Berhenti Berlari (32)
“Kenapa sih tiba-tiba resign begini, Jul? Padahal saya suka banget kamu kerja di sini. Enggak ada masalah kan?” tanya Jenara lagi.
Pagi ini Julian masuk kerja seperti biasanya, yang enggak biasa itu justru bagi Jenara karena Julian tiba-tiba saja menyerahkan surat pengunduran dirinya hari ini. Kepergian Bianca serta reputasi brand nya saja sudah membuat kepala Jenara pusing, dan sekarang di tambah dia harus kehilangan satu karyawan lagi yang bisa dia andalkan.
“Iya, Mbak. Maaf sekali lagi. Gak ada masalah apa-apa, Mbak. Saya cuma mau fokus bantu catering Ibu saja dulu, soal nya lagi keteter kayanya.” ini hanya alasan Julian saja, enggak ada yang keteter dari usaha catering Ibu. Semua nya stabil, hanya saja Julian bingung harus memberi alasan apa.
Julian juga belum mendapatkan pekerjaan lagi, dia masih sibuk mencari pekerjaan di banyak platform. Sejauh ini Julian hanya ingin fokus pada dirinya sendiri sembari membantu usaha Ibu nya, dia juga masih proses memperbaiki hubungannya dengan Ibu.
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, sudah seminggu juga Ibu enggak pernah ngajak Julian ngomong. Jujur saja suasana di rumah jadi enggak nyaman, di tambah Andra pun mengabaikannya. Makanya Julian mau fokus pada Ibu dan Adiknya dulu meski kepala nya masih belum mendapatkan jawaban dari siapa Ibu tahu soal dia dan Bianca.
“Yaudah kalau itu keputusan kamu, Jul. Saya juga enggak bisa nahan kamu, tapi saya tetap menyayangkan loh, Jul.”
Julian mengangguk, dia sejujur nya juga enggak enak sama Jenara. Atasannya itu udah cukup baik mau menerima dia bekerja di perusahaanya, seandainya dari awal Julian enggak pernah neko-neko mungkin dia masih bisa bertahan di kantor nya.
Setelah memberikan surat resign nya ke ruangan Jenara, Julian keluar. Dia kembali lagi ke meja kerja nya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Gak lama kemudian, Kian yang baru saja dari pantry itu mengekori Julian. Kian masih belum tahu kalau Julian habis memberikan surat pengunduran diri.
“Di panggil sama Buk boss lo, Jul?” bisik kian sembari mengekori Julian.
“Enggak, Mas.”
“Terus ngapain?”
Julian kembali duduk di kursinya dengan Kian yang menarik kursi milik meja lain agar bisa duduk di depan meja Julian, dia kepalang kepo sama apa yang Julian lakuin di ruangan Jenara. Ah, Kian emang selalu mau tau urusan orang.
“Gue abis ngajuin surat resign.”
“HAH??? RESIGN?!” pekik Kian yang berhasil membuat karyawan lain menoleh ke arah mereka.
“Lu bisa gak sih Mas gak usah over reaction?” Julian kan jadi kesal, kalau sudah begini pasti karyawan lain jadi tau kalau Julian akan mengundurkan diri. Pasalnya, dia malas banget di tanyain apa alasannya resign belum lagi kalau di mintai donat resign, ya gak masalah sih kalau soal makanan tapi di tanya-tanyanya itu loh.
Kian menaruh kopi miliknya di meja Julian dan mencondongkan badan nya ke meja Julian, mukanya juga tampak serius. “Kenapa sih tiba-tiba resign? Ada masalah?”
Julian menggeleng, “enggak ada, Mas. Gue cuma mau fokus kembangin usaha Ibu gue.”
“Ahhh...” Kian manggut-manggut, “ah iya ngomong-ngomong ada yang mau gue tanyain sama lo.”
Julian yang tadinya baru membuka email nya, jadi melirik ke arah Kian. Dia memang baru bertemu laki-laki itu hari ini, karena sejak kemarin Kian itu dinas di luar kota. Setelah pulang dari luar kota pun dia sibuk meeting di luar bareng sama tim nya.
“Ada apa?” tanya Julian penasaran.
“Soal malam waktu lo mabuk itu,” Kian melirik ke sekitarnya, mastiin meja kanan kiri yang ada di dekat meja Julian itu kosong enggak ada karyawan nya. Kian takut ada yang menguping percakapannya dengan Julian ini.
“Kenapa?”
“Lo ngeracau banyak banget.”
Deg...
