Brondong Sinting (13)

Disini lah Julian malam ini, masih terduduk di kursi nya dengan setumpuk berkas-berkas yang masih ia kerjakan. Masih setia dengan MacBook dan beberapa kertas yang berserakan di atas meja kerjanya, lampu-lampu ruang kerja yang mengusung konsep co-working space itu mulai di redupkan satu persatu oleh security yang berjaga malam itu.

Julian enggak lembur sendirian, ada 3 orang lainnya di ujung sana yang juga lembur. Mereka dari divisi marketing, Julian memang sudah sebulan kerja di Ruby Jane. Tapi cowok itu juga enggak begitu banyak interaksi sama karyawan-karyawan lainnya untuk hal yang bukan pekerjaan.

Di temani secangkir kopi yang sempat ia bikin di pantry, Julian mulai mengerjakan kembali pekerjaannya. Sesekali matanya melirik ke arah luar yang mulai gelap namun tampak gemerlap karena berasal dari lampu-lampu jalan dan mobil, di luar hujan deras. Pulang pun Julian akan kehujanan, makanya dia memutuskan untuk lembur saja di kantor.

Sedang asik berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba saja pesan dari grup teman-teman kosan Abah itu menampilkan satu notifikasi. Julian memang menyambungkan aplikasi pesan singkatnya ke MacBook, ini semua untuk memudahkannya berkomunikasi. Kan repot kalau dia harus memeriksa pesan di ponsel.

“Haa..” ia menghela nafas, tersenyum miris seperti mendapatkan sebuah tamparan untuk kesekian kalinya.

Ucapan selamat dari teman-temannya itu untuk Ara atas kehamilannya, rasanya hal itu membuat Julian semakin nyeri, kepalanya yang penuh akan pekerjaan sedari tadi siang itu rasanya lenyap entah kemana tergantikan oleh perempuan yang selalu memenuhi isi kepalanya.

Julian benci ini, harusnya Julian tau hari seperti ini akan tiba. Namun tetap saja rasanya ia tidak akan pernah siap, seketika dia jadi teringat sama celetukan dari Andra Adiknya itu. Andra masih suka mengejeknya untuk melupakan Ara dan jangan menunggu Ara sampai jadi janda.

Julian menggeleng, ia tidak lagi membuka ruang obrolan itu yang masih ramai. Ia justru membuka album fotonya saat masih kuliah yang ada di sosial media miliknya, ingin bernostalgia sebentar saja. Akhir-akhir ini kesibukan bekerja membuat Julian sedikit merindukan saat-saat ia kuliah.

Di sana Julian tersenyum saat melihat foto dirinya mengenakan kemeja hitam putih khas mahasiswa baru yang sedang ospek, ada Ara, Gita, Chaka, Kevin, Januar dan juga Echa yang berfoto bersama sebelum pagi itu mereka berangkat ke kampus. Lalu foto selanjutnya waktu ia dan Ara mengikuti kegiatan HIMA ada Jonas juga di sana.

Ah iya Jonas, cowok itu sudah bekerja di luar kota. Jonas menetap di Semarang karena ia bekerja di sana, Julian masih berkomunikasi sama Jonas kok kadang-kadang. Cowok itu baik-baik saja, dan yang terakhir Julian dengar tahun depan Jonas akan segera bertunangan.

Tanpa Julian sadari, ada sepasang heels melangkah menuju ke meja nya. Seorang wanita dengan paras anggun dan rambut pendek sebahu itu menghampiri Julian. Saat semakin dekat julian menyipitkan matanya, awal nya ia kira ia salah lihat namun ternyata benar. Dia adalah Bianca dari divisi marketing.

“Julian ya?” sapa nya pada Julian, Julian hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Iya, Mbak.”

Wanita itu menjulurkan tangannya ke depan Julian. “kenalin, gue Bianca dari divisi marketing.”

Tentu saja Julian menyambut hangat uluran tangan itu, Bianca senior nya dan ia masih anak baru disini. “Julian, Mbak. Panggil Ijul aja.”

“Jangan manggil gue, Mbak. Panggil Bianca aja. Lagi pula kita cuma beda 3 tahun.” melihat kursi dari meja di sebelah Julian itu kosong Bianca akhirnya menarik kursi itu dan duduk di depan Julian. “Santai aja yah, udah selesai juga jam kerjanya. By the way lo lembur?”

Julian mengangguk, “iya, lembur. Sebenernya bisa gue bawa balik sih, tapi di luar hujan. Gue gak bawa jas hujan.”

“Oh, lo bawa motor?”

“Iya, lo sendiri masih lembur? Tadi kayanya ada 2 orang lagi dari divisi marketing pada kemana?

