Seharusnya Tidak Seperti Ini 09

“Pagi, Kak.” sapa Bunda di meja makan begitu Ara turun dari kamarnya.

“Pagi, Bun.”

Dari kemarin Ara menginap di rumah kedua orang tua nya, dia sangat merindukan kamarnya di rumah itu. Rencananya pagi ini Ara juga akan mengatakan sebuah kejujuran jika ia ingin berpisah dengan Suaminya kepada kedua orang tua nya itu.

Ara menoleh ke teras, Papa nya ada di teras. Sedang memandikan burung hias kesayangannya di sana, di meja makan, hanya ada Bunda dan Reno yang sedang sarapan dan akan pergi bekerja. Ara duduk di samping Reno, melihat anak itu makan dengan begitu lahapnya sambil melihat ke tab yang ada di sebelahnya.

“Makan tuh jangan sambil ngurus kerjaan, Dek.” Ara mengingatkan Reno, laki-laki itu menoleh dan tersenyum ke Kakaknya.

“Pagi, Kak.” sapanya.

“Hm.. Taruh dulu tab nya, makan yang benar.” Ara enggak suka banget ada kegiatan lain selain makan di atas meja, bukan hanya Reno saja yang ia tegur jika makan sambil bekerja. Yuno juga dulu begitu, makan sambil belajar dan Ara akan menegurnya. Mengatakan ia harus menyelesaikan makannya dulu baru bisa melakukan kegiatan lain.

“Iya kak,” Reno mendengus, meski begitu ia tetap menaruh tab miliknya di dalam tas dan melanjutkan makannya.

“Papa enggak sarapan, Bun?”

“Papa udah duluan, Kak.” Bunda menoleh ke arah Suaminya itu, “Baru beli burung baru dia, makanya tiap pagi ditimang-timang mulu.” Bunda terkekeh.

Ara mengangguk, ia mulai sarapannya pagi ini. Pagi ini Bunda bikin toast, ada nasi goreng udang juga di sana. Tapi Ara memilih sarapan dengan toast, nasi goreng itu biasanya yang makan Reno. Anak itu gak bisa sarapan kalau hanya dengan toast, kata Reno itu bukan makan namanya tapi ngemil.

Sambil sarapan, Ara sambil melamun. Semalaman ponsel milik Yuno menelponnya tapi Ara enggak mengangkat telpon itu, Ara udah lelah berdebat dengan Jeff. Dia mau menenangkan dirinya dulu sebelum menyiapkan segala berkas-berkas keperluannya untuk ke pengadilan agama.

“Kak?” panggil Bunda, membuat lamunan Ara akan rencanannya itu buyar begitu saja.

“Um?”

“Makan kok sambil ngalamun sih? Pamali, Kak.”

Ara tersenyum, “maaf yah, Bun.”

Reno yang sudah selesai makan itu langsung berdiri dan memakai ranselnya, sudah hampir jam 8 pagi, jika telat 5 menit saja jalanan akan sangat padat nantinya.

“Bun, Kak. Reno berangkat yah, mau meeting pagi ini sama klien jam 10,” ucapnya. Laki-laki tinggi itu menyalami Bunda nya dan Kakaknya.

“Yaudah, hati-hati loh, dek. Jangan skip makan siang nanti yah.”

“Yah. Bun, Kak, Reno jalan yah.”

Ara hanya tersenyum dan mengangguk, begitu Reno berangkat Papa juga masuk ke dalam rumah dan bergabung dengan Bunda dan Ara yang sedang sarapan sembari saling bertukar cerita.

Bunda cerita banyak hal, termasuk soal persiapan pernikahan Reno, coffee shop milik Papa dan juga Bunda yang sudah membuat baju bayi untuk Nathan. Bunda juga cerita bulan depan Mas Yuda dan Istrinya akan berlibur ke Jakarta.

“Berarti Hana sama Arial dan Istrinya, Kak?” tanya Papa.

“Iya, Pah. Hana lagi nginap di sana, Hana kan dekat banget sama si kembar. Kemarin juga Mas Iyal sama Gita sempat ajak mereka jalan-jalan.”

Papa mengangguk, “Yuno masih sibuk yah berarti sama studi dan jadwal praktiknya?”

“Um, iy..yah, Pah.”

Sebenarnya dari Bunda datang ke rumah Ara kemarin, perasaanya selalu tidak enak. Firasatnya selalu mengatakan ada yang tidak beres dengan Ara dan Yuno, tapi Bunda enggak menceritakan tentang perasaanya itu ke siapa-siapa. Bunda gak mau pemikiran buruknya itu terwujud karena ia bercerita.

