Pertama Kali 03

Ini untuk kedua kalinya Shanindya ke psikiater, semalaman ini dia enggak bisa tidur, Shanin sudah paksakan dirinya untuk setidaknya tidur minimal 1 jam. Tapi apa daya jika kepalanya terus memutar isi kejadian mengerikan itu terus berulang kali, sementara mata dan tubuhnya sudah sangat lelah.

Pagi menjelang siang ini Shanin baru saja selesai dengan konselingnya, psikiater pilihan Mbak Ara benar-benar membuatnya nyaman, beliau berhasil membuat Shanin setidaknya lebih tenang dari pada saat ia belum konseling tadi. Setelah mendapatkan resep obat dan jadwal konsul selanjutnya, Shanin pergi ke bagian farmasi untuk menunggu obatnya.

Tadinya Shanin tidak ingin ke rumah sakit sendirian, ia belum tidur dan takut tidak fokus menyetir. Namun Vera sahabatnya bilang kalau ia tidak bisa mengantar Shanin karena ada meeting mendadak dengan klien nya pagi ini.

Kedua orang tua Shanin itu tinggal di Solo. Sementara Shanin merantau sendiri ke Jakarta, Shanin sudah terbiasa sendiri. Shanin juga enggak cerita soal traumanya ini ke orang tua nya. Dia enggak ingin kedua orang tua nya yang sudah berumur itu memikirkan kondisinya disini, mungkin kalau Ibu dan Bapaknya tahu. Shanin pasti akan disuruh pulang ke Solo.

Shanin saat ini memang mengajukan cuti di sekolahnya, Yup. Ia seorang guru bahasa Prancis di sebuah Sekolah Menengah Pertama internasional di Jakarta. Sejauh ini Shanin hanya mengambil project-project kecil seperti menjadi translator orang asing di perusahaan tempat Vera bekerja.

Bagaimanapun juga, Shanin masih butuh penghasilan apalagi biaya konsul dengan psikiater itu enggak murah. Sedang asik melamun sambil sesekali melihat TV yang berada di atas dinding, Tiba-tiba nomer antrean nya di panggil. Shanin bangun dan menuju ke meja apotekernya untuk mengambil obat-obatan yang harus ia konsumsi.

“Yang ini 1 kali sehari, di minum saat mau tidur aja yah, Mbak.”

Shanin mengangguk, “makasih, yah, Mbak.”

Setelah selesai mengantre, Shanin langsung berjalan menuju parkiran mobil. Ia berencana untuk membeli beberapa makanan dulu sebelum pulang, di dalam mobil Shanin beberapa kali menarik nafasnya agar ia jauh lebih tenang. Shanin bukan enggak mau milih naik taksi saja, masalahnya ia lagi menekan pengeluarannya. Makanya ia paksakan dirinya menyetir meski urung tidur.

“Habis ini gue harus benar-benar tidur, gak boleh buka kerjaan apapun itu. Bisa yuk, gue harus tidur. Badan gue udah capek banget,” ucapnya sebelum menyalakan mobil.

Saat Shanin ingin mengeluarkan mobilnya dari parkiran, tiba-tiba saja ia tersentak ketika ada mobil lain menabraknya dari depan. Shanin panik bukan main, jadi ia buru-buru keluar dari sana. Saat itu yang Shanin khawatirkan bukan mobilnya yang baret atau bahkan penyok, tapi mobil milik seseorang yang ia tabrak.

Ini memang salahnya karena salah menginjak gas, Shanin memang belum lama mendapatkan SIM nya. Dia juga baru ganti mobil setelah tadinya ia menggunakan mobil matic, makanya kadang Shanin masih suka kagok.

“Mampus gue,” pekiknya. “Penyok parah ini gimana dong..”

Tiba-tiba saja pemilik mobil yang ia tabrak barusan keluar, Shanin panik bukan main waktu laki-laki itu juga memeriksa keadaan mobilnya. Tapi laki-laki itu nampak tenang, bahkan ekspresi wajahnya enggak menggambarkan apa-apa. Hanya datar, seolah-olah kejadian tadi bukan sesuatu yang mengkhawatirkan.