Bianca mengangguk, “lagi pada beli makanan di mini market bawah. Gue sih nitip aja, hmm... Gini deh, kalo mau launching product. Pasti hectic banget.”

Julian cuma ngangguk aja, tapi perlu ia akui memang akhir-akhir ini di kantor sibuk sekali karena mau launching product terbaru. Sebenarnya Julian juga lumayan sibuk karena Jenara Kim meminta Julian untuk menyeleksi benar-benar kadidat untuk bagian admin marketplace, ada beberapa orang yang terpaksa di keluarkan karena kinerja nya yang kurang baik. Jadi harus segera di cari penggantinya.

“Lo udah lama kerja disini yah?” tanya Julian basa basi, enggak enak karena dari tadi yang bertanya Bianca terus. Dia enggak mau di cap kaku hanya karena diam aja.

“Lumayan, udah sekitar 3 tahunan. Lo sendiri gimana, betah gak kerja disini?”

Julian mengangguk, dia betah kok. Walau kadang numpuknya pekerjaan bikin kepala Julian sakit tapi Julian cukup menikmati pekerjaannya.

“Lumayan.”

Kedua nya sempat mengobrol berbagai macam hal mulai dari soal pekerjaan, hobi Bianca yang ternyata suka banget ngegym, sampai soal masa-masa mereka kuliah. Ternyata Bianca ini juga pernah tinggal di Bandung dan berkuliah di Elite university, sejak beberapa jam bicara sama Bianca, Julian pikir Bianca enggak sejutek yang di bilang sama Kian kemarin, wanita itu cukup ramah untuk penampilannya yang terkesan dingin.

Karena hari sudah semakin malam, keduanya memutuskan untuk pulang. Untung saja hujan malam itu sudah redah waktu Julian dan Bianca keluar dari kantor mereka. Julian sempat mengantar Bianca ke parkiran mobil dulu, parkiran mobil dan motor itu agak jauh jaraknya. Karena keadaan parkiran kantor sudah sepi, jadi lah Julian nemenin Bianca lebih dulu.

“Gimana bisa?” tanya Julian waktu Bianca nyoba buat nyalain mobilnya lagi.

“Gak bisa.” desahnya putus asa, padahal Bianca sudah rajin menyervis mobilnya dan rajin melakukan pengecekan secara berkala tapi kenapa masih saja ada yang rusak? Pikirnya.

“Mau gue anterin aja? Rumah lo daerah mana?” Julian cuma kasihan aja sama Bianca kalau harus naik taksi online di jam 11 malam begini, mana masih gerimis. Lebih baik dia antar pulang saja, gak papa lah Bianca basah sedikit toh dia juga mau pulang ke rumah kan.

“Daerah Kuningan, lo serius mau nganter? Jauh lagi dari sini tuh.” Bianca cuma enggak enak aja sama Julian, mereka memang rekan kerja. Tapi dia dan Julian baru dekat hari ini.

“Iya serius, dari pada lo pulang naik taksi online. Udah malem begini, gue juga gak yakin driver ambil orderan lo bakalan cepet.”

Bianca kelihatan menimang-nimang tawaran itu sebentar, sampai akhirnya dia mengangguk setuju. Dari pada semakin malam, lebih baik dia pulang sama Julian aja, yah walau basah dikit gapapa lah yah. Tapi yang menjadi pikirannya saat ini adalah, dia mengenakan rok di atas lutut yang kalau dia naik motor, rok itu akan semakin naik dan memperlihatkan kaki nya.

“Yaudah deh,” jawab Bianca pada akhirnya, persetan soal rok. Nanti dia bisa tutupi kakinya dengan tas miliknya saja.

Mereka akhirnya jalan ke parkiran motor, Bianca tau Julian itu bawa motor ke kantor tapi dia juga enggak berekspektasi kalau motor yang di bawa Julian itu adalah motor bergaya klasik yang harga nya sudah seharga mobil.

“Nih pake jaket gue buat nutupin kaki lo.” Julian ngasihin jaket yang dia pakai ke Bianca, dia gak mau kakinya Bianca kemana-mana apalagi sampe wanita itu masuk angin.

“Serius? Kalo kecipratan genangan air gimana?”

“Kan bisa gue cuci, dari pada lo kedinginan.”

Dalam hati Bianca gak bisa berhenti berdecap kagum sama Julian, cowok itu sangat sopan dan ia kagum sekali sama Julian. Enggak seperti kebanyakan cowok yang mendekatinya, Julian ini beda banget.

