Jujur (9)

Hari ini Yuno dan Ara sudah kembali ke Bandung, besok Yuno harus sudah berangkat ke Jerman kembali untuk menyelesaikan studi nya di sana. Setelah selesai merapihkan barang bawaan yang akan Yuno bawa besok ke Jerman, Ara duduk di ranjangnya. Perasaanya bercampur aduk kembali, jujur saja ada perasaan sedih setiap kali melepas Yuno kembali ke Jerman.

Itu artinya dia akan sendirian lagi, hanya akan bertukar kabar lewat ponsel dan akan lebih sering melalukan banyak hal sendirian. Sedang asik melamun sembari memperhatikan 2 koper Yuno yang akan di bawa besok, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. Yuno baru saja selesai mandi, masih pakai handuk yang hanya melilit tubuh bagian bawahnya saja.

“Udah selesai yah, sayang?” tanyanya begitu ia masuk.

“Um.” gumam Ara. “Besok subuh, makanannya tinggal aku masukin ke tas terpisah aja.”

Yuno mengangguk, dia jadi ingat sesuatu. Seingatnya Ara sempat bilang mau bercerita sesuatu padanya waktu mereka sedang di Jakarta kan, pikir Yuno. Sebelum memakai baju, Yuno berjongkok di depan istrinya itu yang sedang duduk di ranjang mereka.

“Seingat aku waktu di rumah Mama, ada yang mau kamu ceritain ke aku ya? Mau cerita apa sih?” tanya Yuno.

“Iya, mau cerita, tapi Mas pakai baju dulu.” Ara cuma gerogi aja liat Yuno telanjang dada gini apalagi cuma pakai handuk, meski sudah hampir sebulan menikah gak tau kenapa rasanya masih malu kalau lihat Yuno telanjang dada gini.

“Masih malu?” Yuno menaikan sebelah alisnya menggoda. “Sayang kan kita—”

“Pakai baju aja ih nanti masuk angin!” rengek Ara, wajahnya sedikit memerah karena menahan malu.

“Yaudah, sebentar yah. Aku pakai baju dulu.”

Karena Ara udah mengeluarkan jurus merajuk nya, mau enggak mau Yuno akhirnya pakai baju juga. Dia cuma pakai kaos putih polos sama celana pendek sedengkul aja kok, dan sedikit menyisir rambutnya yang masih setengah basah itu. Dan setelah itu Yuno kembali duduk di sebelah Ara.

Oh iya handuk yang bekas di pakai dia langsung taro, soalnya Ara duduk di ranjang dn langsung ingetin dia sama gantung handuk jadi enggak ada deh drama-drama naruh handuk basah di kasur lagi.

“Udah nih,” ucapnya.

“Mas?”

“Ya sayangku?”

Ara menarik nafasnya pelan, “mungkin cerita aku ini bikin kamu sedikit enggak nyaman. Tapi aku harap kamu enggak marah ya.”

“Tentang apa sih?” Yuno jadi makin penasaran sama apa yang mau istrinya itu ceritain, apalagi suasana kerasa sedikit tegang. TV di kamar mereka memang menyala, namun tidak di beri suara jadi hanya ada suara pendingin ruangan di kamar mereka saja.

“Tentang temen aku.”

“Siapa, hm?”

“Ka..kamu tau Ijul kan, Mas?”

Yuno mengangguk, “tau kok, Kenapa?”

“Waktu kita belum balikan, lebih tepatnya waktu aku baru pindah ke Bandung. Aku lumayan dekat sama Ijul, kita emang satu jurusan waktu itu. Ijul itu baik banget ke aku, Mas. Sering bantuin aku juga, apalagi waktu asma aku kambuh.” Ara mau ceritain semuanya dari awal dia kenal Julian, dia enggak mau ada yang dia rahasiain lagi dari Yuno. Toh, ia dan Julian memang hanya berteman kan.

“Aku enggak paham semua sikap baik dia ke aku juga salah satu isyarat kalau dia suka sama aku lebih dari teman, Mas. Sampai akhirnya sebulan sebelum kita balikan, Julian nembak aku.”

Yuno agak kaget, meski dari awal Ara cerita soal Julian dia udah menebak-nebak dalam hati seperti apa hubungan istrinya itu dengan temannya dulu, apalagi jika di tarik benang merahnya ke hari pernikahan mereka yang tidak di hadiri Julian, sepertinya sudah cukup membuktikan jika memang ada yang salah di hubungan pertemanan mereka.

“Nembak kamu?” tanya Yuno.

Ara mengangguk, “aku nolak dia baik-baik, aku jujur ke dia kalau aku cuma anggap dia sebagai sahabat aku aja dan gak lebih. Dan aku jujur, bilang ke dia kalau aku masih nunggu kamu. Sejak itu dia bilang dia ngerti dan menghargai keputusan aku. Awal mula nya kita masih baik-baik aja, sampai akhirnya Julian tau kita balikan. Disitu dia mulai jauhin aku.”

Yuno menarik nafasnya pelan, jujur saja. Walau Ara bilang dia enggak punya perasaan apapun sama Julian, Yuno sedikit cemburu. Ya walau begitu, Yuno mengenyampingkan rasa cemburunya itu. Biar bagaimana pun Ara sudah mau jujur.

