Bantuan (19)

Bukan Julian enggak dengar soal desas desus di kantor nya pagi ini, dia hanya mengabaikan dari beberapa mulut yang sedari tadi berbisik sembari melayangkan makian yang masih dapat Julian dengar. Begitu sampai di meja nya Julian menelisik keadaan sekitar, semua karyawan fokus pada ponsel mereka sembari sesekali berbisik.

Julian penasaran, namun enggak ada yang memberi tahunya ada apa sebenarnya. Jadi Julian berusaha untuk berpura-pura enggak peduli, ia langsung membuka laptop miliknya dan membuka surel nya untuk memeriksa beberapa pekerjaan.

Sampai akhirnya Kian menghampiri meja Julian dan menepuk pundak laki-laki itu, membuat atensi Julian teralihkan dari laptop miliknya yang sudah menampakan sederet surel pekerjaan yang harus Julian selesaikan hari ini.

“Lo udah tau belum?” bisik Kian, kepalanya menoleh ke kanan kiri memastikan tidak ada orang lain yang mendengar ucapanya pada Julian, padahal sekitarnya juga melakukan hal yang sama.

“Ada apaan sih, Mas?” Julian penasaran, tapi dia emang sengaja enggak mau nanya-nanya. Masih sungkan, toh ia yakin ini bukan soal kerjaan. Paling-paling gosip di kantor saja dugaanya.

“Ini liat!!”

Kian memberikan ponselnya pada Julian, ada beberapa foto disana yang membuat Julian tercengang. Tangannya sedikit bergetar dan jantungnya berdetak lebih kencang, bagaimana tidak disana ada foto-foto Bianca tanpa busana, bahkan enggak cuma satu tapi ada beberapa. Bahkan ada video 10 dengan durasi 10 detik yang membuat Julian mencelos, Julian enggak putar video itu. Ia hanya melihat cover depan video itu saja, tidak sampai hati membukanya.

“Bianca, Jul..” bisik Kian sekali lagi.

“Ini dari mana?” tanya Julian, kalau di lihat-lihat sepertinya video dan foto-foto itu di ambil dari kamera tersembunyi. Apa ini revenge porn? pikir Julian.

“Ini udah kesebar banget di internet please, elo gak buka sosmed pagi ini?”

Julian menggeleng, dia sama sekali enggak mikirin soal video dan foto-foto itu. Yang dia pikirkan sekarang adalah Bianca, kemana wanita itu dan bagaimana keadaanya?

Ekor mata Julian melirik ke meja Bianca yang kosong, teman-teman Bianca yang lain juga tidak menggubris beberapa karyawan yang bertanya soal kebenaran foto-foto itu dan video yang tersebar. Bianca memang agak sedikit membuat Julian bingung, tapi wanita itu baik. Julian juga banyak cerita soal Ara pada Bianca.

“Te..terus sekarang dia kemana?” tanya Julian pada Kian.

“Enggak tau, Jenara aja gak tau dia dimana. resign kali yah?”

Julian memejamkan matanya, seharian ini bekerja pun rasanya enggak fokus. Dia mikirin gimana nasib Bianca temannya itu, jadi, setelah jam pulang kantor Julian buru-buru membereskan barang-barangnya dan bertanya pada dua teman dekat Bianca, ia menjegal jalan kedua perempuan itu menuju parkiran mobil.

sorry gue boleh nanya sesuatu sama kalian?” sapa Julian, ini pertama kalinya Julian bicara pada dua teman Bianca di luar perihal kerjaan.

Kedua perempuan itu memandang Julian dengan tidak nyaman, bahkan ada raut wajah tidak suka pada perempuan yang memakai hijab itu. Keduanya sudah lelah di tanya-tanya mengenai Bianca seharian ini, mereka berdua tidak mau terseret dalam masalah Bianca hanya karena mereka berdua temannya.

“Kalo lo mau nanya soal foto dan video itu beneran Bianca apa bukan, sorry gue enggak mau jawab itu.”