Di perjalanan, mereka enggak banyak ngobrol karena Julian bawa motornya lumayan kencang. Yah sebenarnya dia juga enggak mau bawa motor agak ngebut, Julian terpaksa karena gerimis nya semakin deras. Sampai akhirnya motor yang di bawa Julian memasuki wilayah apartemen Bianca, Bianca baru bisa bernapas lega karena setelah itu barulah hujan turun lumayan lebat.

“Lo masuk dulu aja yuk, tunggu di unit gue dari pada disini kedinginan,” Bianca cuma gak enak aja sama Julian gara-gara harus anterin dia dulu Julian jadi kejebak hujan kaya gini.

“Gausah, bentar lagi juga berhenti hujan nya.”

“Apaan berhenti, tambah deres ini. Udah yuk masuk dulu aja, gue bikinin teh buat lo.”

Karena Julian juga ngerasa kedinginan, akhirnya Julian mengiyakan ajakan itu. Ternyata unit milik Bianca berada di lantai 5, unit nya cukup luas dengan barang-barang mewah yang cukup bikin Julian bisa menebak-nebak bagaimana gaya hidup wanita itu.

Julian duduk di sofa ruang tamu apartemen Bianca sembari menunggu wanita itu berganti baju dan membuatkannya teh. Ternyata benar, hujan nya semakin deras dan sial nya batre ponsel Julian lowbat.

“Lo mau charger HP lo? Sini gue chargerin.” tiba-tiba saja Bianca datang, membawa secangkir teh manis hangat dan menaruhnya di meja ruang TV.

“Sampe 20% aja yang penting bisa nyala.” Julian ngasih ponsel nya itu dan Bianca ambil ponselnya untuk kemudian dia charger.

Bianca cukup kaget sama wallpaper yang ada di ponsel Julian, foto Julian dengan seorang cewek. Tapi rasanya kaya enggak asing, Bianca pernah liat cewek itu tapi entah dimana atau ini hanya perasaanya saja.

“Gue boleh numpang ke kamar mandi lo gak?” tanya Julian yang bikin Bianca kaget, pasalnya dia masih memandangi wajah cewek yang ada di wallpaper Julian.

“Ah, bo..boleh kok. Ada di belakang sana.” Bianca nunjuk arah dapur yang memang letak toiletnya itu ada di belakang dapur miliknya, tanpa menjawab apapun lagi akhirnya Julian langsung melesat ke toilet.

“Kaya pernah liat, tapi siapa yah. Muka nya enggak asing banget,” gumam Bianca.

Gak lama kemudian Julian keluar dari kamar mandi, cowok itu kembali duduk di sofa bareng sama Bianca. Mereka berdua sama-sama nonton TV sambil nunggu hujan di luar reda, namun tidak lama kemudian Bianca teringat sesuatu. Dia masih punya minuman yang dia dapat dari Jenara, belum sempat dia minum. Bianca enggak suka minum sendirian, Jenara emang suka ngasih dia minuman atau barang-barang mewah karena kinerja nya yang bagus.

by the way Jul, mau minum gak?” tanya Bianca, badannya yang tadinya duduk tegap kedepan itu menyamping agar ia bisa melihat Julian di sebelahnya.

“Minum apa?”

“Jenara ngasih gue wine, belum sempat gue minum. Gue gak suka minum sendirian.”

Sejujurnya malam ini Julian juga sedang mumet, pekerjaannya memang sudah selesai namun hatinya masih panas mengingat kabar terbaru dari Ara. Katakanlah Julian masih cemburu, yah meski ini konyol karena dia cemburu sama Istri orang.

“Boleh-boleh udah lama juga,” ucapnya langsung setuju.

Bianca pun langsung mengajak Julian untuk duduk di meja pantry nya, menyiapkan dua gelas wine berserta sebotol wine dari Jenara Kim itu. Keduanya sama-sama menikmati rasa dari wine yang mereka tenggak, terkadang Bianca juga cerita tentang kesehariannya dan club yang biasa dia datangi kala suntuk menghadang.

Julian sih cuma dengerin aja, dia gak pernah datang ke club malam. Kalau cuma minum sih Julian pernah minum beberapa kali sama anak kosan.

“Kapan-kapan ke sana sama gue yuk,” ajak Bianca, dia cuma mau ngajak Julian aja ke club yang biasa dia datangi. Bianca itu orang nya ramah banget, dia sebenarnya enggak milih-milih teman, ya asalkan orang itu enggak kurang ajar sama dia. Selama ini cowok yang mendekatinya itu isi kepala nya sama menurut Bianca.

“Boleh, gue juga udah lama gak ke club.” ah, lebih tepatnya Julian enggak pernah main ke tempat seperti itu. Namun saat ini rasanya ia ingin keluar dari zona nyaman, anggap ia sedang mencari pelarian dari rasa sakitnya.

