Hari-Hari Berat (22)
Selesai istirahat hari ini Yuno kembali ke ruangan istirahat dokter, udah beberapa hari ini dia di bikin enggak nyaman sama beberapa dokter residen di rumah sakit. Yuno ngerasa dia sedikit di pelonco akhir-akhir ini. Emang enggak ada kekerasan fisik, hanya saja mereka senang menyuruh-nyuruh Yuno membeli kopi, menahan Yuno untuk pulang lebih lama dari jam jaga nya.
Sampai kadang mereka menyuruh Yuno menangani pasien dan melepasnya begitu saja, sejujur nya Yuno lumayan percaya diri sama diagnosis-diagnosis nya. Dia juga kompeten untuk menangani pasien, hanya saja kan prosedurnya dia tetap harus dalam bimbingan dokter senior.
“Aryuno?” panggil salah satu dokter residen yang tadi sedang mengobrol di belakang kursi Yuno. Yuno tadinya sedang baca-baca buku, dia enggak mau nelfon Ara kalau lagi ramai begini. Dia takut di ledekin.
Sembari mengehela nafas, Yuno menoleh ke arah mereka yang kini tersenyum meledek ke arahnya. “Ya, ada apa dok?”
“Lagi nganggur kan? Bisa beliin kopi gak ke bawah?”
Yuno memejamkan matanya, kupingnya sedikit berdenging dengan suara samar-samar yang ia dengar. Kepalanya juga berkedut, seperti ada berbisik ke telinganya untuk tidak melakukan apa yang di suruh oleh senior nya itu.
Yuno masih menahan dirinya, dengan sekuat tenaga dia remas pulpen yang ada di tanganya, menarik nafas kemudian menghembuskanya perlahan-lahan.
“jangan sekarang, Jeff.“
“Aryuno?!” sentak dokter senior laki-laki yang kini berdiri di depan Yuno, suaranya benar-benar mengintrupsi Yuno hingga ia membuka matanya.
“Gak bisa, dok.”
Laki-laki itu terkekeh, menatap Yuno dari atas hingga bawah seperti sedang meremehkan atau membaca kemampuan Yuno.
“Kemarin-marin mau, kenapa sekarang enggak?” tanyanya.
“Tugas saya kan bukan beliin kopi, saya mau dokter, tugas saya nyelametin pasien bukan pesanin kopi,” jawab Yuno lantang, kesabarannya nyaris habis. Dia gak perduli nantinya dia bakalan di cap sebagai anak koas yang enggak sopan sama senior sekalipun, menurut nya ini sudah masuk ke perpeloncoan.
“Wahh...” laki-laki itu tersenyum, menepuk pundak Yuno dua kali dengan wajah tidak menyangkanya, seperti dia enggak menduga kalau Yuno akan berani melawannya seperti itu.
“Yuno, jadi dokter itu bukan cuma tentang menyelamatkan pasien. Sebelum itu, lo harus punya hubungan yang baik dulu sama senior-senior lo di rumah sakit,” ucap laki-laki itu.
“Mungkin karena sekarang dia anak murid nya dokter Smith, dok. Makanya dia berani ngelawan kita.”
“Dia ngerasa udah enggak butuh senior kah karena diagnosis nya ke pasien selama koas selalu benar?”
“Dok, dia itu anak orang kaya di negara nya. Bapaknya direktur rumah sakit, pantas dia gak mau di suruh-suruh.”
Kalimat-kalimat itu membuat telinga Yuno sakit, dari pada berujung pada perdebatan lebih baik Yuno mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dan lebih memilih duduk di kursi ruang tunggu sembari memonton televisi.
Disana dia menyandarkan tubuhnya, memijat pelipis nya pelan. Kepala nya sudah tidak berdenyut, sekuat tenaga Yuno menahan Jeff untuk tidak muncul. Yuno sadar akhir-akhir ini dia lumayan tertekan, pikiranya terbagi-bagi dan kadang bikin dia sering kali enggak fokus.
“Jangan gini, No..” gumam nya.
Untuk berjaga-jaga akhirnya Yuno menuliskan surat untuk Jeff di buku miliknya, andai Jeff menggantikannya dia memohon pada laki-laki itu untuk tidak membuat kekacauan. Dia ingin koas nya berjalan lancar tanpa drama apa-apa lagi.
Setelah di rasa cukup tenang, Yuno kembali masuk ke IGD. Jam jaga nya masih ada, ada beberapa pasien yang harus ia tangani juga. Walau tetap dalam pengawasan dokter residen. Kali ini Yuno di berikan kesempatan lagi untuk memeriksa pasien, kebetulan dokter Smith sedang keluar sebentar.
“Saya demam sejak pagi, perut juga terasa berat. Seperti kena gangguan pencernaan,” ucap pasien laki-laki yang sedang Yuno periksa itu.
