Badai (17)
Ting
Ting
Pada bunyi bel kedua apartement nya, Bianca membiarkan adonan roti nya itu ia tinggalkan sebentar untuk membukakan pintu apartement nya. Sebelum membukakanya, seperti biasa Bianca mengintip dulu dari lubang kecil di pintunya, di luar sana ada seorang cowok dengan perawakan tinggi besar dengan masker wajah menutupi separuh wajahnya. Namun dari matanya saja Bianca sudah bisa mengenali laki-laki itu siapa.
Ting
Ting
Bianca mengehala nafas, akhirnya dengan separuh hati ia bukakan pintu itu dan si laki-laki langsung tersenyum begitu Bianca membukakan pintu. Tidak ada senyum di wajah Bianca, ia hanya berjalan ke dapur nya dan kembali menguleni adonan roti yang tadi sedang ia kerjakan.
“Kok lama banget bukain pintu nya?” tanya si laki-laki, itu Damian. Pacar Bianca, ah. Lebih tepatnya pacar sembunyi-sembunyinya Bianca.
“Lagi nguleni adonan roti.” tanpa memperhatikan Damian, Bianca terus fokus pada adonan di depannya itu.
“Kok kaya gak suka gitu aku ke sini?” karena dari tadi enggak ada senyum di wajah Bianca, Damian jadi sedikit tersinggung. Seperti dia merasa kehadirannya tidak di harapkan oleh wanita itu padahal sudah hampir 2 minggu mereka enggak ketemu.
Bianca menghela nafasnya, lagi-lagi adonan rotinya harus ia abaikan demi berbicara serius sama Damian. Ini sudah yang kesekian kalinya Bianca harus menahan amarahnya begini. Sebelum mengobrol serius dengan Damian, Bianca cuci dulu tanganya kemudian berjalan ke pantry dan duduk berhadapan dengan laki-laki di depannya itu.
“Dam, udah berapa kali sih aku bilang ke kamu kalo aku udah capek sama hubungan kita?” tanya Bianca. Laki-laki di depannya itu hanya menyeringai kemudian menenggak sekaleng bir yang tadi dia ambil di kulkas dapur Bianca.
Setelah pertemuan terakhir mereka di apartemen Bianca, Bianca sempat bilang jika ia ingin mengakhiri hubungan mereka. Bianca sudah lelah, hubungan mereka tidak sehat dan ia ingin semuanya berakhir. Bianca hanya ingin hidup tenang.
“Tapi gue enggak!” jawab Damian tegas.
“Dam, please lo masih betah sama hubungan ngumpet-ngumpet kita kaya gini?”
“Iya,” Damian mengangguk tegas, enggak ada keraguan di matanya sedikit pun sama jawabannya. “Gue mau kita kaya gini terus, kenapa emang?”
Bianca menghela nafasnya, susah sekali berhadapan sama laki-laki egois seperti Damian ini. Kepalanya sampai pening rasanya, jika di tanya masih ada perasaan atau tidak dengan Damian. Jawaban Bianca adalah tidak, dia udah capek hidup seperti ini. Dia capek harus jadi pacar gelap nya Damian, yup. Pacar gelap karena Damian itu sudah berumah tangga.
Gak sekali atau dua kali Bianca dapat ancaman dari Istrinya Damian, bahkan mobil Bianca pernah di rusak atau bahkan rem nya di buat blong oleh orang suruhan istrinya Damian. Yang paling parah adalah, ia pernah di pukuli oleh Istrinya langsung hingga babak belur.
“Gue capek, Dam. Lo tau gak kalo Sherly nyuruh orang akhir-akhir ini buat mata-matain gue? Dia ngacam mau bunuh gue!” alasan Bianca menghilang dari Jakarta seminggu ini selain ada kerjaan dari Jenara, ia juga menghindari orang suruhan Sherly, istrinya Damian. Bianca sempat dapat ancaman akan di bunuh jika terus menghubungi Damian, itu juga yang jadi alasan Bianca enggak membalas pesan dari Julian karena dia sempat takut melihat ponselnya sendiri setelah mendapat ancaman itu.
“Sherly istri gue, dia mungkin sinting. Tapi gue tau banget dia gak mungkin ngebunuh elo.” Damian sempat diam, dia menelisik wajah Bianca bahkan dari atas sampai bawah kakinya.
“Kenapa? Udah bosen lo sama gue? Udah nemu laki-laki lain? Udah tidur lo sama cowok lain kan?”
“Dam, apaan sih?!”
“Gausah bohong lo! Tidur kan lo sama cowok lain?!”
Tidak ada jawaban dari bibir Bianca, jujur ia takut. Apa jangan-jangan Damian sudah mengetahuinya? Atau jangan-jangan Damian menaruh kamera tersembunyi di apartemennya sampai dia tahu kalau Bianca pernah tidur sama cowok lain? Pikir Bianca.
“JAWAB!!!”
“IYAAA GUE TIDUR SAMA COWOK LAIN PUAS LO?!” bentak Bianca, dia udah muak di tuduh terus walau kali ini tuduhan Damian ada benarnya. Ia harap dengan ia jujur seperti ini Damian bisa meninggalkannya. Karena berbohong pun percuma, kalau Damian tahu dari orang lain itu artinya Julian dalam bahaya.
“Wah..” Damian terkejut, matanya membulat kemudian tersenyum miris. “Udah banyak cowok yang tidur sama lo, iya?”
Karena Damian semakin mendekat, Bianca berjalan mundur. dia udah bisa membaca apa yang akan Damian lakukan padanya. Ini udah jadi pemandangan sehari-hari bagi Bianca jika ia menginginkan pisah dari cowok itu, 3 tahun yang lalu Bianca bertemu Damian di sebuah club.