“Lusa gimana?”

“Boleh.”

“Jemput yah.”

Julian hanya mengangguk, kepalanya juga sudah agak pening sedikit. Julian terakhir kali minum itu waktu sebelum skripsian, itu juga nemenin Kevin sama Chaka. Dan berakhir dia muntah di balkon kosan dan di marahin sama Januar yang pagi itu mau jemurin pakaian.

Melihat Julian yang sudah memegangi kepalanya, Bianca naruh gelas wine miliknya itu. Dia gak mungkin biarin Julian pulang dalam keadaan teler kaya gini, minimal Julian bisa pulang besok pagi kalau kesadarannya udah membaik. Jadi Bianca ingin membawa cowok itu ke sofa ruang tamunya.

“Lo udah mabuk, gue anter ke sofa yah. Baliknya besok aja.” Bianca megang tangan Julian, rangkul cowok itu ke pundaknya namun siapa sangka Julian yang udah teler itu justru jatuhin kepala nya ke tengkuk leher Bianca, nafasnya yang gak beraturan itu bikin bulu kuduk Bianca bergedik.

“Um... Gue tidur dimana?” racau Julian.

“Di..di sofa.”

Tidak lama kemudian, Julian menaikan kepala nya. Dia berdiri tegap dan narik tangan nya dari rangkulan Bianca, malam itu bagi Bianca, Julian tampak lebih menarik dari biasanya, rambutnya yang separuh basah itu sedikit acak-acakan, kemeja yang sudah keluar dari balik celana nya, sampai mata sayu cowok itu mampu menerbangkan kewarasan Bianca.

“Brondong sialan!!” pekik Bianca waktu Julian tiba-tiba rangkul pinggang dia.

“Ara..” desis Julian, cowok itu tersenyum. Namun tanpa aba-aba lagi, Julian langsung mencium Bianca dengan gerakan terbata-bata.

Bianca tentu nya kaget dengan hal itu, namun baginya, Julian sudah menyulut gairahnya juga dengan menciumnya tiba-tiba, Bianca enggak diam, dia bawa kedua tangannya ke bahu tegap Julian dan melumat bibir bawah cowok itu.

Tangan Bianca di belakang kepala Julian enggak tinggal diam, dia usap kepala belakang Julian sembari sesekali kakinya melangkah menuntun Julian ke kamarnya. Deru nafas Julian yang cukup berat itu membuat Bianca tahu kalau Julian menginginkannya, tapi tunggu. Julian tadi menyebutkan nama cewek lain, siapa katanya? Ara?

Begitu mereka sampai di kamar, Bianca melepaskan ciuman itu lebih dulu. Dia mendorong Julian ke ranjangnya sampai cowok itu jatuh tiduran di ranjangnya, kemudian dengan sigap Bianca naik ke atas tubuh Julian dan membuka satu persatu kancing kemeja Julian.

Malam itu mereka benar-benar menghabiskan malam yang panjang, yang Julian sendiri enggak menyangka dia akan melakukannya dengan Bianca di ambang kesadarannya yang enggak seberapa itu. Ini pertama kalinya untuk Julian namun bukan yang pertama untuk Bianca, gesekan antar kulit keduanya itu membuat gairah Julian makin meletup-letup.

Apalagi saat Bianca mendesah dan membisikan namannya, rasanya Julian udah semakin di buat enggak waras. Keringat yang mengucur dari tubuh atletis nya itu membuat Bianca masih terus menginginkan Julian.

“Mmhh.. Jul..”

“Ara...” Julian memejamkan matanya, untuk yang kedua kalinya ia lepaskan benih miliknya itu di dalam sana, membuat kedua anak manusia itu saling memejamkan matanya setelah pelepasan itu tiba.

setelahnya Julian ambruk, ia mengatur nafasnya berat sembari memeluk wanita yang ia yakini itu adalah cewek yang dia sayang mati-matian.

“Aku sayang kamu, Ra.”

Bianca yang mendengar itu cuma bisa terkekeh, dia enggak sakit hati atau cemburu. Baginya hal seperti malam ini biasa, lagi pula di mata Bianca saat ini Julian hanya mainanya.

“Lo naksir bini orang yah, Jul?” Bianca baru ingat cewek yang di wallpaper ponsel milik Julian itu adalah Istri dari sepupunya Gita, creative direktur di Ruby Jane, dan Suaminya adalah teman dekatnya Jordan kekasihnya Jenara Kim.

“Gue capek.” Julian melepaskan pelukan itu, kemudian tidur membelakangi Bianca. Dia udah gak perduli lagi Bianca yang terkekeh pelan melihatnya.

“Dasar brondong sinting naksir kok sama bini orang.”