Future (15)
Selesai dengan shift nya hari ini Yuno enggak langsung pulang ke apartement nya, dia mau jalan-jalan dulu sebentar sekaligus membeli beberapa keperluan untuk mengisi kulkasnya. Lagi pula ini sudah masuk musim semi, musim semi di Jerman itu indah banget ada banyak Frühlingsfest atau festival musim semi juga.
Tapi siang ini Yuno enggak mau ke festival, dia cuma mau jalan-jalan ke mall buat mampir ke supermarket dan melihat-lihat baju sebentar. Bukan untuknya, tapi untuk anaknya kelak. Katakan ini terlalu cepat, tapi Yuno pernah melihat toko baju bayi di mall yang semua koleksinya lucu-lucu. Terutama untuk bayi perempuan.
Yuno enggak tahu anaknya berjenis kelamin apa, apapun yang Tuhan kasih Yuno akan sangat bersyukur. Jadi rencana nya ia hanya akan membeli baju dengan warna dan model yang bisa di pakai untuk bayi perempuan dan laki-laki saja.
Ah iya, ngomong-ngomong Ara sudah mulai bersiap untuk pindah ke Jakarta. Beberapa barang-barangnya juga sudah di kirimkan ke rumah orang tua Yuno, jadi tinggal nunggu saja Ara untuk pindah ke Jakarta sepenuhnya. Agak sedikit lega sebenarnya tahu Ara setuju untuk pindah ke Jakarta dan tinggal di rumahnya, itu artinya akan ada banyak orang yang menjaga Istrinya itu. Enggak seperti di Bandung, Ara hanya tinggal sendiri meski Gita dan Arial berada di Bandung juga. Tapi kan tetap saja enggak enak merepotkan sepupunya itu terus.
Setelah Yuno selesai belaja kebutuhan untuk dapur nya, dia langsung melesat ke toko pakaian bayi. Baru sampai depannya saja Yuno sudah tersenyum, gak pernah dia bayangin sebelumnya kalau masuk toko baju bayi akan semenyenangkan ini ternyata.
Waktu masuk, ada pelayan yang nyambut Yuno dan bersedia membantu Yuno, tapi Yuno bilang dia masih mau liat-liat dulu, ah. Mungkin nanti dia mau telfon Gita buat nanya baju apa yang cocok buat anaknya.
Yuno enggak mau telfon Ara karena ini bakalan jadi hadiah buat istrinya itu, rencana nya saat libur kuliah nanti Ara berencana untuk liburan ke Jerman sebentar. Makanya baju bayi ini mungkin akan Yuno kasih saat istrinya itu di Jerman.
Entah ini hanya naluri Yuno saja atau memang baju bayi perempuan di ujung sana begitu menarik, Yuno menghampiri baju bayi berwarna putih dan pink itu, warna yang sebenarnya perempuan banget dengan motif pita dan asesoris topi berbentuk kuping kelinci di sana, modelnya jumpsuit yang menutupi badan hingga kakinya.
Yuno ambil baju itu, wajahnya tersenyun membayangkan kalau anaknya dan Ara adalah anak perempuan, pasti bakalan lucu banget kalau dia pakain ini, batinnya. Dengan cepat Yuno ambil ponselnya dan langsung melakukan panggilan video sama Gita, ah kayanya dia juga mau beliin baju buat keponakannya itu deh. Elios dan Eloise si kembar yang selalu bikin Yuno pengen gigit pipi gembulnya itu.
“ih lo dimana, Kak?” pekik Gita waktu perempuan itu angkat panggilan video nya, Yuno memang enggak menyoroti wajahnya. Kamera ponselnya langsung menyorot ke baju bayi.
“Di toko baju bayi, Git. Ini lucu gak?” tanya Yuno.
“lucu kok, buat siapa?“
“Buat anak gue lah,” jawab Yuno dengan bangga nya, katakan ini memang konyol tapi Yuno beneran se excited itu buat belanja perlengkapan bayi. Selain itu Yuno juga belajar cara parenting yang baik dan baca-baca buku tentang Ibu hamil dan bayi yang baru lahir. Dia mau jadi orang tua yang baik untuk anaknya.
“*Kak, please deh. Ara itu hamil baru 3 bulan yah, itu janin jenis kelaminya juga belum kelihatan, masih terlalu cepat buat beli baju bayi tau.” Gita jadi ingat soal mitos beli baju bayi di awal usia kandungan yang masih muda, tapi sayangnya dia enggak percaya sama mitos. Yah ngasih tau ke Yuno soal mitos ini juga percuma, Yuno saja enggak percaya sama hantu apalagi sama mitos.
“Ya gapapa, gue lagi excited aja buat nyiapin banyak hal buat anak gue. Nanti si kembar gue beliin juga kok, jadi ayo bantuin gue pilih baju.”
“itu baju bayi buat ukuran 6 bulan yang lo pegang, minta cariin yang buat new born.“
“Oke sebentar.”
