Keputusan (33)
Setelah membereskan semua barang-barangnya, Bianca memastikan kondisi kosan yang belum genap ia tempati sebulan itu sudah seperti semula saat ingin ia tempati. Beberapa hari ini Bianca memang terpuruk sekali, selain Ibu kost yang sudah tahu soal dirinya di internet. Sebagian anak kost lain juga sudah tahu.
Gak jarang mereka ngomongin Bianca di depan pintu kosan Bianca langsung, Bianca gak berani keluar. Kadang mengambil makanan dari layanan pesan antar yang ia pesan pun ia harus memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitar depan pintu kosannya.
Selama itu juga Bianca mikir kalau dia enggak bisa hidup seperti ini terus, sampai akhirnya nama Ibu panti nya terlintas di kepala Bianca. Bianca akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi panti asuhannya lagi, bahkan gak menyangka kalau Ibu panti nya akan dengan senang hati menerima Bianca tinggal di sana untuk mengurus panti.
Besok Bianca akan pergi meninggalkan Jakarta, dia akan kembali ke kota tempat ia lahir dan di besarkan, Salatiga. Mungkin di sana Bianca bisa sembunyi sebentar sampai dunia mulai melupakan dirinya. Hari ini, Bianca juga memberanikan diri untuk bertemu dengan pria yang mengaku Ayah kandungnya itu.
Meski Bianca sendiri masih bingung dengan semuanya, tapi dia pikir dia enggak bisa terus menerus menghindari pria itu. Pria itu sudah mau datang dan memberikan penjelasan atas kebingungan Bianca, maka ia juga enggak bisa pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan dan berpamitan.
“Udah rapih semua.” Bianca senyum, dia juga ninggalin beberapa barang yang enggak mungkin dia bawa.
Setelah semuanya sudah rapih, Bianca pergi ke tempat ia dan pria itu bertemu. Bianca pikir ia yang terlambat datang dari jam yang sudah mereka sepakati, ternyata pria itu datang lebih dulu dari pada dirinya.
“Siang, Om.” sapa Bianca canggung, lidahnya masih keluh walau beberapa kali pria itu memintanya memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa.' ah, sebutan itu masih terlalu asing. Bianca enggak pernah manggil orang lain dengan sebutan Papa.
“Siang, Bianca. Duduk, kamu sudah makan siang?” tanyanya. Suaranya selalu terdengar ramah di telinga Bianca.
“Belum, Om.”
“Makan yah, Papa juga belum makan siang.”
Bianca mengangguk, dia dan pria itu memesan beberapa makanan untuk makan siang. Bianca memang belum makan, dan hari ini rasanya dia cukup menikmati menu makan siang nya setelah kemarin dia hanya pesan makanan siap saji.
“Saya senang kamu mau bertemu saya Bianca.” pria itu tersenyum, matanya berbinar. Benar-benar menggambarkan jika ia bahagia bisa melihat Bianca lagi setelah berhari-hari anaknya itu hindari.
“Sebenarnya ada yang mau saya omongin sama Om.”
“Mau ngomong apa?”
Bianca menaruh sendok dan garpunya di atas piring miliknya, kebetulan dia juga sudah selesai makan. Ia mengulum bibirnya sendiri, mungkin ini akan terdengar mengecewakan untuk pria di depannya itu. Ah, kenapa rasanya Bianca jadi enggak sanggup buat menyakiti pria di depannya itu. Dia gak mau tatapan berbinar hangat itu hilang setelah ia mengatakan hal ini.
Bianca jadi ingat, beliau pernah bilang ingin menebus waktu-waktu yang telah ia telantarkan selama ini. Ia ingin mengenal Bianca lebih banyak, berbicara lebih banyak, dan menghabiskan waktu lebih banyak. Tapi justru sekarang Bianca memilih menjauh lagi.
“Bianca?” panggilnya karena Bianca diam saja.
“Om?”
“Ya?”
“Saya mau pulang ke Salatiga. Mungkin saya akan tinggal di sana, di panti tempat saya tinggal.” Bianca memberanikan diri untuk melihat wajah pria itu, benar kan. Senyuman itu pudar di gantikan wajah bingungnya.
“ada apa, Bianca?”
“Saya di usir dari kosan, saya enggak tahu mau kemana lagi. Saya juga ngerasa bisa aman kalau saya pulang ke panti.”
“Kamu punya rumah, Bianca. Ikut pulang ke rumah Papa.” pria di depannya itu baru berani mengajak Bianca untuk tinggal di rumahnya setelah Istrinya itu meninggal, soal Damian? Ah, laki-laki brengsek yang menjadi Kakak dari Bianca itu sudah tidak ada lagi. Dia sudah tinggal di luar negeri bersama istrinya setelah menyepakati untuk mengelola bisnis keluarga di sana.
“Saya mau menyembuhkan luka saya dulu, Om. Jujur aja, ini semua bikin saya bingung. Saya masih belum bisa terima semua kenyataan yang terlalu tiba-tiba ini.”
Ini memang sulit buat Bianca, meski enggak bisa di pungkiri kalau dia sendiri memiliki sedikit rasa bahagia karena telah mengetahui asal usulnya. Tapi tetap saja merasakan hari-hari biasa yang ia jalani, tiba-tiba seorang pria datang mengaku sebagai Ayahnya selama ini. Bianca masih sering bingung dan mempertanyakan ini mimpi atau bukan.
“Maafin Papa yah, Bianca.” pria itu menunduk, enggak ada hari dimana dia merasa tidak menyesal atas semua perbuatannya pada putrinya itu.