“Sampai masalah besar nya itu kemarin. Aku tau Julian kecelakaan dari Echa, Julian emang enggak ngabarin apa-apa lagi bahkan bukan sama aku aja, tapi sama anak-anak yang lain juga. Tapi Echa bilang kalo wajar Julian enggak cerita apa-apa lagi sama aku karena aku udah nyakitin dia, Echa juga bilang kalau aku gak pernah minta maaf dan gak perduli sama perasaanya Julian.”

Waktu Ara cerita soal Echa, Yuno lumayan kaget rasanya. Setahunya Echa dan Ara itu teman dekat sejak mereka SMA, tapi kenapa Echa bisa ngomong sekasar itu sama Ara?

“Menurut, Mas. Aku benar-benar salah yah? Aku harus minta maaf kaya gimana sama Julian?” tanya Ara pada akhirnya.

Yuno menggeleng pelan, “menurut aku, kamu enggak salah apa-apa kok, bukan salah kamu Ijul enggak cerita apa-apa. Aku juga enggak nyalahin sikap dia yang mungkin kaya menjauh, yah mungkin dia emang sakit. Tapi itu bukan salah kamu juga, enggak ada yang salah disini, sayang”

“Ijul udah bilang menghargai keputusan kamu kan, aku pikir dia menjauh itu cuma butuh waktu aja, sayang. Dan rasa bersalah kamu itu mungkin muncul karena kamu ngerasa udah nolak dia.”

Yuno pikir memang gitu, Julian cuma butuh waktu sampai dia bisa benar-benar lapang dada menerima penolakan dari Ara, dan perasaan bersalah Istrinya itu muncul karena dia memang sudah menolak Julian yang selama ini baik dengannya, bukan karena Ara benar-benar membuat kesalahan. Lagi pula sudah konsekuensinya bukan kalau berani menyatakan perasaan, Ijul juga harus berani mendapatkan jawaban penolakan.

“Beneran, Mas?” tanya Ara lagi.

“Iya,” Yuno senyum, membawa kepala Istrinya itu ke bahunya. “Yang penting waktu kamu mutusin buat tetap temanan aja sama Ijul tuh ngomong nya baik-baik kan?”

“Um,” Ara mengangguk.

“Masih ada yang mau di ceritain lagi gak?”

Ara menggeleng, “makasih yah, Mas.

“Tapi sayang, aku mau tanya deh.”

Ara menarik kepalanya dari bahu Yuno, dia natap Suaminya itu. “Tanya apa?”

“Kok Echa bisa ngomong kaya gitu ke kamu? Maksud aku, kamu sama dia kan deket banget, kok dia bisa kasar banget ke kamu kaya gitu?”

“Aku juga gak tau salah aku apa, aku gak ngerasa bikin kesalahan apa-apa sama Echa, tapi semenjak dia putus sama Janu dan keluar dari kosan. Hubungan Echa sama aku juga merenggang, Mas. Aku sama Echa udah enggak sedekat waktu SMA.”

Yuno senyum, mengusap pucuk kepala Istrinya itu. Ternyata memang ada yang salah sama Echa menurutnya. “Yaudah, jangan di pikirin lagi yah kata-kata dia.”


Setelah sebulan berada di Indonesia, hari ini Yuno harus kembali ke Jerman. Hari ini juga Yuno di antar sama Ara ke Bandara, ada Yuda dan Ola juga ikut mengantar Yuno sekaligus nemenin Ara pulang nantinya. Mama atau pun Papa nya enggak bisa ikut mengantar Yuno hari ini, Papa sedang dinas di luar kota sedangkan Papa ada jadwal praktik hari ini yang tidak bisa di ganti hari lain.

Jadi terpaksa yang mengantarnya hanya Ara saja, tapi biarpun begitu Yuno ngerasa sudah cukup kok. Saat sedang menunggu boarding di ruang tunggu yang di lakukan Ara dan Yuno hanya memperhatikan Yuda dan Ola yang sedang mengajak anak mereka bermain.

Sesekali Yuno senyum, keponakan Ara itu lucu banget. Mukanya lebih mirip Ola dari pada Yuda, malahan Yuda kaya enggak kebagian apa-apa padahal dia Bapaknya.

“Aku gak nyangka Yuda kalo lagi sama anaknya bisa kebapakan banget,” Yuno senyum, dia temenan sama Yuda udah dari SMA walau Yuda itu kakak kelasnya. Yuno juga paham banget gimana begajulan nya Yuda sampai kelakuan konyol cowok itu, yang bikin Yuno kagum sekarang adalah Yuda benar-benar menjadi Suami dan Ayah yang baik seperti sekarang.

“Kamu nih, Yuda Yuda aja.” Ara nyenggol lengan Suaminya itu, tapi dia juga terkekeh. Enggak marah kok, cuma ingetin aja kalo sekarang Yuda itu udah jadi iparnya.