Di layar ponsel Gita, Yuno tampak memanggil seorang pelayan toko untuk meminta di ambilkan baju bayi untuk ukuran bayi baru lahir, enggak lama kemudian kamera ponsel Yuno menyoroti baju bayi lagi.
“Yang ini kan?”
“iya,” Gita mengangguk. “kenapa gak cari yang unisex aja sih? Kan jadi gak repot kalo misalnya anak lo laki-laki, Kak.*” Gita cuma mikir aja bakalan sia-sia kalau Yuno beli baju bayi cewek tapi ternyata anaknya lahir cowok, yah walau mungkin bisa di pakai buat adikknya kelak.
“Emang niatnya gitu, ini cuma mau beli satu aja karena lucu banget, gue langsung jatuh cinta pas liatnya.”
“lo gak nanya Ara emang?“
“Buat kejutan dia nanti pas ke Jerman, makanya gue nanya ke lo. Bantuin pilihin lagi yah, sekalian nanti buat si kembar gue paketin aja.”
Cukup lama Yuno dan Gita melakukan panggilan video, bahkan dari jauh pun Gita bisa ngerasain betapa bahagianya Yuno karna sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah. Gita tau banget Yuno suka banget sama anak kecil, di tempatnya Gita cuma berharap kakak sepupunya itu bisa terus bahagia seperti ini.
Sudah seminggu ini Julian bekerja seperti biasanya, yang tidak biasa adalah dia masih suka kepikiran malam itu dengan Bianca. Sudah beberapa hari ini Bianca enggak kelihatan di kantor, katanya wanita itu sedang ada kerjaan di luar kota. Jika kalian bertanya kenapa Julian tidak menghubungi Bianca saja? Tentu saja itu sudah dia lakukan.
Tapi hasilnya nihil, enggak ada balasan dari Bianca. Julian sebenarnya merasa bersalah malam itu, dia juga membenci dirinya sendiri dan berniat meminta maaf dengan tulus atas apa yang ia lakukan pada Bianca. Kemungkinan terburuknya adalah Julian siap bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Bianca.
Pada jam makan siang hari ini, Julian hanya mengaduk-aduk makan siangnya saja tanpa berniat untuk memakannya. Kian yang duduk bersebrangan denganya hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, Julian akhir-akhir ini nampak murung dan terlihat bingung, entah apa yang cowok itu pikirkan sebenarnya.
“Jul!!” Kian menendang kaki Julian dari bawah, dan itu berhasil membuat lamunan Julian buyar begitu saja. “Makan, ye... Malah di aduk-aduk aja itu makanan. Mikirin apaan sih?”
Julian menghela nafasnya pelan, kepalanya agak pening rasanya. Andai malam itu dia gak menerima ajakan minum dari Bianca mungkin masalah di hidupnya enggak akan sekacau ini, ah tidak. Andai malam itu Julian pulang saja dan menerobos hujan, mungkin kejadiannya enggak akan seperti ini.
“Gapapa, Mas.” Julian sebenarnya mau cerita soal dia dan Bianca sama orang lain, tapi Julian benar-benar bingung harus cerita sama siapa. Dia sebenarnya kepikiran buat cerita sama Januar, tapi rasanya ada perasaan malu untuk mengubungi Januar apalagi menceritakan hal ini. Januar pasti akan kaget mendengarnya.
Melihat Julian yang hanya memakan sedikit makananya saja membuat Kian makin penasaran sama apa yang di pikirin Julian, dia cuma mikir takutnya Julian punya masalah di kantor, siapa tahu kan dia bisa bantu.
“Ada masalah, Jul? Cerita coba dari pada elu kelihatan hidup segan mati belum saatnya begini,” ucap Kian.
“Kelihatanya begitu emangnya, Mas?”
Kian mengangguk, “ada apa sih? Di marahin Jenara?”
Julian menggeleng. “Bukan, Mas.”
“Belum dapet kadidat buat admin e-commerce?”
Lagi-lagi Julian menggeleng, dia sudah mendapatkan pengganti untuk divisi itu kok. Malahan orangnya sudah mulai bekerja sejak 3 hari yang lalu, kinerja nya juga baik dengan pengalaman yang cukup sepertinya Julian enggak perlu lagi meragukan kemampuannya.
“Lah terus kenapa?”
“Gue enggak bisa ceritain ini, Mas.”
“Masalah pribadi ye?” tebak Kian, dan Julian mengangguk.
Kian memang baik, namun rasanya Julian belum bisa bercerita banyak pada Kian. Apalagi ini tentang Bianca, dia takut Kian keceplosan soal masalahnya dengan Bianca ke karyawan lain. Dia gak mau reputasinya dan Bianca di kantor jadi ternodai karena masalah ini, terutama dengan karir yang sudah Bianca bangun susah payah.
“Yaudah kalo gitu, cuma kalo lo mau cerita, cerita aja yah. Terutama soal kerjaan kali aja kan gue bisa bantu.”
“thank you, Mas.”