“O..ohh bukan-bukan, gue bukan mau nanya itu. Emang masih soal Bianca tapi bukan soal apa yang lagi di omongin sama yang lain,” jelas Julian, wajahnya panik. Dia takut dua teman Bianca itu pergi. Dan dia kehilangan orang untuk di tanyai dimana sekarang Bianca.

“Nanya apa?” tanya perempuan berhijab yang sedari tadi menampakan wajah tidak sukanya pada Julian.

“Bianca sekarang dimana?”

Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain, kemudian menelisik wajah Julian. seperti sedang bingung harus memberi tahu Julian atau tidak, pasalnya mereka berdua juga tidak mengenal Julian dekat. Mereka hanya tau Julian dan Bianca memang baru berkenalan, itu pun mereka lihat sendiri saat jam lembur bukan karena Bianca yang bercerita.

“Kenapa lo mau tau Binaca dimana?”

“Gue cuma mau mastiin kondisinya aja, gue temannya. Akhir-akhir ini gue banyak cerita ke Bianca, makanya gue mau tau kabar dia gimana” Julian memejamkan matanya, mutar otak bagaimana cara meyakinkan dirinya tidak ada niat jahat pada kedua teman Bianca.

“Gini, gue sama sekali gak mau nyinggung soal foto itu. Gue cuma mau tau keadaan Bianca aja.”

“Bianca di rumah sakit, Jul.”

“Rumah sakit?”

Kedua teman Bianca itu mengangguk, keduanya menceritakan apa yang terjadi pada Bianca dan bagaimana kondisinya sampai sekarang, memang enggak semuanya. Tapi sedikit banyaknya Julian bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi pada Bianca.

Karena ingin melihat langsung kondisi Bianca, Julian langsung pergi ke rumah sakit yang teman Bianca beri tahu. Dia mau tahu keadaan wanita itu, Bianca emang gak pernah cerita banyak tentang dirinya pada Julian. Ada banyak hal yang bikin Julian bertanya-tanya seperti apa Bianca itu.

Dia bukan tertarik pada Bianca karena malam itu, hanya saja, Julian cukup bersimpati sama Bianca, wanita itu cukup baik. Enggak seperti apa yang karyawan-karyawan gosipkan tentang dirinya.

Begitu sampai di rumah sakit, Julian berdiri di depan kamar rawat Bianca. Dia enggak langsung masuk, dia menimang dulu bagaimana reaksi Bianca nanti. Dia takut di usir karena mungkin saja Bianca malu, tapi rasanya dia benar-benar butuh memastikan kondisi wanita itu. Persetan dengan Bianca yang bisa jadi mengusir nya, yang penting sekarang dia harus tahu kondisi wanita itu.

Jadi dengan pelan-pelan Julian buka pintu ruang rawat Bianca, waktu Julian masuk. Bianca lagi duduk di ranjangnya membelakanginya, wanita itu sedang melamun menatap gedung-gedung tinggi dari jendela kamar rawatnya.

“Bi, ini gue Ijul.” sapa Julian.

Bianca menoleh sedikit, hanya setengah wajahnya saja yang bisa Julian lihat. Kayanya Bianca sedang menangis, Julian bisa mendengar dari tarikan nafasnya yang berat dan sisa isak nya yang wanita itu tahan.

“Duduk, Jul.” Bianca membalikan badannya, duduk bersila di atas ranjangnya menghadap Julian. Masih ada senyum disana, walau kedua matanya sembab. Bianca emang gak ngusir Julian walau sebenarnya dia ingin sendiri, toh biar bagaimana pun Julian enggak salah dia gak tau apa-apa dan Bianca cukup lega ada orang lain yang menjenguknya, setelah 2 hari dia di rawat.

Setelah Julian perhatikan, dia baru sadar kalau wajah Bianca lebam-lebam. Bibirnya juga tampak seperti ada jahitan, jadi, dalam hati Julian menyupah serapahi laki-laki yang berani memukuli perempuan seperti ini.

“Gue tadi ke sini bawa roti, bingung lo sukanya apaan.” Julian nyengir, rasanya agak canggung dia takut salah bicara dan menyinggung Bianca.

thanks yah, Jul.”