Perasaan Julian semakin enggak karuan, dia enggak ingat sama sekali dia meracau apa saja. Yang ia ingat hanya ia di antar sama Kian, soal meracau dan di antar ke rumah alih-alih ke hotel pun Julian sama sekali gak ingat.
“Gue.. Ngeracau apa aja?” bisik Julian.
“Banyak banget, Jul. Lo jadi oversharing kalau mabuk. Mulai dari soal Ara, Ara itu siapa sih? Kayanya lo patah hati banget.” tuh kan Kian kepo lagi, tapi dia cuma sebatas kepo aja kok. Kalau Julian enggak mau jawab pun dia enggak akan ngorek-ngorek lagi.
“Temen gue, terus gue ngeracau apa lagi?” jawab Julian sekena nya, enggak perlu lah dia jabarin Ara itu siapa sama Kian.
Kian menghela nafasnya pelan, dia natap Julian yang sekarang ini kelihatan keringat dingin sekaligus penasaran sama jawaban dari Kian.
“Lo sama Bianca, lo bilang kalau lo nyesel udah tidur sama dia.”
Dan benar dugaan Julian, dia sendiri yang justru mengatakannya saat mabuk. Saat mendengar ini, kedua bahu Julian merosot dia menghela nafasnya dan mengusap wajahnya dengan gusar.
“Itu bener, Jul? Ya.. Kalau lo enggak mau jawab juga gapapa, tapi Ibu lo dengar soal ini. Beliau kecewa banget kayanya, gue juga nyesel sih gak anter lo ke hotel.”
Julian enggak jawab, dia terus menunduk. Merasa malu dan gak punya muka buat ngobrol sama Kian rasanya. “Selain itu ada lagi, Mas?”
“Gak ada, selebihnya lo cuma nangis doang.”
Julian mengangguk, “Mas, gue mohon sama lo jangan sampai ada yang tau lagi selain lo yah. Gue sama Bianca gak ada hubungan apa-apa, kemarin itu—”
Ucapan Julian tertahan, dia gak mau bahas soal Bianca lagi. Selain itu membuatnya membenci dirinya sendiri, dia juga jadi teringat sama kelakuan brengsek dan kata-kata terakhir yang Bianca ucapkan padannya. Rasa bersalah itu jadi muncul lagi.
“Pokoknya jangan kasih tau siapa-siapa yah, Mas. Tolong rahasiain ini.” Julian memohon, dia takut banget kalau berita ini sudah tersebar di kantor. Pasalnya Kian itu kadang terlihat tidak meyakinkan walau cukup baik dan dapat di andalkan.
“Iyee, lagian mau ngapain gue cerita-cerita sama yang lain? Tapi, Jul. Ini juga yang jadi alasan lo resign?”
“Itu juga, Mas. Gue mungkin mau keluar kota buat nenangin diri gue. Gue udah lari terlalu jauh banget.”
Kian paham Julian sedang patah hati meski laki-laki itu enggak bercerita secara langsung, gamang, Kian tahu hanya dari racauan Julian saja malam itu. Soal Bianca juga Kian enggak tanya-tanya lagi karena dari raut wajah Julian saja dia terlihat tidak nyaman.
Jadi sekarang Julian tahu dari mana Ibu nya bisa tahu tentang dia dan Bianca, jadi itu semua karena mulut nya sendiri. Tapi dengan kurang ajar nya dia nuduh Andra bahkan Bianca yang padahal kedua nya enggak tahu apa-apa, kalau sudah begini Julian jadi bingung harus bagaimana memperbaikinya.
“Jangan lari sebelum masalahnya selesai, Jul. Hadapin, kalau perlu minta maaf yah lo minta maaf, gue gak paham lo sama Bianca gimana. Tapi gue berharap kasus Bianca kemarin itu bukan karena ulah lo.”
“Enggak, Mas. Bukan gue, gue gak sejahat itu.”
Kian mengangguk, “yaudah, lanjut deh. Gue mau ke bawah dulu.”
Kian menepuk pundak Julian dan berlalu dari sana meninggalkan Julian yang masih di lingkupi perasaan bersalahnya, dia ngerasa harus datang ke kosan Bianca buat minta maaf. Mungkin dengan itu dia bisa sedikit lebih lega, persetan jika Bianca tidak mau bertemu atau bahkan memaafkannya, yang terpenting dia mau usaha dulu buat itu.
Setelah itu dia akan fokus memperbaiki hubungannya dengan Ibu dan juga Andra. Ah, rasanya kepala Julian mau pecah banget. Dia enggak menyangka patah hati akan memporak porandakan hidupnya begini.