Bicara (16)
Sudah 3 hari Ara ada di Jakarta, ah. Lebih tepatnya berada di rumah Yuno. Ara masih kuliah kok, beberapa mata kuliah memang ada kelas online nya. Mama Lastri bilang kalau lebih baik Ara cuti kuliah saat menjelang melahirkan saja, biar enggak kelamaan.
Pagi ini yang Ara lakuin setelah sarapan biasanya hanya berjemur, sesekali membantu Budhe yang bekerja di rumah Yuno buat nyiram tanaman, agak sedikit bosan sebenarnya karna mertua nya itu enggak mengizinkan Ara buat ngelakuin banyak aktifitas.
Oh iya, Mama Lastri juga sampai cuti 1 minggu demi bisa menemani Ara di rumah dulu, Mama dan Papa Yuno itu benar-benar merawat Ara dengan baik. Yah walau kadang menurut Ara agak sedikit berlebihan sih, mengingat kandunganya juga belum sebesar itu dan ia masih bisa melakukan banyak aktifitas sebenarnya.
“Ara.”
Ara yang lagi nyiram tanaman sambil bersenandung itu jadi menoleh, itu Mama. Mama membawa kotak yang ukurannya lumayan besar ke teras, dan melambaikan tangan menyuruh Ara untuk menghampirinya.
“Kenapa, Mah?” tanya Ara, dia langsung matiin keran nya dan beresin selang yang dia pakai buat nyiram tanaman.
Kedua wanita itu duduk di kursi taman sembari Mama memangku kotak berukuran sedang itu, kalau tidak salah waktu Ara mau nyiram tanaman. Mama memang sedang berada di kamar, Mama bilang mau bongkar lemari bajunya dan memilah baju yang sudah jarang Mama pakai untuk di sumbangkan ke yayasan.
Selain punya rumah sakit, keluarga dari pihak Papa nya Yuno juga punya yayasan amal yang di kelola sendiri, khusus yayasan itu yang mengelola Pakdhe Darmo. Kalau Mama hanya bantu-bantu saja kadang.
“Mama mau ngasih kamu sesuatu.”
“Ngasih apa, Mah?” Ara jadi deg-deg an gini.
Mama buka kotak yang ada di pangkuannya dan ngeluarin baju bayi di sana, baju bayi yang masih bagus banget menurut Ara. Bahkan masih wangi, hanya saja modelnya mirip baju bayi jaman dulu. Yah walau kalau di pakai untuk tahun sekarang juga enggak akan ketinggalan jaman kok.
“Ini tuh baju bayinya Yuno, Mama masih simpan beberapa disini buat kenang-kenangan.” mata Mama berkilau banget waktu nyeritainnya, mandang baju bayi itu juga sambil tersenyum. Bagi Mama memiliki Yuno seperti hal terbaik yang pernah ia dapatkan.
“Masih bagus yah, Mah.” Ara ngambil satu baju bayi dengan model jumpsuit warna nya biru dengan gambar beruang di sana. Bajunya masih bagus, enggak ada cacat sedikit pun padahal ini baju dari 24 tahun yang lalu bahkan gak ada tuh yang namanya noda kuning yang suka ada di lipatan baju yang udah lama di taruh lemari.
“Masih, sayang. Mama jaga banget barang-barang Yuno kecil disini. Masih suka Mama cuci biar wangi terus” selain baju ada dot bayi dan mainan bayi juga yang Mama keluarkan dari sana.
“Ara?” panggil Mama.
“Ya, Mah?”
“Simpan yah, kalau anak kamu lahir. Baju ini masih bisa di pakai lagi kok. Atau kalau kamu mau simpan aja juga boleh kok, baju ini tuh punya arti yang besar banget buat Mama.”
Ara tahu maksud dari ucapan Mama, dulu Mama pernah cerita kalau Mama dan Papa lama sekali menunggu seorang anak. Bahkan di pernikahan mereka yang sudah menginjak 6 tahun pun keduanya belum di karuniai bayi, sampai akhirnya Mama dan Papa memutuskan untuk mengikuti program bayi tabung.
Itu pun enggak langsung berhasil dalam sekali percobaan, karena pada percobaan pertama Mama gagal melakukannya. Makanya waktu Yuno lahir, Mama benar-benar bahagia. Ah, Mama pernah cerita soal ini sama Ara waktu mereka habis pulang mengantar Yuno ke bandara.
“Pasti bahagia banget yah, Mah. Waktu itu,” ucap Ara, kalau Mama cerita perjuanganya dulu buat punya Yuno. Ara tuh selalu tersentuh hatinya dan salut banget sama perjuangan seorang Ibu.