Julian mengangguk, “lo sakit apa, Bi?” tanya Julian hati-hati.

“Gue abis di pukulin, Jul.” rasanya seperti ada kawat berduri yang melilit tenggorokan Bianca, sakit dan sulit membuatnya untuk membicarakan tentang hari itu.

“Kalau lo belum siap cerita gapapa, Bi. Gue cuma mau tau kondisi lo aja.” Julian cuma gak mau bikin Bianca enggak nyaman, dia memang enggak pernah berada di posisi ini. Tapi Julian paham kalau ini enggak mudah bagi Bianca.

“Lo sama siapa ke sini, Jul?” Bianca emang belum siap cerita, makanya dia ngalihin ke topik pembicaraan yang lain.

“Sendiri, sorry yah gue nanya soal lo dimana sama Dinda dan Mia. Abis HP lo gak bisa di hubungin.”

Bianca mengangguk, meski wajahnya masih nyeri dia berusaha untuk tersenyum. Ternyata Juliam benar-benar perduli dengannya, Bianca menyesal sempat ingin menjadikan Julian sebagai mainanya. Padahal Julian benar-benar baik dan agak sedikit polos.

“Gapapa, Jul.”

“Ka..lo masih sakit jangan di paksain nyengir gapapa.”

Ucapan Julian itu terdengar lucu di telinga Bianca, dia jadi tertawa meski berakhir meringis karena bibirnya yang masih ngilu.

“Malah ketawa lagi lu.” padahal ucapannya enggak lucu tapi Julian heran kenapa Bianca ketawa.

“Gapapa, lo lucu aja.”

“Ye.. Emangnya gue Komeng.”

Karena makin asal bicara, Bianca jadi nepuk pundak Julian yang lagi-lagi bikin dia kepengen ketawa. Sifat Bianca aslinya itu receh, dia mudah banget ketawa sama hal-hal sederhana seperti ini.

“Sakit anjir. Lo tuh lagi sakit tapi tenaga nya udah kaya kuli tau gak,” hardik Julian.

“Makanya jangan asal ngomong!”

Julian tersenyum, agak sedikit bersyukur karena Bianca mau ketawa karena nya. “Lo sendirian disini?”

Biasanya kan rumah sakit akan menyarankan untuk setidaknya satu keluarga pasien berjaga menunggu pasien yang sedang di rawat inap, tapi Julian enggak liat ada keluarga Bianca.

“Mau sama siapa lagi emang? Gue yatim piatu,” jawab Bianca enteng, seolah-olah itu bukan hal yang menyedihkan lagi baginya.

“Ah—” Julian menggaruk kepala belakangnya, dia jadi enggak enak karna udah nanya begini. “sorry, Bi. Gue enggak tau.”

“Gapapa, Jul. Gue enggak kesinggung kok, gue emang anak yatim piatu dari kecil. Gue itu besar di panti.”

Bianca memang besar di panti asuhan, lebih tepatnya dia sebatang kara, enggak tahu dimana keberadaan keluarga aslinya. Bianca bisa keluar dari panti asuhan karena dia di adopsi waktu umurnya 15 tahun, Bianca di sekolahin sampai akhirnya di kuliahin. Tapi sayangnya dia enggak pernah tahu siapa orang yang sudah mengadopsinya.

Bianca hanya di beri rumah, di beri uang jajan, makanan dan di sekolahkan tanpa tahu orang tua adopsi nya. Bagi Bianca rasanya ia seperti menjadi peliharaan saja, Bianca benci itu. Sampai akhirnya Bianca memutuskan untuk pergi dari kotanya dulu dan hidup mandiri di Jakarta.

Semua kelakuan nyeleneh Bianca selama ini itu hanya karena dia kurang perhatian, dia ingin orang tua adopsi nya itu memunjukan dirinya pada Bianca. Ia ingin rasa penasaranya terjawab, Bianca tadinya enggak mau cerita hal ini sama siapa pun, tapi entah kenapa ia bisa percaya pada Julian. Toh, kartu Julian tentang ia yang suka sama Istri orang juga sudah Bianca pegang.