Awalnya mereka cuma dekat sebagai teman ngobrol karena waktu itu Bianca habis putus sama pacarnya sewaktu SMA. Tapi siapa sangka justru dengan cepat Bianca melupakan mantan pacarnya itu dan menjalin hubungan sama Damian, awalnya Damian bagi Bianca itu adalah cowok yang manis, perhatian, penyayang, lembut dan sangat amat royal. Buktinya saja apartemen dan mobil milik Bianca itu adalah pemberian Damian, sampai akhirnya Damian berubah jadi monster mengerikan seperti di depannya saat ini.
Waktu itu Damian cemburu karena Bianca di antar pulang oleh teman kantor nya, waktu itu mobil Bianca ada di bengkel. Damian yang tahu itu marah banget dan nuduh Bianca yang enggak-enggak sampai Bianca berakhir di pukuli.
Dan titik terparahnya adalah saat diam-diam Bianca nyari tahu soal Damian, awalnya Bianca curiga karena Damian enggak pernah mau buat kencan di luar, seperti nonton bioskop, makan malam di restoran atau apapun itu yang memperlihatkan bahwa mereka pacaran. Dan ternyata Bianca telat menyadari kalau Damian sudah memiliki keluarga, Damian punya istri dan anak di rumahnya.
Awalnya Bianca masa bodo dengan hal itu karena jujur Damian sangat royal dengannya, Bianca bisa beli apapun yang dia mau dari Damian bahkan liburan sekalipun. Yah, meski enggak di pungkiri kalau gaji yang ia dapat dari bekerja sebagai divisi marketing di brand milik Jenara Kim juga dapat menghidupinya. Tapi rasanya akan beda kalau bukan pakai uang dari hasil kerja kerasnya, ia bisa menghambur-hamburkan uang itu sesuka hatinya.
Tapi lama kelamaan setiap hari Bianca ngerasa capek, enggak nyaman dan dia ingin mengakhiri semuanya bersama Damian. Bahkan Bianca bilang kalau ia siap meninggalkan apartemen dan mobil yang di berikan untuknya dari Damian.
“Kasih tau gue siapa cowoknya!!” teriak Damian setelah laki-laki itu puas memukuli Bianca. Enggak ada sama sekali perasaan bersalah melihat wajah Bianca yang lebam dan bibirnya yang sobek.
“Yang jelas dia lebih baik dari pada lo.” biarpun sudah babak belur Bianca enggak takut lagi sama Damian, dia bahkan rela di bunuh sekalipun asalkan ini semua berakhir.
“Brengsekkk!!!” Karena kesal, Damian mengeluarkan ponselnya. Dia nunjukin sebuah video dan foto-foto Bianca yang berhasil bikin Bianca takut setengah mati.
“Bilang ke gue siapa cowoknya atau foto sama video lo ini gue sebar!!” dan ancaman dari Damian tersebut mampu meluruhkan pertahanan Bianca, dia diam. Tapi Bianca juga kekeuh buat gak ngasih tau siapa cowok yang sudah tidur dengannya. Julian enggak salah apa-apa, bocah polos itu. Bianca enggak mau nyeret orang lain lagi ke masalahnya.
“Kok tumben jam segini baru pulang, Mas?” ucap Ibu waktu bukain pintu buat Julian.
Ini sudah jam 12 malam, Julian emang enggak langsung pulang sehabis kerja. Dia sempat mampir ke rumah Naufal dulu, temannya waktu SMP dan mengobrol sebentar. Gak di sangka obrolan dengan teman lamanya itu justru membuat Julian enggak sadar sampai tahu-tahu sudah malam.
“Abis main basket sama Naufal, Buk.” Julian duduk di sofa ruang tamunya, mengusap wajahnya dengan kasar kemudian tersenyum ke arah Ibu nya yang duduk di sebelahnya.
“Baik kabarnya dia?” tanya Ibu.
“Baik, Buk.”
Ibu tersenyum, ia mengusap bahu anak sulungnya itu. “Makan gih, Mas udah makan?”
Julian menggeleng pelan, ia sebenarnya sudah makan. Namun enggak apa-apa makan sedikit saja karena Ibu sudah memasak untuknya.
“Belum, Buk.”
“Makan gih.”
Julian mengangguk, “Mas mandi sama ganti baju dulu yah, Buk.”
“Mas?”
“Kenapa, Buk?” baru saja Julian ingin ke kamarnya namun Ibu justru memanggilnya.
“tadi Ara telfon.” ucap Ibu yang berhasil membuat hati Julian mencelos.
“Hm, bilang apa?” Ara memang dekat sama Ibu, meski enggak pernah menjalin hubungan. Julian memang pernah mengenalkan Ara pada Ibunya, selain itu Ara juga lah yang membantu usaha catering Ibu yang waktu itu hampir bangkrut, Papa nya Ara yang mempromosikan catering Ibu sampai akhirnya banyak kantor-kantor yang mau bekerja sama dengan Ibu untuk makan siang karyawannya.
“Nanyain kabar Ibu aja, sama sekalian mau catering buat acara pengajian empat bulan kandunganya, bulan depan.”
Julian mengangguk ada perasaan perih bercampur kangen sama cewek itu, Julian senang Ara masih menghubungi Ibu nya walau itu juga yang membuat Julian semakin sulit melupakannya.
“um..” Julian mengangguk.
“Ara sudah bahagia, Mas. Sekarang Mas juga harus bahagia yah.”
Julian menunduk, sejak hari dimana Ara ngasih tahu kalau dia akan menikah dengan Yuno. Julian lupa bagaimana caranya membahagiakan dirinya sendiri, dia terlalu menjadikan Ara sebagai pusat dunia nya dan sumber kebahagiaanya.