“Kak?” panggil Bunda.

“Hm?”

“Kakak sama Mas Yuno baik-baik aja kan, Kak?”

Dan disini Ara hanya bisa menunduk, menatap piring bekasnya makan yang sudah kosong itu tanpa berniat menjawab pertanyaan dari Bunda nya itu. Sementara itu Papa dan Bunda saling tatap, seperti bisa membaca gelagat tidak wajar dari anak tengahnya itu.

“Kakak sama Mas Yuno..” Ara mengigit bibir terdalamnya, “Bun, Pah. Ara kepikiran mau berpisah sama Mas Yuno.”

Awalnya Papa dan Bunda hanya diam, sampai akhirnya Papa menggelengkan kepalanya tidak menyangka.

astagfirullah, Ra. Nyebut kamu, Kak.” ucap Papa kaget bukan main.

“Kak.. Kenapa, Nak?” Bunda yang tadinya duduk di depan Ara itu berpindah menjadi di samping anak perempuannya itu. “Kakak kan lagi hamil, gimana sama anak-anak nanti? Emang Kakak ada masalah apa sama Mas Yuno sampai mau pisah sih, Kak?”

Ara tidak menjawab, ia hanya menunduk sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya itu. Ara sudah tahu kedua orang tua nya pasti akan memberi respon seperti ini, dulu waktu Ara enggak sengaja mendengar kedua orang tua Arial akan bercerai. Respon Papa dan Bunda juga sama persis seperti saat ini.

“Cerita sama Papa dan Bunda, Kak. Kenapa sama rumah tanggamu dan Yuno,” kata Papa.

“Kakak ada masalah? Mas Yuno selingkuh, Nak?” karena terlalu banyak mengikuti kisah rumah tangga selebriti, Bunda jadi berpikir Ara ingin berpisah dengan Yuno karena menantunya itu selingkuh.

Ara menggeleng, saat kedua tangannya itu ia lepas dari wajahnya. Kedua mata Ara sudah memerah, menahan tangisnya yang ingin sekali ia pecahkan untuk sekian kalinya. Namun rasanya Ara udah gak memiliki tenaga lagi, bahkan untuk sekedar nangis sekalipun.

“Gak, Bun, Pah. Mas Yuno gak selingkuh.”

“Yah, terus kenapa, Kak?” tanya Bunda.

Papa yang tadinya tenang itu kini berdiri dan duduk di samping Ara, Papa mengambil satu tangan putrinya itu dan memeriksanya. Ara awalnya bingung, namun akhirnya ia paham jika Papa nya hanya memeriksa untuk memastikan Yuno melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan putrinya atau tidak.

“Gak, Pah. Mas Yuno gak mukul Ara, dia baik. Mas Yuno Suami yang baik,” ucap Ara sembari menarik tangannya. Ia juga sudah menangis menyesakan, air matanya sudah tidak sanggup Ara bendung lagi.

“Terus kenapa, Kak? Kalo dia Suami yang baik, kenapa Kakak minta pisah? Ada apa?”

“Kakak udah gak sayang sama Mas Yuno.”

“Bohong, Papa gak percaya kalau itu alasan kamu!!” pekik Papa nyaris emosi.

“Mas...” Tapi Bunda memperingatkan Papa untuk tidak berbicara dengan nada tinggi di depan Ara yang sedang merasa kalut.

“Jujur, Kak. Papa dan Bunda gak pernah ajarin Kakak bohong.”

Ara masih menangis sesegukkan, Bunda sempat memberi Ara minum agar jauh lebih tenang. Setelah tangisnya sudah mereda, Ara berpikir jika ia memang harus jujur tentang apa yang terjadi sebenarnya dengan rumah tangga nya dan Yuno.

“Mas Yuno..” Ara memejamkan matanya, ia harap kedua orang tua nya bisa cepat paham apa yang akan ia ceritakan ini. Karna jujur saja, kedua orang tua Ara juga hanya orang awam tentang kesehatan mental.

“Mas Yuno itu punya gangguan DID, Pah, Bun.”

“Kakak bisa gak jelasin pakai bahasa yang Papa dan Bunda mengerti?” ucap Papa.

“Kepribadian ganda, dengan kata lain Mas Yuno memiliki 2 kepribadian. Ini di sebut alter ego, Mas Yuno dan Jeff.”