“Mas, maaf saya benar-benar enggak sengaja. Tadi kayanya saya enggak fokus terus malah nginjak gas nya,” jelas Shanin. Dia merogoh isi dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya.

“Ini kartu nama saya, saya yang bayar ganti rugi mobil Mas nya aja gapapa. Saya benar-benar lagi enggak fokus,” Shanin memberikan kartu namanya itu pada laki-laki yang ada di depannya.

Dia berniat untuk tanggung jawab, tapi Shanin enggak bisa membawa mobil laki-laki itu ke bengkel hari ini. Shanin benar-benar bisa melakukan itu besok, hari ini ia tidak fokus dengan banyak hal karena tubuhnya sudah lelah karena sulit tidur.

Laki-laki itu menghela nafasnya pelan dan memijat pelipisnya. “Saya aja yang ganti, tadi saya emang gak liat mobil Mbak keluar kok.”

Salahnya juga, saat Shanin ingin keluar dari parkiran ia memang sedang memeriksa ponselnya. Jadi dia gak tau kalau ada mobil lain mau keluar dari parkiran, jadi intinya keduanya memang sama-sama salah karena enggak fokus.

“Hah?” Shanin bengong, dia bingung bukan main.

Laki-laki itu mengangguk, “kita mau ke bengkel sekarang? Atau mungkin Mbak nya lagi buru-buru?”

“Ah, sa..saya enggak lagi buru-buru sih, tapi bisa gak kita selesain ini besok aja, Mas? Saya beneran lagi enggak fokus. Kurang tidur juga kayaknya.”

“Sama, kalau gitu simpan nomer saya aja yah. Besok kita ketemuan di luar, nanti saya kabari kita ketemu di bengkel mana.” laki-laki yang belum Shanin ketahui namanya itu mengeluarkan ponselnya, menekan satu persatu nomer yang ada di kartu nama milik Shanin dan menelfon ke ponsel Shanin.

“Itu nomer saya, nama saya Jeff.” ucapnya mengenalkan diri.

“Mas kerja disini?” setelah menyimpan nomer laki-laki bernama Jeff itu, Shanin menyimpan ponselnya.

“Iya, saya dokter disini. Kalau gitu saya duluan ya.” setelah mengatakan itu, laki-laki itu masuk kembali ke dalam mobilnya dan pergi lebih dulu.

Sementara Shanin masih terdiam di dalam mobilnya, dia masih sedikit kaget karena menabrak mobil seorang dokter. Belum lagi Shanin harus mikirin ganti rugi, memang sih laki-laki bernama Jeff tadi bilang kalau dia yang mau ganti rugi semuanya. Tapi tetap saja Shanin merasa enggak enak, disini posisinya memang dia yang salah karena sudah menginjak gas.

Di perjalanan Shanin lebih fokus lagi, kebetulan sekali Vera menelfon jadilah ia angkat panggilan itu dengan memakai earphone di telinganya. Ia bisa bicara dengan Vera sampai setidaknya dekat dengan daerah rumahnya berada.

Nin, gimana tadi konseling lo? Duh.. Sorry banget gue gak bisa anterin yah.

“Gapapa kok, Ver. i'm good yah cuma tadi ada sedikit kecelakaan kecil aja sih.”

what?! Kecelakaan apa? Terus sekarang lo dimana?

Jalanan di depan sana agak sedikit padat, jadi Shanin bisa sedikit menyandarkan tubuhnya sebentar di kursi mobil.

“Gue tadi nabrak mobil di parkiran, yah mobil gue penyok bagian depannya. Lampu nya juga pecah, kalau mobil yang gue tabrak lecet di bagian samping sama ada penyok gitu sih, untung orangnya baik banget dan malah dia yang mau gantiin semua ini,” jelas Shanin.

hah? Serius, eh tapi malah bagus gak sih? Lo jadi gak keluar uang.

