Jarak (6)
Ibu dan Andra baru saja pulang setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, tadinya Ibu ingin menemani Julian di kamar rawatnya, tapi Julian nyuruh Ibu buat pulang aja karena Ibu masih punya tanggung jawab sama catering, apalagi sedang banyak orderan masuk yang harus Ibu handle sendiri karena Julian sakit.
Sementara Andra setelah mengantar Ibu, bocah itu harus ke kampus. Tapi Andra janji buat nemenin Abang nya itu malam nanti kok, ya Julian juga enggak masalah gak di temanin sebenarnya kalau saja kakinya tidak di gips.
Setelah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Julian sempat naik kereta untuk sampai Jakarta, setelah itu ia berniat ingin naik bus untuk sampai rumahnya. Namun sial nya hari itu justru Julian di serempet mobil, untung saja orang yang menyerempet Julian tanggung jawab dan bawa Julian ke rumah sakit.
Sedang asik melihat chat yang masuk dari teman-teman Mapala nya di kampus dulu, tidak lama kemudian pintu ruang rawatnya terbuka. Julian pikir tadinya itu perawat atau staff yang akan membawakan makan siang untuknya, ternyata itu adalah Echa temannya. Echa datang sendiri, membawa keranjang buah dan kantung dari mini market yang ada di tangan kanan nya.
“Cha, gue pikir siapa.” Julian nyengir, dia gak bisa banyak gerak karena kaki nya masih nyeri dan gips yang menghalanginya untuk bergerak lebih leluasa.
“Gimana kondisi lo? Gue kaget banget sumpah pas lo bilang di serempet mobil.” Echa duduk di kursi yang ada di samping ranjang Julian setelah dia naruh keranjang buah dan kantung dari minimarket berisi cemilan untuk temannya itu.
“Ada patah tulang, ya enggak parah amat sih. Cuma ya tetap harus di gips, by the way, thanks ya, Cha. Udah jengukin gue.” Julian juga enggak sengaja ngabarin Echa karena tadinya dia mau ketemuan sama cewek itu setelah balik dari Lombok, ya siapa sangka justru mereka bertemu di rumah sakit seperti ini.
“Patah tulang, lo bilang enggak parah,” Echa menggeleng. “Dasar sinting!!”
Julian cuma terkekeh aja, merhatiin kakinya yang lagi di gips itu. Rasanya masih aneh karena terasa kaku banget, dan Julian belum terbiasa sama hal itu.
“Gimana kemarin di Rinjani, bagus gak view nya?”
“Gak usah di tanya kalau itu sih, enggak pernah mengecewakan. Gak salah gue nguras tabungan dari jaman kuliah cuma buat ke sana.” Gunung Rinjani emang jadi salah satu impian buat Julian, sayang aja letaknya di Lombok yang jauh membuat Julian harus nabung lebih lama buat sampai ke puncaknya.
“Kapan-kapan mau dong gue hiking, ajak Juna juga yah. Tapi jangan ke Gunung yang susah-susah gue masih pemula nih.” Echa sebenernya cuma penasaran aja, hal menarik apa sih yang bikin Julian senang banget mendaki. Setahu Echa mendaki itu selain membutuhkan uang yang cukup, ya butuh stamina juga, karna pasti nguras energi banget kan. Kalau sudah sampai di puncaknya apa yang di rasain? Kaya apa sih pemandangannya sampai bikin Julian ketagihan.
“Boleh, ke Gunung Pangrango aja yang deket yah.” Echa cuma mengangguk kecil, kemudian Julian jadi ingat sesuatu, ternyata Echa balikan sama Juna? Apa ia tidak salah dengar barusan?
“by the way, Cha. Lo bilang sama siapa tadi? Juna? Juna mana?” lanjutnya.
“Ck, Juna masa lo gak kenal sih. Juna mantan gue loh, Jul.” Echa berusaha mengingatkan Julian sama Juna sepupunya Tara itu.
Julian mengerutkan keningnya bingung, maksudnya Juna mantannya dulu yang hampir mencelakakan Echa? Yang benar saja, pikir Julian.
“Maksudnya Juna yang Adik sepupunya Tara itu?”
Echa mengangguk, “yup. Lo pasti kaget yah, Jul. Kenapa gue bisa balik sama Juna?” tebak Echa, kelihatan banget dari raut wajah Julian kalau cowok itu penasaran sekaligus bingung kenapa Echa tiba-tiba bisa kembali sama Juna setelah putus sama Janu.
“Ya gimana enggak, itu cowok kan hampir mau celakain lo karna di suruh sama Kakak sepupunya yang gila itu, Kok lo mau sih balikan sama dia?” Julian heran aja apa yang bikin Echa sampai mau kembali sama Juna, bagaimana kalau kali ini Juna juga berniat jahat demi membalaskan dendam Kakak sepupunya itu.
“Juna emang Adik sepupunya Tara, Jul. Dia juga pernah setuju buat nyelakain gue, tapi pas gue balik ke Jakarta. Gue ketemu dia lagi dan dia jelasin semuanya kalau dia yang nentang habis-habisan rencana Tara setelah dia pacaran sama gue, Juna tuh ternyata udah sayang sama gue, Jul.”
Waktu itu Juna memang sudah jatuh cinta sama Echa, semua rencana nya bersama Tara untuk nyelakain Echa buyar. Yang ada di kepala Juna waktu itu cuma mikir gimana caranya lindungin Echa dari semua rencana-rencana Tara, Juna bahkan rela di pukulin Tara karena dia ngotot gak mau jalanin rencana yang udah Tara buat.