“Jeff?” Bunda mengerutkan keningnya.

Ara mengangguk, “Jeff ini adalah diri Mas Yuno yang lain, Pah, Bun. Dia laki-laki dewasa berumur 25 tahun yang punya sikap bertolak belakang sama Kak Yuno. Jeff itu kasar, emosian dan keras kepala. Dari dulu Jeff enggak pernah suka sama Kakak, dan Jeff bisa muncul kalau Mas Yuno ngerasa tertekan sama keadaan.”

Papa dan Bunda masih bingung dengan hal-hal baru seperti ini, namun karena Ara adalah psikolog. Papa dan Bunda percaya saja dengan apa yang Ara katakan barusan. Papa juga enggak menyangka kalau menantunya akan memiliki gangguan kepribadian seperti ini yang membuat putrinya ingin berpisah.

“Akhir-akhir ini Jeff yang ambil alih Mas Yuno, Jeff sering banget adu mulut sama Ara bahkan sampai Hana dengar. Dan ada masalah-masalah lain yang enggak bisa Ara ceritain ke Papa dan Bunda—”

“Kenapa Kak? Papa kan bilang buat jujur sama semuanya?!” ucap Papa tegas. Papa sudah mulai emosi dengan semua cerita Ara.

“Pah..”

“Alasan Ara berpisah sama Yuno enggak masuk akal, Bun. Papa enggak setuju kalian berpisah!”

“Kakak gak kuat, Pah. Kakak gak sanggup kalau harus berhadapan sama Jeff dengan semua sifat kerasnya. Kakak gak mau Hana benci sama Mas Yuno kalau begini terus, Kakak juga lakuin ini semua buat Mas Yuno.”

“Kalau kamu sayang sama Yuno, harusnya kamu gak minta pisah sama dia, Ra. Kamu bayangin gak gimana kalau kalian pisah? Yuno akan makin hancur, kamu mau anak kamu gak punya Papa? Kamu mau anak kamu jadi korban perceraian?”

Mendengar jawaban Papa nya itu membuat Ara semakin menangis, yang Papa katakan tidak semuanya salah. Tapi tidak benar sepenuhnya juga, Ara setuju dengan Papa mengatakan bagaimana jika Yuno akan semakin hancur karena ia meninggalkannya, Ara juga berpikir begitu. Tapi untuk saat ini Ara hanya berpikir berpisah adalah jalan terbaik karena dirinya sudah tidak sanggup lagi.

“Kak, dulu waktu Kakak di lamar Yuno. Papa selalu tanya ke Kakak, apa Kakak siap berumah tangga, apa Kakak udah siap jadi Istrinya Yuno, apa Kakak udah bisa menerima semua kekurangan dia? Kakak jawab apa? Kakak udah siap, kalau begini artinya Kakak gak bisa menerima kekurangan Yuno.”

“Gak gitu, Pah.. Gak gitu..” tangis Ara semakin menyesakan di sana, Bunda gak bisa berucap apa-apa lagi. Karena semua yang ingin bunda katakan sudah di wakilkan oleh Papa. Bunda hanya bisa memeluk Ara dan menenangkan putrinya itu.

“Orang tua nya Yuno tahu soal ini, Kak?” tanya Bunda.

Ara mengangguk, “mereka bilang, mereka nyerahin semuanya ke Kakak, Bun. Mereka gak bisa nahan Kakak untuk tetap tinggal.”

“Mereka juga sama saja, itu artinya orang tua Yuno mendukung perceraian anaknya.”


Ara kembali ke rumahnya dan Yuno karena Jeff bilang dia ingin bertemu dengan Ara, kedua orang tua Ara masih sama. Mereka masih tidak setuju jika Ara akan berpisah dengan Yuno, mereka bilang akan bertemu dengan kedua orang tua Yuno dulu untuk membahas masalah anak-anak mereka.

Waktu Ara sampai, Jeff sedang di ruang TV. laki-laki itu sedang minum kopi, Begitu melihat Ara pulang, ia langsung menghampiri Ara. Sorot matanya sudah tidak setajam kemarin, Jeff kini memandangnya dengan tatapan yang Ara sendiri bingung mengartikannya.

“Kita ngobrol di atas?” ucapnya memecahkan hening di antara mereka.

“Budhe Ani kemana?”

“Aku suruh dia keluar sebentar, aku mau bicarain banyak hal berdua aja sama kamu di rumah.”