“Iya sih tapi tetap aja gue enggak enak, posisi nya gue yang salah kok emang. by the way besok lo sibuk gak? Temenin gue ke bengkel yuk.”

gak kok, besok gue free. Eh tapi yang lo tabrak mobilnya tuh cewek apa cowok? Kok kedengarannya baik banget gak pake acara marah-marah.

Shanin kembali melajukan mobilnya setelah lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau, kali ini dia menjalankan mobilnya dengan pelan. Shanin harus benar-benar fokus, apalagi matanya sudah sedikit mengantuk saat ini.

“Cowok, Ver. Kalo cewek sih gue enggak mungkin ngajak lo, gak akan canggung juga. Yah besok temenin please.

iya, iya. Ya Udah, lo balik langsung istirahat deh yah, nanti text aja yah kita ke bengkel jam berapa.


“PAPAAAAA....”

Begitu melihat Papa nya pulang, Hana berlari ke arah Yuno. Yuno juga menyambutnya dengan rentangan tangan dan menangkap putri kecilnya itu kemudian menggendongnya.

“Waduhhhh, princess nya Papa udah wangi banget sih, udah sarapan sayang hm?” Jeff mencium pipi Hana, kemudian berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa bersama Hana di sana.

Bocah itu mengangguk, “Yes, Hana has had breakfast, Hana really miss Papa. Papa besok libur kan?”

Papa also misses Hana, yup. Besok Papa Libur, why princess, hm? Cantik nya Papa mau ngajak Papa kemana?”

“Kita berenang yuk, Pah?”

At home? hm?”

Hana menggeleng, ia menunjukan foto dirinya di kolam berenang bersama Kenzo temannya. Beberapa hari yang lalu, Hana memang di ajak oleh Kenzo dan kedua orang tua nya untuk berenang. Hana banyak bercerita sama Ara soal kolam renang dan wahana permainan air yang banyak di sana, makanya Hana ingin mengajak Papa dan Ibu nya ke kolam renang itu lagi.

no, Papa, kemarin kan Hana di ajak sama Daddy and Mommy nya Kenzo, ke kolam renang yang luas... Sekali, banyak permainan nya. Hana mau ke sana lagi sama Papa dan Ibu..”

Jeff tersenyum, tanpa berpikir panjang ia langsung mengangguk. “Besok kita berdua aja yah? Biar Ibu istirahat di rumah, hm?”

Jeff sengaja mengajak Hana saja tanpa mengajak Ara, dia gak suka sama keberadaan wanita itu. Yang Jeff sayang hanya Hana karena Jeff berpikir Hana adalah anaknya juga, tapi tidak dengan Ara. Karena baginya, yang menikah dengan Ara itu Yuno bukan dirinya. Toh Ara juga tidak pernah menganggap Jeff ada, yang Jeff pikirkan tentang wanita itu adalah. Ara menganggapnya seperti parasit yang hanya bisa menumpang pada tubuh Suaminya.

Hana mengangguk.

Ara masih sibuk di dapur, dia sedang membuatkan teh hangat untuk Yuno dan menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu. Yuno itu semalam berjaga di UGD dia enggak pulang ke rumah, dan baru pulang pagi hari setelah shift nya selesai. Ara tahu banget Yuno pasti lelah, jadi setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu. Ia beringsut menghampiri Yuno dan Hana.

“Kakak, biarin Papa mandi terus sarapan dulu sayang. Papa kan capek habis pulang kerja, Kakak sama Ibu dulu sini,” Ara duduk di samping Yuno setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu.

Hana itu penurut sekali, setelah Ibu nya berucap seperti itu. Hana langsung kembali menonton TV sembari mewarnai lagi, selain gemar berenang. Hana itu gemar sekali mewarnai, bahkan anak itu memiliki buku bergambar yang banyak. Apalagi Gita dan Arial sering banget ngirimin buku bergambar dan krayon dengan warna lengkap untuk Hana.