“Yuno itu hidup Mama, Ra. Yuno yang kasih Mama kesempatan buat jadi seorang Ibu. Yuno kecil tuh pendiam banget, gak neko-neko nurut banget anaknya, bahkan Yuno kecil kalau di jahilin temannya cuma diam aja gak pernah ngebalas, yang emosi justru Gita.” Mama terkekeh, mengingat masa-masa Yuno kecil sembari menimang mainan milik Yuno di pangkuannya itu. Mama gak nyangka Yuno sudah sebesar ini, Yuno bahkan sebentar lagi akan menjadi orang tua juga.
“Sampai sekarang Mas Yuno juga enggak pernah neko-neko, Mah. Walau enggak pendiam juga.”
“Oh ya?” tanya Mama, karna ucapan Ara. Mama jadi penasaran bagaimana Yuno di mata menantunya itu.
Ara mengangguk, “Mas Yuno tuh kadang suka jahil kalau sama aku, kadang sikap nya suka bikin aku bingung apalagi kalau udah mendam masalahnya sendiri. Makanya aku selalu bilang buat cerita apapun itu karna aku gak pernah keberatan Mas Yuno bagi susahnya ke aku.”
Mama baru tahu fakta ini, anak laki-laki satu-satunya itu suka memendam apa yang ia rasa sendiri? Mama jadi sadar kalau selama ini Yuno memang enggak pernah mengeluh, padahal Papa suka sekali menuntut Yuno. Yang Mama tahu selama ini Yuno bahagia-bahagia saja melakukan apa yang di minta Papa nya dan Mama sadar semua itu untuk kebaikan Yuno.
“Tapi Yuno mau cerita kan, Ra?”
Ara tersenyum, mengingat bagaimana susahnya dia membujuk Yuno buat cerita. Ara cuma enggak mau Yuno mendam masalahnya sendiri dan menjadikan itu bom waktu, apalagi kalau Jeff sampai muncul. Ah, mungkin dengan mengobrol seperti ini dengan Mama, Mama bisa lebih mengerti Yuno, pikir Ara.
“Cerita kok, Mah. Walau kadang susah banget bujuknya, Mas Yuno itu emang kelihatan enggak pernah ngeluh dia gak pernah mau bebanin orang lain sama ceritanya, tapi justru itu yang jadi bom waktu buat dia sendiri. Karena udah sifat bawaan, gak mudah buat ngubah itu. Tapi Ara janji gak akan biarin Mas Yuno ngerasa kesusahan sendiri, Mah.”
Ara sayang banget sama Yuno, dia selalu siap di bagi cerita apapun itu sama Yuno. Ara sama sekali enggak keberatan kalau suaminya itu mengeluh, Ara cuma gak mau Yuno ngerasa sendirian dan kesepian lagi karena sekarang mereka saling memiliki, ya. Ara harap Yuno akan selalu mau bersandar dengannya.
“Ara?”
“Ya, Mah?”
“Terima kasih yah sudah jadi Istrinya Yuno, sudah mau dengerin cerita-cerita dia, Yuno enggak pernah cerita apapun sama Mama bahkan masalahnya sekalipun. Mama lega banget kalau dia bisa percaya kamu buat cerita tentang masalahnya.” Mama benar-benar lega banget Yuno bisa di pertemukan sama perempuan sebaik Ara, Mama ngerasa Yuno bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Ara. Mungkin karena ini jugalah Yuno enggak pernah bisa membuka hati lagi waktu hubunganya dengan Ara berakhir.
Setelah ngobrol-ngobrol sama Mama sebentar, Ara kembali ke kamar Yuno. Tiduran di ranjang suaminya itu sembari mengusap-usap perutnya, perut Ara memang belum kelihatan besar kalau pakai baju. Apalagi selama di Jakarta Ara suka banget pakai bajunya Yuno yang benar-benar kebesaran di tubuhnya.
Tapi Ara bisa rasain perubahan di perutnya, agak lebih buncit sampai kadang Ara memilih buat enggak pakai celana yang ada kancing nya. Rasanya begah banget, ini baru 3 bulan bagaimana nanti kalau sudah 9 bulan? Pikirnya.
“Sayang nya Ibu mau mam apa nanti siang?” Ara terkekeh, ini pertama kalinya dia ngajak ngobrol janin nya itu. Ara sempat baca-baca buku kalau janin nya itu sudah bisa mendengar di usia 3 bulan.
“Ibu kepengen makan rujak lagi, kamu mau gak? Kenapa yah rujak tuh enak banget.”
Semenjak hamil Ara emang jadi suka banget makan buah dan olahanya terutama rujak, kayanya gak ada hari dimana dia gak makan rujak. Pokoknya harus ada rujak buah.