Ara kaget dengan ucapan Jeff barusan yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'aku' tapi itu benar-benar Jeff. Sorot matanya cukup membuat Ara tahu jika itu bukan Yuno Suaminya, Yuno memang menginap di rumah Gita kemarin. Tapi begitu bangun, Yuno sudah tidak ada lagi dan di gantikan oleh Jeff.

Hari ini Jeff mau mengatakan semua kebenaranya, dengan harapan Ara mau mendengarkannya dan mengubah keputusannya untuk tidak berpisah dengan Yuno.

Ara mengangguk, mereka berdua akhirnya naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, Ara duduk di ranjang mereka sementara Jeff berdiri. Begitu Ara menatapnya, laki-laki itu langsung berjongkok di depan kaki Ara dan mengambil kedua tangan wanita itu.

“Aku minta maaf..” ucapnya kemudian.

“Buat apa? Semuanya juga udah kejadian kok.”

“Ra..”

Ara menepis tangan Jeff dengan kasar, ia tidak mau melihat laki-laki itu ada di tubuh Suaminya. Yang Ara butuhkan saat ini adalah Yuno, bukan Jeff.

“Aku tau liat aku sekarang kamu juga pasti benci dan muak, tapi aku mau kamu tau alasan semua yang aku lakuin ke kamu—”

“Aku mau kamu berhenti pura-pura jadi Mas Yuno, bisa?” yang Ara maksud disini adalah Ara meminta Jeff berhenti menggunakan kata 'aku' 'kamu' untuk mewakilkan dirinya dan Ara seperti yang di lakukan oleh Yuno.

Jeff diam, tenggorokannya terasa tercekat. Sekarang Ara akan benar-benar membencinya. Dan ini semua adalah salahnya dari awal yang membuat Ara berakhir membencinya, tidak, seharusnya tidak seperti ini. Bukan ini yang Jeff mau dari wanita itu.

“Aku sayang kamu, Ra.” lirihnya, membuat Ara yang tadinya memalingkan wajahnya ke arah lain itu kini menatap Jeff.

“Aku cinta sama kamu sebesar cinta Yuno ke kamu. Aku sadar, selama ini aku bukan benci kamu. Semua sikap keras yang aku lakuin ke kamu itu buat nunjukin kalau aku cemburu, Ra. Aku cemburu lihat betapa kamu mencintai Yuno.”

Ara menatap Jeff, entah ini perasaan apa. Tapi saat mendengar laki-laki itu mengutarakan perasaanya, Ara merasa kaget, tidak menyangka sekaligus benci. Ada rasa cinta dan benci saat ia mendengarkannya.

“Yang aku mau, aku cuma mau kamu juga cintai aku sebesar kamu mencintai Yuno, aku mau di cintai sebagai diri aku sendiri bukan karena Yuno. Yang aku mau itu, Ra. Tapi aku dengan gobloknya malah bersikap kasar ke kamu yang bikin kamu makin takut dan benci sama aku.”

Ini untuk pertama kalinya Ara melihat Jeff menangis, laki-laki yang terlihat keras itu kini begitu rapuh. Ia tidak berani menatap Ara, ia hanya menunduk dengan posisi masih duduk di depan kakinya.

“Omongan kamu gak make sense, Jeff.” Ara mengusap air matanya, “kalo apa yang tadi kamu bilang? Sayang? Cinta?” Ara terkekeh.

“Kalo kamu beneran sayang dan cinta sama aku, kamu gak mungkin jalan sama perempuan lain. Kamu seharusnya bisa berusaha lebih keras gimana caranya supaya aku bisa liat kamu sebagai diri kamu sendiri, itu yang di lakuin Mas Yuno ke aku.”

“Itu.. Itu salah aku, Ra. Awalnya aku dekat sama Shanin cuma buat pelampiasan. Shanin aku anggap cara terbaik buat nunjukin kalau aku cemburu, dan aku mau kamu tahu gimana rasanya cemburu lihat orang yang kamu sayang berduaan sama orang lain—”

PLAK

tangan Ara melayang dan menampar wajah Suaminya itu hingga wajahnya terhuyung ke samping, Ara marah banget waktu Jeff bilang dia dekat sama Shanin buat balas rasa cemburunya waktu Ara bersama Yuno.

