Bahagia Hanya Milik Kita (42)

Sudah dua bulan sejak Ara kembali ke Indonesia, sejak itu juga Yuno hanya bisa berkabar dengan Istrinya melalui ponselnya saja. dokter Bagas sudah memberi tahu hari perkiraan Ara akan melahirkan, namun siapa sangka jika itu meleset dari perkiraan. Ara justru sudah kontraksi seminggu sebelum tanggal yang sudah di perkirakan.

Sejak semalam kedua orang tua Yuno membawa Ara ke rumah sakit setelah mengeluh sakit perut, begitu di bawa ke rumah sakit ternyata menantunya itu sudah memasuki pembukaan ke 3, bahkan Yuno sendiri yang di kabari kaget, pasalnya dia sudah mengajukan izin ke fakultasnya minggu depan. Dan hanya 4 hari saja, Yuno enggak bisa izin lama-lama karna itu akan berpengaruh ke masa koas nya yang nantinya akan lebih lama.

Pagi ini di temani Bunda, Ara jalan-jalan keliling kamar rawatnya supaya pembukaan nya lancar, kadang dia merintih dan menangis juga karena rasa sakit yang mendera nya. Hanya ada Bunda saja, tadi ada Papa nya tapi sekarang Papa pulang buat ambil baju Bunda, karena malam ini Bunda yang nemenin Ara di rumah sakit.

Karena besok pagi Mama Lastri masih harus praktik, makannya pagi ini kedua orang Yuno itu pulang dan kembali lagi setelah menyelesaikan praktiknya. Ara sudah memasuki pembukaan ke 7 nyeri perutnya juga semakin sering dan bikin dia cuma bisa duduk di ranjangnya.

“Bun..” Ara merintih, pegangin tangan Bunda nya sembari menahan rasa sakitnya.

“Minum yah? Dari tadi Kakak belum minum loh.”

Ara menggeleng, dia meringkuk di ranjangnya sembari memejamkan matanya. Enggak nyangka kalau melahirkan normal seperti ini akan sangat menguras tenaga nya, enggak lama kemudian ponsel Ara yang ia taruh di atas nakas berdering. Itu panggilan dari Yuno, Yuno baru pulang dari rumah sakit sepertinya.

Karena enggak tega liatin Ara merintih terus, akhirnya Bunda yang angkat telfon dari menantunya itu. “Hallo, No.”

Bun, Ara gimana? Yuno kepikiran banget. Maaf Yuno baru bisa telfon lagi, karena baru sampai di rumah.” di sebrang sana Yuno tampak gusar, dia belum ganti baju dengan wajah kusut dan sembabnya.

“Sudah pembukaan 7, No. Doain lancar yah, masih ngerintih aja dia.” Bunda ngarahin ponsel Ara itu ke Ara yang lagi meringkuk sembari merintih, dia memegangi perutnya.

sayang??” panggil Yuno, suaranya bergetar. Dia gak tega banget ngeliatin Ara kesakitan kaya gitu, rasanya tuh Yuno pengen langsung nyamperin Istrinya itu aja dan ngambil seluruh sakit yang di rasain. Yuno bersedia kalau memang dia bisa menggantikannya.

“Mas.. Kamu kapan pulang?”

Ara nangis, dia jadi super sensitif rasanya. Walau di temani orang tuanya tapi tetap saja yang Ara butuhkan itu Yuno, dia mau Yuno ada di sebelahnya nemenin dia sampai anak mereka lahir.

rabu depan aku pulang yah, kamu yang kuat ya. Aku doain kamu dari sini.

“Pulang Mas.. Pulang. Aku mau nya kamu disini sekarang.” tangis Ara semakin pecah, di benar-benar ngerasa cuma butuh Yuno aja.

“Kak.. Jangan ngomong gitu, kasian nanti Yuno jadi kepikiran di sana. Jadi enggak tenang dia,” Bunda menasihati sembari ngusap-ngusap pinggang putrinya itu.

Bunda tahu apa yang Ara rasain karena dulu Bunda juga pernah ngalamin, tapi di posisi seperti ini Bunda juga mikirin menantunya. Bunda takut Yuno kepikiran sampai berdampak sama pekerjaannya di rumah sakit, Makanya Bunda berusaha nenangin Ara sebisa mungkin.

iya, nanti aku pulang yah. Kamu mau di bawain apa?” Yuno ngalahin pembicaraan ke topik lain, liat Ara nangis dia juga jadi kepengen nangis rasanya.