“Kangen Mas Yuno..” gumam Ara, dia lihat jam di ponselnya yang sekarang udah nunjukin jam 1 siang, di Jerman ini masih shift nya Yuno. Suaminya itu bilang kalau akan menelfon Ara duluan saat jam istirahat atau saat shift nya habis. Jadi Ara enggak berani nelfon duluan, gak pengen ganggu suaminya itu.
“Bianca!” panggil Julian. Cowok itu lari dari parkiran hingga ke loby demi nyamperin Bianca.
Hari ini Julian baru lihat Bianca lagi di kantor, wanita itu baru kembali bekerja setelah dinas di luar kota beberapa hari. Waktu Julian manggil, Bianca senyum raut wajahnya juga terlihat biasa saja, kaya enggak pernah terjadi apa-apa sama mereka sebelumnya. Dan jujur itu yang membuat Julian bingung.
“Hai, good morning.” sapa Bianca.
“Gue bisa ngomong sama lo sebentar?” ucap Julian tanpa menjawab sapaan Bianca, dia juga masih mengatur nafasnya karena berlari dari parkiran motor sampai ke loby.
“Boleh, mau ngomong dimana?” Bianca udah bisa tebak pasti Julian mau bicara soal malam mereka waktu itu, ah Bianca pikir Julian sudah lupa soal itu.
“Di rooftop.”
Keduanya akhirnya naik ke rooftop, masih ada 30 menit lagi sebelum jam kerja mereka mulai. Dan Julian rasa ini cukup untuk membicarakan tentang masalah mereka waktu itu, beruntung nya rooftop pagi itu sepi, enggak ada orang lain di atas selain mereka berdua, iya lah. Ini kan masih pagi, lagi pula mendung ngapain juga karyawan lain di atas? Pikir Julian.
“Bi, gue minta maaf soal malam itu. Gue benar-benar minta maaf,” ucap Julian to the point dia benar-benar nyesal udah kurang ajar sama Bianca yang malam itu cuma nolongin dia dari hujan.
Bianca yang liat Julian nunduk itu cuma bisa terkekeh pelan, enggak ada raut wajah kesal, benci apalagi jijik sama Julian. Dia justru makin gemas sama sikap Julian yang ia anggap polos itu.
“Jul, lo minta maaf karna udah nidurin gue?” tebak Bianca.
“Ssstttt!!” karna takut ada yang dengar Julian naruh telunjuknya di bibirnya sendiri, menyuruh Bianca untuk diam. Dia benar-benar takut ada orang lain yang dengar.
“Kenapa sih? Gak ada siapa-siapa juga.”
“Ya tetap aja jangan keras-keras ngomongnya gue malu.”
Bianca menggeleng pelan, Julian benar-benar kaya mainan baru buat dia. Walau sebenarnya Bianca sendiri enggak tega karena Julian terlalu polos dan agak sedikit menyedihkan buat dia, ya gimana enggak. Bianca udah tau fakta kalau Julian suka sama cewek yang udah punya Suami.
“Santai aja, Jul.”
“APA?!” pekik Julian, sekarang malah gantian dia yang ngeggas.
“Tuh, yang teriak siapa coba?” sindir Bianca.
Julian memejamkan matanya, “enggak, tadi lo bilang apa barusan? Santai?”
Bianca mengangguk, “kenapa sih emang? Gue enggak merasa lo perkosa. Karena malam itu juga gue mau. Kita pakai consent walau elo mabuk.”
Julian terdiam, dia benar-benar enggak habis pikir sama yang Bianca omongin, jadi malam itu Bianca juga menginginkannya? Padahal Julian mikirin hal ini sampai rasanya dia setress sendiri. Dia gak bisa bayangin kalau Bianca hamil dan dia harus tanggung jawab.
“Bi, tapi—”
“Lo gak usah takut gue hamil, Jul. Gue juga gak akan biarin itu, gak usah lo ambil pusing yah.”
Julian masih diam aja, dia justru bersandar pada dinding. Masih sulit mencerna kaya apa Bianca sebenarnya. Dan itu justru membuat Bianca tambah gemas, dia tepuk pundak Julian pelan sampai lamunan cowok itu buyar dan kini menatapnya.
“tapi gue boleh nanya sesuatu gak?” tanya Bianca.
Julian mengangguk, “tanya apa?”
“Ara itu siapa lo? Soalnya malam itu lo nyebut-nyebut dia terus.”
Ah benarkah? Kalau begitu ini justru lebih memalukan lagi dari yang Julian pikir. Bisa-bisanya malam itu dia menyebut nama Ara? Tapi kalau boleh jujur, malam itu saat ia mabuk yang ia lihat memang ada Ara, cewek yang tidur bersama nya itu terlihat seperti Ara makanya waktu Julian bangun rasanya kaget banget waktu dia tahu Bianca tidur di sebelahnya.