“Ra, Aku—”

PLAK

Sekali lagi Ara menampar wajah itu, dia berdiri dan hendak pergi dari sana karena enggak menginginkan sebuah perdebatan. Namun Jeff dengan cepat menahan tangan Ara, sampai keseimbangannya itu sedikit oleng dan Ara hampir saja jatuh jika Jeff tidak menahannya.

“Lepasin!!” Ara menjerit.

“Gak, Ra. Jangan tinggalin aku, aku mohon. Maafin aku, Ra.”

“Lepasin!! Aarrghhhh.” kali ini Ara benar-benar kelepasan, ia menarik kaus yang Jeff pakai dan memukul dada Suaminya itu dengan keras. Ara benar-benar meluapkan seluruh emosi yang selama ini ia tahan.

“Pukul, Ra. Pukul aku sampai kamu puas!!” teriak Jeff.

“Bajingan kamu, Jeff... Bajingan, kamu jahat!!” ucap Ara di setiap pukulannya.

“Maafin aku, Ra.”

Ara lama kelamaan lemas, ia lelah menangis dan berakhir memeluk Jeff. Ah tidak, yang Ara peluk itu tubuh Yuno. Keduanya saling berpelukan dan menangis menyesakan di sana.

“Aku benci kamu, Jeff... Kenapa kamu jahat? Kenapa kamu hancurin hidup aku, Jeff. Kenapa kamu hancurin rumah tangga aku sama Mas Yuno..” ucap Ara lirih.

“Aku minta maaf, Ra.” hanya kalimat itu yang bisa Jeff ucapkan.

Tidak lama kemudian Ara terdiam, kepalanya terasa berdenyut nyeri dan sekelilingnya mulai berputar kembali, perutnya juga sedikit mual dan sakit.

“Aahhh..” lirihnya, Jeff buru-buru melepaskan pelukannya pada tubuh Ara dan panik waktu melihat Ara merintih kesakitan.

“Ra.. Kamu kenapa?”

Ara tidak menjawab, ia hanya memejamkan matanya sembari meremas rambutnya dengan sangat kencang seperti kesakitan. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Jeff langsung membawa Ara ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Jeff hanya mundar mandir di depan IGD menunggu dokter yang memeriksa Ara keluar dari sana. Jeff belum mengabari siapa-siapa, ia masih terlalu panik, ia takut Ara dan bayi nya kenapa-kenapa. Dalam hati, Jeff tidak berhenti mengutuk dirinya sendiri karena sudah membuat Ara sakit.

Bahkan Jeff berjanji ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ara dan bayinya. Tidak lama kemudian Dokter Bagas, sebagai obgyn yang menangani Ara keluar dari ruang UGD.

“No,” panggilnya.

Jeff langsung berdiri dan menghampiri Bagas. “Gimana keadaan Istri gue, bang?”

Dokter Bagas menggeleng kepalanya dengan raut wajah menyedihkan,membuat pertahanan Jeff runtuh seketika ketika Dokter Bagas mengatakan.

“Ara kena preklamsia, No. Gue udah meriksa janin yang ada di kandungan nya, gak ada pergerakan sama sekali, detak jantungnya juga gak kedengeran. Kemungkinan janin nya enggak selamat, No.” jelas Dokter Bagas sembari menepuk pundak Jeff pelan. Ikut merasakan kesedihan yang menimpa Junior nya itu.

Di ruang operasi, Jeff ngotot untuk masuk menemani Ara meski Bagas melarangnya. Namun akhirnya Dokter Bagas mengizinkannya, mengingat Yuno juga seorang dokter meski tidak praktik di rumah sakit tempatnya bekerja.

Di ruang operasi, Ara di temani Jeff. Ia hanya diam saja, menyimak obrolan dari dokter yang tengah menanganinya. Tubuhnya hanya di anestesi separuh dan Ara tetap sadar, ia juga tahu kalau Nathan tidak selamat. Tidak ada raut sedih di wajahnya, hanya pandangan kosong melamun sembari sesekali menatap wajah Suaminya itu.

Di sebelahnya Jeff menangis, apalagi saat bayi mungil itu berhasil di keluarkan. Masih sangat kecil dari ukuran bayi normal karna Nathan baru berumur 7 bulan.

“Nathan kok gak nangis?” bisik Ara yang berhasil membuat Jeff menoleh.

“Ra..” suara Jeff bergetar, karena tidak sanggup melihat tatapan kosong wanita itu. Jeff akhirnya keluar dari ruang operasi itu, menangis sejadi-jadinya di dekat kursi ruang tunggu yang malam itu sudah sepi.