Umur nya 40 tahun, datang dengan keluhan demam dan nyeri perut. Datang bersama istri dan anaknya yang kini menunggu di sebelahnya, Yuno hanya mengangguk dia fokus memeriksa area perut pasien.
“dokter Yuno mau saya hubungi dokter Smith?” tanya perawat yang ikut mengawasi Yuno.
“Akan ada pemeriksaan dasar, nanti kami akan melakukan rontgen dada dan pengambilan darah,” ucap Yuno pada keluarga pasien.
Setelah itu Yuno berjalan ke arah nurse station dan menghubungi dokter Smith sendiri. Dia mau nanya tindakkan yang dia ambil sudah benar atau belum.
“dokter Yuno?”
Yuno menoleh ke arah perawat yang membantu nya, dia perempuan. Nama nya Sabrina. Dia sudah 5 tahun menjadi perawat di rumah sakit, Yuno justru lebih respect sama Sabrina dari pada sama residen nya di rumah sakit. Walau terbilang senior, Sabrina enggak pernah melakukan senioritas.
“Ya?” tanya Yuno.
“Jangan di pikirin soal yang di ruangan tadi, dokter Yuno jauh lebih baik dari mereka,” jawab Sabrina.
Yuno hanya mengangguk, meski enggak bisa di bohongi kalau itu juga sedikit menganggunya. “Saya enggak pikirin kok.”
“dokter tolongg!!!” tiba-tiba saja keluarga pasien yang tadi Yuno tangani berteriak, membuat Yuno dan Sabrina berlari kembali ke ranjang pasien yang tadi mereka tangani.
Yuno menghela saliva nya, pasien laki-laki nya itu tidak sadarkan diri. Dia langsung memeriksa denyut nadi nya, dan betapa panik nya Yuno saat dia tidak dapat merasakan denyut nadi pasiennya.
“Lakukan CPR, dokter Yuno!” kata Sabrina enggak kalah panik, dia berusaha manggil perawat yang lain untuk menghubungi dokter Smith atau dokter spesialis yang sedang berjaga di poli.
Sembari menunggu dokter yang lain tiba, Yuno melakukan CPR sebisanya. Setidaknya sampai denyut nadi pasien itu kembali, dalam hati Yuno terus merapalkan doa agar dia di beri kesempatan untuk menyelamatkan pasiennya. Enggak lama kemudian dokter Smith datang bersamaan dengan perawat yang baru saja selesai istirahat.
“Kenapa ini?” tanya dokter Smith, sebelum menangani dia harus tahu apa yang terjadi sama pasien nya lebih dulu.
“Beliau demam dan nyeri perut, dok. Kemudian mengalami henti jantung.” jawab Yuno, dia masih terus melakukan CPR.
dokter Smith diam sebentar, memperhatikan pasiennya yang terbaring sembari Yuno masih melakukan CPR.
“Demam? Dia mengalami miokarditis? Sudah berapa lama Yuno?”
Yuno memberi isyarat pada Sabrina untuk menggantikannya melakukan CPR, dia mau menghitung berapa lama pasien mengalami henti jantung dari arlojinya.
“Sudah satu menit, dok.”
“Hubungi bedah toraks!” dokter Smith memejamkan matanya, dia jadi enggak fokus karena keluarga pasien yang menunggu menangis. Fokus nya jadi terpecah.
“Maaf, dok. dokter dari bedah toraks sedang keluar, butuh 30 menit buat beliau kembali ke rumah sakit,” ucap perawat lainnya.
“Yuno, bawakan defibrator dan selang intubasi, epinerfin setiap 3 menit!”
Yuno mengangguk, “baik, dok.”
Dengan sigap dia berlari mengambil defibrator dan membawanya ke dokter Smith, setiap kali mendapatkan pasien yang colaps seperti ini tangan Yuno selalu bergetar. Dan itu sering kali terlihat oleh dokter Smith, makanya beliau sebisa mungkin menenangkan Yuno.
“Fibrilasi ventrikular kekuatan 200 joule!!” teriak dokter Smith, sembari fokus pada pasien beliau juga melirik Yuno yang tampak berkeringat, Yuno sudah mulai enggak fokus menurutnya.
“YUNO PERIKSA DENYUT NADINYA!!”
Karena mendengar bentakan dari dokter Smith, Yuno jadi sadar, dia buru-buru periksa denyut nadi pasien yang sampai sekarang belum terasa.
“Enggak ada, dok.”
“Sudah berapa lama, Yuno?”
Yuno kembali memeriksa arloji nya dan menghitung sudah berapa lama pasien mengalami henti jantung. “Tiga menit tiga puluh detik, dok.”
Tidak lama kemudian datang dokter bedah lain yang juga turut andil menangani pasien yang dokter Smith tangani.
“Ada apa ini?”