“Aku maunya kamu! Kamu aja, gak usah bawa apa-apa lagi. Kamu pulang aja.”

iya, nanti aku pulang yah. Sabar ya sayang, aku juga kan maunya sama kamu. Mau nya juga nemenin kamu sampai Hana lahir.

Ara gak jawab lagi, dia masih nangis tapi dengar suara Yuno lumayan bikin hatinya tenang. “Perutku sakit.. Hana gerak terus di dalam, Mas. Sakit banget.”

Hana lagi cari jalan keluarnya, kan udah enggak sabar mau ketemu sama Ibu sama Papa nya juga. Kamu makan yah, biar punya tenaga. Nanti kalau aku udah sampai sana, aku yang jagain Hana. Ya?

Ara ngangguk, dia jadi enggak tega karena nyuruh Yuno cepat-cepat pulang. Tapi ngeliat Yuno di sebrang sana nangis dengan mata yang memerah, Ara jadi ngerasa bersalah banget.

“Mas jangan nangis..”

kepikiran kamu, kasian liat kamu kesakitan tapi aku enggak ada di sana, aku minta maaf yah, sayang.

Liat Yuno nangis Ara jadi ikutan nangis, Bunda pun juga nangis karena kasihan liat anak dan menantunya itu yang di pisahin sama jarak, Bunda cukup memaklumi Yuno. Dia enggak nyalahin Yuno karena sering ninggal-ninggalin Ara waktu hamil dan gak ada waktu Ara melahirkan.

Bunda tahu Yuno anak yang baik, Yuno juga sempat menyuruh Ara untuk melahirkan di Jerman supaya Yuno bisa nemenin Istrinya itu. Tapi ada banyak hal juga yang harus di pertimbangkan, terutama dari keluarga Yuno yang ingin Ara melahirkan di Indonesia saja. Bunda juga cukup memaklumi karena Hana menjadi cucu pertama di keluarga mereka, karena sepupu-sepupu Yuno yang lain juga belum menikah.

“Kamu jangan nangis.”

Yuno kelihatan ngusap air matanya habis itu senyum, dia harus semangatin Istrinya itu. “jelek yah?

“Masih ganteng kok.”

kalo Hana udah lahir nanti, liat yah dia ada lesung pipi nya atau enggak.” Yuno terkekeh, dia godain Ara kaya gitu supaya Ara enggak stress dan gak membuat persalinannya lebih lama.

“Kalo enggak ada gimana?”

kalo enggak ada lesung pipi nya, mau aku kasih punyaku.

“Kalau ada?”

berarti kamu punya dua orang yang kamu sayang, yang punya lesung pipi. Jadi kamu enggak nusukin pipi aku terus.” Jelas Yuno, keduanya terkekeh pelan. Ucapan Yuno barusan juga bikin hati Ara menghangat, membayangkan Hana besar nanti punya lesung pipi yang di warisi sama Papa nya.

Setelah sambungan telefon mereka terputus, waktu berlalu dengan sangat cepat bagi Ara. dokter Bagas juga sudah memberi tahu kalau air ketuban Ara sudah pecah, Ara juga sudah masuk ke ruang bersalin di temani sama Bunda dan Mama Lastri.

10 menit berlalu Ara masih berusaha mengejan sekuat tenaga nya, tentu nya di bantu sama oksigen karena dokter Bagas itu tahu soal riwayat penyakit Ara dari kecil.

“Mengejan lagi yah, Ra. 1.. 2..” dokter Bagas ngarahin Ara supaya bayi nya enggak masuk lagi, Ara enggak bisa istirahat lama-lama dia harus terus mengejan karena bayi nya sudah dekat.

“Mmmh.....” Ara mengejan sekuat tenaga yang dia bisa, beneran rasanya kaya tulang rusuknya lagi di patahin secara bersamaan dan nafasnya terasa pendek.

Di sampingnya Mama Lasri ngusap kening Ara pakai tissue karena keringatnya itu terus bercucuran, kalau tadi Ara nangis waktu nunggu pembukaan justru saat mengejan dia gak nangis sama sekali. Fokusnya adalah dia harus melahirkan bayi nya, bayi nya harus selamat.