“Lidah aku mendadak kaku banget tau, sayang. Kalo manggil Yuda pake sebutan Mas Yuda. Masih beradaptasi kayanya.” Yuno bergidik geli, dia manggil Yuda pakai sebutan 'Mas' itu kalau cuma di depan mertua nya aja. Di depan Ola pun manggilnya pakai nama aja, untung Ola orangnya santai aja menanggapi hal itu.

“Tapi iya tau, Mas. Mas Yuda tuh semenjak ketemu Mbak Ola beneran berubah, yah masih nyebelin sih. Tapi dia udah gak keras kepala lagi, sama kalau di marahin Papa nih dia udah gak pernah ngelawan lagi.”

“Oh, ya?” Yuno menoleh dan Ara mengangguk. “Hebat juga yah Mbak Ola ngejinakinya.”

“Terus pas Mbak Ola hamil juga dia siaga banget, pas Mbak Ola melahirkan bukan Mbak Ola yang nangis, tapi Mas Yuda. Katanya mending dia aja yang kesakitan asalkan Mbak Ola enggak,” Ara terkekeh, inget banget gimana cara Yuda nangisin istrinya itu waktu melahirkan, padahal Ola sendiri gak nangis sama sekali, apalagi waktu itu proses melahirkannya secara caesar jadi Ola enggak mengejan sama sekali.

“Serius?” Yuno malah ketawa ngakak banget pas Istrinya itu nyeritain gimana khawatirnya Yuda. “Aduh, sayang. Aku jadi ketawa banget bayangin Yuda nangis.”

Melihat Yuno yang ketawa begitu bikin Yuda jadi kepo, dia jadi menghampiri adik ipar nya itu. “Dik Yuno ngetawain apa nih?”

“Yud, geli ah.” Kata Yuno di sela-sela ketawanya.

“Ini loh, Mas Yud. Mas Yuno ketawa gara-gara aku ceritain soal Mas Yuda yang nangis waktu Mbak Ola melahirkan,” jelas Ara.

“Yang nangisnya jelek banget itu yah, Ra? Sampe ingus nya keluar, astagaa jelek banget kalo inget.” Ola juga akhirnya menghampiri mereka dan duduk tidak jauh dari tempat Ara dan Yuno.

“Mas Yuda emang jelek.”

“Dih, sembarangan. Tapi emang yah, waktu itu tuh gue nangis karna khawatir sama enggak tega aja liat badan bini gue sendiri harus di sayat demi ngeluarin anak gue, keinget perjuangan dia selama 9 bulan 10 hari. Belum lagi badan dia yang berubah banget karena harus hamil, makanya gue sedih.” jelas Yuda.

Selama Ola hamil, Yuda tahu banget apa saja yang di rasakan Ola, susahnya membawa dua anaknya dan banyak sekali yang berubah dari tubuh Istrinya itu. Yang Yuda sendiri tahu itu enggak mudah, dan setelah itu Yuda jadi sadar kalau jadi Ibu itu enggak mudah. Selain melihat perjuangan Istrinya, Yuda juga jadi keinget sama Bunda. Apalagi Yuda lumayan nakal dulu dan sering bikin Bunda dan Papa nya pusing ngurusinnya.

“Nanti kalau bini lo hamil juga lo bakalan tau deh, No. Kaya pas awal-awal nikah, gue sama Ola sering banget ribut, sering banget gue gak mau ngalah sama dia. Tapi pas udah punya anak, gue lebih milih banyak ngalah buat mereka. Soalnya bini gue udah ngorbanin banyak hal.”

Bukan hanya Ola saja yang terharu mendengar penjelasan Yuda itu, tapi Ara dan Yuno juga. Terutama Yuno, dia yang tadinya ketawa-ketawa bayangin Yuda nangis. Jadi mikir gimana kalau nanti Ara hamil tapi enggak ada dia di sampingnya?

Tidak lama kemudian ada pengumuman waktu keberangkatan pesawat Yuno hampir tiba, gate juga sudah di buka dan sekarang waktunya Yuno berpamitan pada Iparnya itu dan terakhir sama Ara, mereka pelukan cukup lama, Untungnya Yuda dan Ola sempat jalan duluan, mereka paham harus memberi space untuk Yuno dan Ara.

“Aku pergi yah?” bisik Yuno setelah ia melepaskan pelukannya itu.

“Um, hati-hati ya, Mas.” Ara ngulum bibirnya sendiri, matanya udah panas banget bersiap untuk menangis.

“Kamu kabarin aku terus yah. Aku janji bakalan selesain ini semua secepat mungkin.”

Ara ngangguk, dia gak mau ngomong karena rasanya benar-benar kepengen nangis. Matanya juga udah berkaca-kaca banget waktu natap Yuno, dan sebelum Yuno pergi, Cowok itu nangkup wajah Istrinya sebentar untuk ia beri kecupan di bibir ranum itu.

Ara enggak balas apa-apa, dia cuma menikmati kecupan yang di berikan Yuno untuknya. Setelah puas mengecup istrinya itu, Yuno barulah pergi memasuki gate meninggalkan Ara yang masih terus melihat punggungnya menjauh sampai akhirnya menghilang di balik dinding berlapis kaca itu.