“mandi dulu, Mas.” ucap Ara, jika biasanya Yuno akan mengecup keningnya setelah pulang bekerja. Tapi kali ini laki-laki itu langsung beringsut bangun, laki-laki yang Ara tahu itu adalah Yuno bahkan enggak menyapa Ara sedikit pun.

Ara hanya berpikir jika Yuno mungkin lelah, jadi dia berinsiatif untuk menyiapkan baju untuk Suaminya pakai nanti. Jadilah Ara membuntuti Yuno ke kamar mereka.

“Capek banget yah, Mas? Habis sarapan mau aku kupasin bua—”

“Gue mau langsung istirahat aja, sarapannya lo aja yang makan. Atau suruh pembantu di bawah yang makan, itu makanan kesukaan Yuno semua.”

Ara terdiam, sungguh rasanya seperti ia tengah berdiri di tepi jurang dan ada seseorang yang mendorongnya jatuh. Itu bukan Yuno suaminya, tapi itu Jeff. Kepribadian lain yang di miliki Yuno, itu artinya Yuno sedang sangat tertekan sampai-sampai Jeff muncul menggantikannya.

Sebelum Jeff masuk ke kamar mandi, Ara beringsut menahan tangan Suaminya itu. Ia cuma mau tahu apa yang telah terjadi sama Yuno sampai-sampai Jeff harus menggantikannya.

“Jeff, Mas Yuno kenapa?” tanya Ara.

Jeff menghela nafasnya dengan kasar, kedua mata Yuno yang biasanya menatapnya dengan hangat itu kini melihatnya penuh dengan kebencian. Jeff itu emang enggak suka sama Ara, menurut Jeff, Ara itu cewek yang manja, karena Ara juga Yuno jadi enggak pernah merasa sendirian lagi sampai-sampai Jeff sulit untuk menunjukan keberadaanya.

Jeff juga lah alasan Ara dan Yuno putus dulu, Yuno yang memutuskan hubungan mereka karena Yuno takut Jeff menyakiti Ara. Waktu itu Yuno benar-benar tertekan karena paksaan orang tua nya yang menyuruhnya mengambil fakultas kedokteran di Jerman, makanya Jeff bisa muncul. Yuno dan Jeff membuat kesepakatan agar mereka berdua bisa menjadi seorang dokter, makanya Jeff bilang kalau Yuno harus mengakhiri hubungannya dengan Ara dulu agar kesepakatan itu bisa berjalan.

“Lo kan bini nya, lo sendiri enggak tahu keadaan Yuno gimana?” ucap Jeff dingin.

Perlahan Ara melepaskan tangannya dari tangan Yuno, “Jeff, Mas Yuno emang lagi tertekan dia baru aja ambil studi nya lagi.”

“Bagus kalau lo tau. minggir, gue mau mandi.”

“Jeff.” Ara menahan tangan Yuno kembali.

“Apaan lagi sih?”

“Aku mohon kalau di depan Hana, tolong bersikap selayaknya Mas Yuno.” Ara enggak mau Hana bingung, akan sangat susah menjelaskan tentang siapa Jeff pada Hana. Ara berencana akan memberitahu soal ini jika Hana sudah besar nanti, setidaknya sampai Hana paham apa yang di derita Papa nya.

“Gini yah, Ra. Hana itu emang anaknya Yuno, tapi kalau lo lupa. Gue sama Yuno itu sebuah satu, dia adalah gue dan gue adalah dia. Hana itu juga anak gue, gue tau kok harus bersikap kaya apa di depan dia.”

“Jeff..”

“Udah ah, minggir. Gue mau mandi!!” Jeff menyingkirkan tangan Ara dengan kasar, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dengan sedikit membanting pintunya.

Sementara Ara masih terpaku di tempatnya berdiri, ia menarik nafasnya pelan, kemudian duduk di ranjang. Semalam yang ia temui masih Yuno Suaminya, lalu pagi ini sosok Yuno itu di gantikan oleh Jeff. Apa yang sebenarnya terjadi sama Suaminya itu?