“Terus?” tanya Julian.
“Dia sempet di pukulin Tara karena udah membelok dan malah mau lindungin gue dari Tara, tapi waktu itu keburu semua nya kebongkar karena gue nyari tau sendiri tentang Juna karena kecurigaan lo waktu itu, salahnya, Gue enggak pernah kasih kesempatan buat Juna jelasin semuanya,” jelas Echa panjang lebar.
“Terus sekarang lo balikan sama dia?”
Echa mengangguk. “Dia yang nemenin gue waktu gue masih sakit hati banget gara-gara Janu, Jul.”
Julian menghela nafasnya pelan, kadang dia mikir Echa ini terlalu naif. Tapi biarlah kalau itu jadi keputusannya, toh Echa pasti sudah mempertimbangkan ini semua. dia yang paling paham resiko nya apa kalau udah berurusan sama Tara, dan Julian cuma bisa berharap kalau Juna benar-benar gak ada niatan jahat sama temannya itu.
“Jul?” panggil Echa, yang ngebuat Julian menoleh ke arahnya. “Lo ke Rinjani bukan buat lari dari masalah kan?”
apa dia bilang?
“Ibu lo tuh cerita ke gue, lo sering pergi-pergi kaya gini sejak balik dari Bandung. Lo kaya gini karna Ara kan?” tanya Echa to the point.
Seingatnya, dulu Julian sempat berhenti mendaki saat ia membawa Ara ke Sumeru. Iya, waktu itu Ara kena hipotermia hebat sampai harus di bawa turun sama tim penyelamat. Dan sejak itu, Julian enggak pernah mendaki lagi.
“Enggak, Cha.”
“Jujur aja deh, Jul. Udah lah, lo mending fokus sama diri lo sendiri aja. Ara aja gak perduli kan liat lo sakit kaya gini, padahal waktu nolak lo, dia bilang kalau dia sayang sama lo sebagai temannya. Terus anak-anak yang lain juga kemana? Chaka, Janu, Gita, Kevin? Mereka kemana gak jenguk lo? Bahkan Ara tuh lagi di Jakarta loh.”
Waktu menyebutkan nama Ara, Julian menoleh. Namun setelahnya cowok itu kembali membuang pandanganya ke arah jendela kamar rawatnya. Teman-temannya bukan enggak mau jenguk Julian, tapi Julian sendiri lah yang memang enggak mengabari mereka apa-apa.
“Gue gak ngabarin anak-anak, Cha. Bukan salah mereka kok. Lagian ini bukan luka yang serius juga.”
“Terus mereka gak nanya kabar lo? Gak nanya lo kenapa tiba-tiba pindah ke Jakarta dadakan?” cecar Echa.
“Nanya, Cha. Gue cuma bilang gue udah dapat kerjaan disini.”
Echa menghela nafasnya pelan, dia mengusap wajahnya frustasi. Gak tega liat Julian yang jadi lebih diam setelah tahu Ara menikah sama Yuno, Echa tau banget gimana perjuangan Julian buat dekat sama Ara, termasuk bantu cewek itu lupain rasa sakitnya karena putus dari Yuno dulu.
Menurut Echa perjuangan Julian buat bikin Ara bahagia itu lebih besar ketimbang Yuno, tapi Ara justru milih Yuno yang lebih banyak nyakitin dia.
“Jul, udah lah. Lupain Ara aja, lo tuh baik. Lo bisa dapetin cewek yang lebih baik dari pada Ara. Ara tuh kayanya emang cuma manfaatin elo aja biar bisa balikan sama Kak Yuno.”
Echa ngerasanya begitu, setelah putus dari Yuno. Ara memang dekat banget sama Julian, kemana-mana selalu berdua selain memang mereka satu fakultas. Semua sikap Ara ke Julian menurut Echa kaya ngasih signal kalau Ara juga punya perasaan yang sama ke Julian.
Tapi begitu Julian nyatain perasaanya, Ara justru nolak Julian dan bilang kalau dia sayang Julian sebagai temanya, gak lama kemudian Echa dengar kalau Ara sama Yuno balikan dan 3 bulan kemudian mereka justru memutuskan untuk menikah. Gimana Julian enggak sakit coba, Echa sebagai temannya kan enggak terima ya walau Ara juga sama-sama temannya.
“Ara gak kaya gitu, Cha.” Julian yakin banget Ara enggak sejahat itu, toh sampai sekarang Ara masih perduli sama Julian dengan nanya kabarnya, hanya saja Julian yang memang terang-terangan menjauhinya.
“Enggak kaya gitu gimana? Gelagatnya jelas kok, lo tuh jangan polos-polos banget kenapa sih, Jul. Kan gue yang kenal Ara lebih dulu, sebelum elo. Ara juga pernah lakuin hal yang sama ke Kak Ido. Kakak kelas kami, Ara tuh enggak sebaik yang lo kira.”
Semua ucapan Echa berkecamuk di kepala Julian, bercampur dengan rasa nyeri di kakinya saat ini. Benarkah Ara seperti itu? Tapi Julian yakin Ara enggak sejahat yang Echa bilang. Echa memang kenal Ara lebih dulu, tapi apa dia benar-benar mengenal Ara sampai bisa berasumsi seperti itu? Pikir Julian.
“Jauhin aja Ara, Jul. Lo fokus aja buka kehidupan baru lo disini. Nanti gue kenalin sama temen gue ya, kebetulan dia lagi nyari karyawan buat perusahaan baru nya. Nanti gue bisa rekomendasiin lo sama dia, lo harus punya kesibukan biar bisa cepet lupain Ara.”