“Sekali lagi yah, kepala nya sudah semakin dekat, Ra.”

“Mmmhh......”

Ara mengejan cukup panjang, sampai akhirnya suara bayi nya itu terdengar. Hana nangis kencang dengan darah yang masih berlumuran di tubuh mungilnya, mendengar suara bayi nya itu. Ara menitihkan air matanya, anaknya dan Yuno sudah lahir dan dia sudah menjadi seorang Ibu.

“Anak kamu sama Yuno sudah lahir, Ra..” bisik Mama Lastri.

“Hana udah lahir, Mah..”

“Iya, Hana.”

Ara berusaha mengatur nafasnya yang rasanya kaya di ujung lehernya saja. Dengan tubuh yang masih lemas, dia liatin bagaimana dokter Bagas motong tali pusar bayi nya itu sampai Hana di mandikan.

Begitu Hana sudah selesai di mandikan dan di balut dengan selimut barulah Ara bisa menggendongnya, Hana lahir dengan berat 4,0 kg dan panjangnya 51 cm. Pipinya tembam dengan sedikit kemerahan, rambutnya tebal dan kulitnya putih. Persis kaya Yuno waktu bayi kalo kata Mama Lastri.

“Hana..” panggil Ara, Hana masih tidur di gendongannya. Bibir mungilnya itu sedang sibuk meminum ASI pertama nya.

Enggak lama kemudian Bunda masuk kembali ke ruang bersalin, Bunda melakukan panggilan video dengan Yuno dan memberi tahu Yuno kalau anaknya sudah lahir. Di dalam gendongan Ara, walau jarak sangat jauh memisahkan mereka. Yuno mengadzani telinga anak mereka melalui panggilan video itu.

Ara yang masih lemas cuma bisa liatin aja, dari suaranya Yuno agak sedikit bergetar seperti sedang menahan tangisnya sendiri. Tangis karena haru karena anaknya sudah lahir. Setelah Yuno selesai mengadzani Hana, dia senyum waktu Bunda ngarahin ponselnya ke arah Hana yang ada di gendongan Ara.

Hana, tunggu Papa pulang yah..

“Mirip kamu banget, No. Sampai ke pipi nya pun kaya kamu banget,” ucap Bunda.

Ara enggak kebagian apa-apa yah, Bun?” di sebrang sana Yuno terkekeh, dari jauh pun Yuno bisa lihat Hana benar-benar mirip dengannya walau matanya lebih sipit seperti mata Ara. Kalau Yuno itu agak sedikit besar apalagi kalau lagi melotot.

“Kebagian hikmahnya aja,” sahut Ara.

Bun, maaf sebelumnya. Yuno boleh ngobrol sama Ara dulu gak, Bun?

“Iya, boleh kok, Nak.” Bunda memberikan ponselnya ke Ara dan beralih menggendong Hana, Hana sudah selesai menyusu dan tertidur pulas. Kebetulan sudah ada suster juga yang datang untuk membawa Hana ke ruang bayi.

sayang?” panggil Yuno.

“Iya, Mas?”

terima kasih yah.

Ara mengangguk. “Iya, Mas.”

“*terima kasih udah kuat, udah sabar dan ngelahirin anak kita. Aduh, aku sampai nangis lagi kan. Kenapa jadi cengeng gini,” Yuno ngusap mukanya sambil terkekeh. Rasanya perasaan dia tuh campur aduk banget, sedih, senang dan ingin cepat-cepat pulang buat nemenin Ara dan melihat anaknya.

“Mas juga udah jadi Suami yang baik buat aku, jadi Papa yang baik yah buat Hana juga.”

pasti, aku berusaha terus jadi Suami dan Papa yang baik buat Hana sama anak-anak kita nanti.

Ara ngangguk, lemas banget rasanya dia enggak punya tenaga lagi dan cuma bisa mandangin wajah Suaminya itu. “Sayangi aku terus yah, Mas.”

Sayang aku justru bertambah 50 kali lipat kayanya. Atau kurang yah?

Ara terkekeh pelan, hari itu rasanya dunia hanya milik Yuno dan Ara. Bahagia hanya milik mereka berdua karena lahirnya Hana.