“Demam dan dispenea, mengalami henti jantung kemungkinan besar miokarditis. Bisa bertahan dengan ECMO, kalau habiskan waktu lebih lama dia bisa mengalami mati otak, bangkitkan jantung setelah mati otak itu tindakan yang sia-sia. Yuno, ambilkan ECMO!” ucap dokter Smith.
“Jangan gegabah! kita tunggu dokter Laura dulu, Smith. Ini bukan bagianmu!”
“YUNO CEPAT AMBILKAN!!”
Yuno bingung, dia disini hanya dokter koas tapi rasanya beban nya juga lebih berat. Namun karena dokter Smith sudah berteriak menyuruhnya, mau enggak mau Yuno menuruti perintah itu. Hari itu rasanya berjalan panjang sekali bagi Yuno tapi setelahnya dia juga bisa tersenyum bahagia setelah mengetahui pasien yang di tolong dokter Smith selamat, tindakanya dalam mengambil ECMO enggak salah.
Setelah sampai apartemen, Yuno telfon Ara. Dia rasa dengar suara Istrinya itu bisa lebih menenangkan pikirannya saat ini dan hatinya yang rasanya gusar itu. Kadang Yuno bertanya-tanya, apa dia bisa jadi dokter yang bak nantinya?
“Mas, lagi apa?” Ara senyum di sebrang sana, Ara udah rebahan di ranjang nya dengan lampu kamar nya yang sudah temaram. Hari ini Ara pulang ke rumahnya, Bunda bilang kalau kangen sama Ara.
“Baru sampai apart, sayang.” Yuno duduk di sofa, bersandar sembari mengusap wajahnya dengan gusar, wajahnya lelah namun ia tetap tersenyum melihat istrinya dilayar ponsel.
“Mas bersih-bersih dulu gih, habis itu makan.“
“Masih mau liatin muka kamu, kangen.”
Ara terkekeh, dia mengusap layar ponselnya yang menampakan wajah Yuno itu. Dia juga kangen banget sama Yuno, rasanya kalau Jakarta ke Heidelberg itu dekat kayanya Ara gak keberatan kalau dia yang harus nyamperin Yuno.
“Mas, capek yah?“
“Banget.”
“nanti kalau aku ke sana, aku pijitin yah? Aku buatin teh manis juga.“
“Kapan tuh?” tanya Yuno meledek.
“besok yah? Sekarang udah malam disini.“
Kedua nya terkekeh pelan, setiap hari yang di lakukan Ara sama Yuno kalau kangen cuma face time kaya gini. Kadang Yuno ngerasa bersalah, di saat-saat seperti ini harus nya ia yang selalu ada buat Ara. Tapi Yuno juga sangat bersyukur karena Ara sangat amat pengertian padanya.
“Sayang?”
“ya, Mas?“
“Kata Papa hari ini periksa yah? Apa kata dokter nya?”
Ara baru ingat kalau dia ke dokter obgyn yang baru, ya, karna obgyn lama nya itu di Bandung. Papa juga menyarankan Ara buat periksa di rumah sakit miliknya aja, tapi Ara baru ingat kalau dokter yang memeriksa nya ternyata senior Yuno di kampus.
Namanya doktee Bagas, beliau sendiri yang bercerita dengan Ara kalau mengenal Yuno dengan baik di kampus.
“baik, anak kita sehat kok. Tapi tensi aku agak tinggi, Mas.“
Mendengar itu Yuno jadi khawatir, dia tau kalau tekanan darah tinggi untuk Ibu hamil itu bahaya banget. Dan seingat Yuno, Ara itu sebelum hamil enggak punya riwayat hypertensi malahan dia termasuk ke golongan yang tensi nya rendah.
“Loh, kenapa sayang? Kecapekan kah? Apa tugas di kampus bikin kamu jadi kepikiran?” Yuno cuma takut aja kalau Ara yang bolak balik ke Bandung tiap ada kelas itu jadi mempengaruhi kesehatannya.
“kayanya banyak pikiran, Mas. Apa aku kangenin kamu terus yah?“
“Sayang..” kedua bahu Yuno merosot. “Jangan gitu dong, aku jadi gak tenang disini.”
“maaf yah, Mas.“
“Kamu masih yoga?”
“masih, Mas.“
“Lanjutin aja yah, makan buah naga, pisang, semangka biar tensi nya cepat stabil lagi.”
Ara mengangguk. “Mas Yuno?“
“Ya, sayang?”
“dokter obgyn aku tuh ternyata senior kamu di kampus loh, Mas. Dia belum lama di rumah sakit.“
Dahi Yuno berkerut, dia jadi kepikiran siapa senior nya di kampus yang sekarang menjadi dokter istrinya itu sekaligus praktik di rumah sakit Papa nya. Selama ini Yuno enggak dekat-dekat banget sama senior nya di kampus, bahkan yang sesama orang Indonesia sekalipun.
“nama nya dokter Bagas, Mas kenal kan?“
“Bagas?” gumam Yuno.