“Gue jadi peliharaan orang waktu umur 15 tahun sampai 21—”

“Peliharaan?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

Bianca mengangguk. “Um, karena gue enggak pernah liat muka orang yang udah adopsi gue dari panti.”

“Orang tua angkat lo?”

“Kalo dia orang tua angkat gue, harusnya dia muncul, Jul. Bukan cuma menuhin kebutuhan gue kaya hewan peliharaanya dan biarin gue kesepian.”

“Bi, sorry.

Bianca menggeleng, “gapapa, Jul. Lo masih mau dengar cerita gue?”

“Kalau lo nyaman ceritanya, gue masih mau dengar kok.”

Bianca tersenyum, dia sungguh tersentuh karena Julian sebaik itu padanya. Dia jadi mikir, kenapa gadis bernama Ara itu bisa dengan bodohnya enggak milih Julian aja.

“Karena gue kesal, gue pergi dari kota gue tinggal, Jul. Gue hidup sendiri dan kerja buat menuhin kebutuhan gue. Gue sering kesepian, Jul. Makanya gue sering pergi ke club malam” Bianca enggak lihat ada perubahaan ekspresi di wajah Julian yang tenang, sama sekali enggak kaget sama apa yang dia ceritain.

“Sampai akhirnya gue ketemu sama Damian.”

“Damian?”

Bianca mengangguk. “Cowok gue. Orang yang bikin gue kaya sekarang ini.”

Julian menunduk, dia jadi bisa menyimpukan garis besarnya jika cowok bernama Damian itu adalah orang yang membuat Bianca berakhir seperti ini. Atau Damian juga lah laki-laki yang sudah menyebarkan foto-foto Bianca? Pikir Julian.

“Gue udah sering minta putus sama Damian sejak Istrinya neror gue terus, Jul. Gue capek, gue pengen hidup yang normal tapi lepas dari Damian ternyata enggak semudah itu.”

“Lo kenapa gak coba lapor polisi aja, Bi? Ini udah kekerasan namanya, lo korban disini.”

“Gak bisa, Jul. Orang tua Damian itu justru orang yang punya pengaruh di kepolisian.”

“Terus lo mau biarin dia lakuin ini terus-terusan ke lo?”

“Dia udah ngerusak gue, Jul. Dia udah hancurin badan gue, reputasi gue, harga diri gue. Semuanya, dan sekarang gue udah gak takut apa-apa lagi karena dia udah gak punya alasan buat ngancem gue.”

Julian ngusap wajahnya, dia gak tau kalau hidup Bianca serumit ini. Selama ini Julian cuma mikir Bianca adalah wanita yang hidupnya bahagia-bahagia aja, karena selama ini hanya ada senyum dan tawa nya di kantor, Julian gak tau semua itu untuk menutupi kesulitan hidupnya.

Bianca sengaja enggak mau ceritain soal permintaan Damian yang nanya siapa cowok yang udah tidur sama dia, dia gak mau Julian jadi korban selanjutnya. Julian baik, ia yang sudah menyeret Julian ke hidupnya, dan Bianca gak ingin itu semua lebih jauh.

“Terus selanjut nya apa rencana lo, Bi?”

“Gue mungkin bakalan ngundurin diri dari Ruby Jane, Jul. Gue gak mau bisnis nya Jenara rusak karna gue tetap jadi karyawan nya. Setelah itu mungkin gue mau cari apartemen baru.”

Julian menghela nafasnya pelan, dia jadi gak tega sendiri sama Bianca. “Bi, kalo lo butuh bantuan gue, bilang ya. Gue pasti bantuin lo sebisa gue.”

Kata-kata itu berhasil membuat hati Bianca tersentuh, dia menangis dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tanganya. Dia nyesal udah berniat buruk ke Julian, dan dia terharu karena ini pertama kalinya dia merasa ada orang yang tulus dengannya.

thanks yah, Jul. Dan maaf,” ucap Bianca di sela-sela isaknya.