri kecilnya itu.
“Tapi kan Papa udah janji mau berenang sama Hana, Bu. Kok malah enggak bisa antar, Hana kan nunggu Papa libur lama,” ucap Hana, membuat Ara tidak tega sendiri melihatnya.
“Papa masih di bengkel, sayang. Ada sedikit problem sama mobil yang di pakai Papa.”
Hana diam saja, dia enggak menjawab apa-apa lagi. Hana hanya memperhatikan jemari Ibu nya yang dari tadi ia genggam.
“Kakak...”
“Hana mau berenang, Bu..” rajuknya.
“Berenang sama Ibu aja di rumah yah? Mau hm? Nanti habis Hana berenang Ibu bikin cloud bread lagi, kan Hana suka cloud bread.“
Bocah itu memperhatikan wajah Ibu nya, kemudian mengangguk kecil. Hana memang mudah di bujuk, tapi wajah anak itu masih menampakan kekecewaan.
“kiss Ibu dulu, um?”
Walau separuh hati, Hana tetap mencium Ibu nya. Anak itu juga memeluk Ara dengan erat, Ara tau Hana ingin menangis karena kecewa, tapi anak itu kepalang janji pada Ara dan Yuno untuk bersikap lebih dewasa lagi karena akan menjadi seorang Kakak.
“Kita siap-siap yah, Ibu ambil handuk Kakak dulu.”
“Lo kenapa gak bilang kalau mobil yang lo tabrak Mas-Mas nya seganteng ini anjirt Shanin,” pekik Vera tertahan.
Keduanya masih berada di bengkel mobil yang di tunjuk Jeff sebagai bengkel langganannya, Shanin enggak datang sendiri. Dia sama Vera, dan sekarang Vera sedang menahan teriakannya hanya karena melihat pesona dari wajah tampan laki-laki yang mereka kenal dengan nama Jeff.
“Lo jangan bikin malu gue deh, Ver.” bisik Shanin.
“Sumpah, Nin. Kalo gini caranya gue juga mau sih mobil gue di tabrak, udah ganteng, gentle men, terus tadi dia bilang kalau dia dokter? oh god, please.“
Shanin hanya menghela nafasnya pelan, dari tadi dia juga memperhatikan Jeff yang sedang menelpon seseorang. Entah apa yang sedang di bicarakan, tapi beberapa kali Shanin lihat raut wajah Jeff sedikit enggak bersahabat. Nada bicaranya juga agak sedikit kencang sampai Shanin bisa mendengarnya samar-samar.
Tidak lama kemudian Jeff kembali memeriksa mobilnya lebih dulu, mobil Jeff di kerjakan lebih dulu dan sudah selesai. Sementara mobil Shanin masih dalam proses perbaikan, malah baru berjalan setengahnya.
“Ini udah jam makan siang, kalian berdua mau makan siang dulu atau mau disini—”
“Kita berdua mau makan siang, Mas Jeff mau barengan aja?” Vera yang semangat banget menyela ucapan Jeff lebih dulu, cewek itu benar-benar terpesona sama Jeff.
“Iya, saya mau makan siang dulu. Mau ngajak bareng sih, gimana? Kebetulan di sebrang sana ada restoran ayam hainan. Mau makan siang di sana?”
“Eng..gak usah deh, Mas Jeff. Nanti saya bisa delivery makanan aja,” ucap Shanin, jujur saja Shanin canggung banget sama Jeff. Cowok itu memang baik, tapi Jeff itu cenderung serius dan enggak asik di ajak bicara.
“Saya serius, kalau mau bareng gapapa. Kalian mau makan di bengkel? Tempat ini kotor.”
“Tau lu, Nin. Udah deh ikut Mas Jeff aja please gue udah laper ini,” keluh Vera.
Akhirnya Shanin setuju, mereka pun makan di restoran ayam hainan yang tidak jauh dari bengkel. Dari tadi saat mereka makan, yang mendominasi obrolan itu selalu Vera. Vera bahkan menceritakan tentang project-project yang sedang ia jalankan bersama tim nya.
Kalau Shanin hanya diam saja menikmati makanan, yah meskipun sesekali ia sedikit melirik ke arah Jeff. Walau ketika mata mereka bertemu, Shanin akan segera membuang pandanganya ke arah lain.
“Kalau Shanin kerja dimana?” tanya Jeff, kebetulan mata mereka bertemu. Dari tadi Shanin juga diam saja, enggak bicara apa-apa atau menceritakan tentang dirinya.
“Hm, kalau saya guru, Mas. Di Jakarta Internasional School,” jelas Shanin.
“Oh ya? Ngajar apa?”
“Bahasa Prancis, belum lama juga sih ngajarnya. Baru sekitar 3 tahunan, terus kebetulan sekarang lagi cuti dan cuma ambil project kecil di kantornya Vera jadi translator.”
Jeff mengangguk, kebetulan Jeff juga bisa sedikit-sedikit bahasa Prancis. Jeff yang bisa, bukan Yuno. Jeff itu jenius, bukan hanya dalam bidang akademik tapi juga menguasai macam bahasa. Dulu, waktu Yuno masih sekolah bahasa, Jeff yang banyak menggantikan laki-laki itu agar ada peningkatan dan bisa segera lulus dari sekolah bahasanya. Yah, meskipun Yuno juga bekerja keras untuk itu.
“Saya juga lumayan bisa bahasa Prancis, udah agak sedikit lupa pelafalannya sih. Tapi not bad lah.”
Shanin mengangguk, “Mas Jeff praktik apa di rumah sakit Harta Wijaya?”
“Saya masih dokter umum, baru mulai studi lagi ambil spesialis jantung. Agak telat sih memang, bodoh banget saya juga. Malah berpikir lebih nyaman jadi dokter umum.” Jeff bukan mencela dirinya sendiri, tapi mencela Yuno yang ia anggap bodoh karena tidak cepat-cepat melanjutkan studinya.
“Hebat, pasti sibuk banget yah, Mas?” tanya Vera antusias.
“Lumayan, karena masih sering di taruh UGD makanya jam kerjanya juga lebih panjang.”
“Berarti Mas Jeff kenal Dokter Amreiza dong yah?” kali ini Shanin yang bertanya.
Jeff mengangguk, menyingkirkan piring bekasnya makan dan kembali menyimak pertanyaan dari Shanin. Menurutnya Shanin memang agak canggung, tapi lama kelamaan gadis itu asik di ajak bicara.
“Kenal, dia senior saya. Spesialis kejiwaan kan, kamu pasiennya?” sebenarnya Jeff enggak mengenal Dokter Amreiza, yang kenal itu Yuno. Dan Jeff tidak sengaja melihat nama dan fotonya di ruang absen dokter dan perawat. Di sana ada mading berisi foto dokter, poli dan posisi yang di pegang di rumah sakit.
“Iya, saya baru mulai konsul sama Dokter Amreiza. Buat ngobatin trauma saya.”
Jeff mengangguk, dia enggak mau nanya-nanya soal trauma yang di derita Shanin. Karena Jeff juga enggak suka sama psikiater, dia enggak suka dirinya atau pun Yuno di pandang lain oleh mereka. Menurut Jeff ia dan Yuno sama seperti orang-orang normal lainnya.
To Be Continue