“Saya enggak nyalahin Om kok, selain tahu kalau saya punya keluarga. Ada masalah yang bikin saya memang harus pergi.”
Melihat pria di depannya merasa bersalah, Bianca jadi enggak enak. Hati nya merasa sakit juga, apakah ini yang di sebut ikatan batin antara Ayah dan putrinya? Pikir Bianca.
“Ada yang bisa Papa bantu, Bi? Papa bisa bantu Bianca.”
Bianca mengalihkan pandanganya ke arah lain, mendengarnya menyebut dirinya sendiri Papa membuat hati Bianca terenyuh. Ia ingin memanggil seseorang dengan sebutan Papa dulu, tapi sekarang rasanya lidahnya terlalu keluh untuk menyebutnya.
Kesendirian, sebatang kara itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Bianca. Bahkan dia sudah berdamai dengan itu semua walau Bianca kecil dulu sering merengek menginginkan orang tua.
Bianca hanya menggeleng. “Saya cuma butuh waktu sebentar.”
Pria itu mengangguk, berusaha untuk menghargai keputusan Bianca. Toh ia masih bisa mengunjungi Bianca sesekali ke Salatiga, pria itu juga tahu soal masalah Bianca dengan foto-foto itu, mungkin saja dengan menjauh dari Jakarta. Putrinya itu bisa pelan-pelan menata hidupnya kembali. Ya, ia harap begitu.
“Eh, Ra. Tapi serius loh Kak Yuno perfect husband banget. Lo ngidam minta beliin tiket konsernya NCT127 langsung di beliin,” ucap Cindy.
Mereka saat ini sedang menuju perjalanan ke Indonesia Arena buat nonton konsernya NCT yang Ara minta sejak 2 bulan yang lalu. Sudah dengan persetujuan Yuno kok, walau Yuno masih suka prengat prengut kalau Ara lagi bahas soal konser apalagi lagi bahas Jaehyun.
“Itu juga gue harus ngerayu-rayu manja-manja dulu ke dia, Cin. Dia tuh cemburuan.” Ara ngolesin tengkuknya pakai minyak angin, kebiasaan banget mabuk darat kalau lagi macet kaya gini. Mana supir taksi online nya bawa mobilnya juga enggak enak, gimana Ara enggak makin mabuk darat coba.
“Cemburu ama siapa?”
“Sama Jaehyun,” gumam Ara.
“Hah? Jaehyun? Mmmpp,” Cindy nahan ketawanya, karena lucu aja seorang Aryuno bisa cemburu sama cowok yang gak mungkin bisa di gapai sama Ara, Jaehyun tau Ara hidup juga enggak. Kalau sama cowok-cowok yang berada di sekitar Ara sih yah wajar-wajar aja menurutnya.
“Iyaaa, aneh kan. Sensi banget dia tuh.” Ara masih inget banget gimana muka Yuno waktu mereka lagi face time dan Ara nunjukin slogan Jaehyun yang baru dia beli buat konser.
“Tapi yah, Ra. Kalau kata lo gantengan Kak Yuno atau Jaehyun?”
Cindy ini emang aneh banget, masa bikin pertanyaan kaya gitu? Ini sih lebih susah dari suruh ngerjain soal kalkulus. Ara mikir sebentar, kalau di lihat sih dua-dua nya ganteng, tinggi dan punya karisma nya sendiri. Apalagi Yuno itu setinggi Jaehyun ya walau sekarang Yuno tuh agak berisi beda sama jaman SMA yang badannya agak kurus buat cowok setinggi 180cm.
“Yah, Jaehyun lah. Tapi Mas Yuno juga ganteng lah, gue kan suka doang sama Jaehyun. Kalo sayang mah tetep sayangan sama Mas Yuno.”
“Yee... Dasar..” Cindy menyenggol bahu Ara.
Sebenarnya dari sebelum berangkat ke venue konser, nafas Ara agak sedikit pendek. Tapi dia tahan karena hari ini konsernya, katakan memang Ara agak sedikit egois kali ini. Dia lebih mentingin konser ketimbang kesehatannya sendiri, tapi ini tuh benar-benar konser impiannya banget. Waktu NCT konser disini, dia masih kuliah dan enggak ada waktu buat sekedar konseran.
Waktu NCT datang lagi di tahun berikutnya, hari itu juga bertepatan sama hari Ara wisuda. Makanya tahun ini tuh dia ngerasa beruntung banget bisa nonton konsernya. Sesampainya di venue, mereka masih nunggu sampai gate nya di buka.
Ara sempat excited banget karena dapat freebies dari fans-fans lain. Ara pikir tadinya dia di suruh bayar, agak malu sebenarnya. Kalau Cindy dia sih udah sering banget konseran berdua sama Kinan kadang juga dia ajak Bintang pacarnya makanya dia udah enggak kaget kalau di kasih freebies, bahkan Cindy juga bawa beberapa freebies yang dia siapin sejak 2 minggu sebelumnya.
“Eh, Ra. Lo kenapa?” tanya Cindy waktu tiba-tiba Ara jongkok.
Ara menggeleng. “Gapapa, Cin.”
“Serius? Lo gak enak badan? Di mobil tadi lo udah pake minyak angin terus jir, gue takut lo kenapa-kenapa. Mana lagi bunting,” oceh Cindy panik, dia beneran khawatir banget Ara kenapa-kenapa. Dia enggak mau di salahin sama Yuno atau keluarganya kalau Ara drop di venue.
“Cin, boleh minta tolong ambilin inhaler gue di tas gak?” Ara ngomong pelan banget karena rasanya napas nya makin susah.
“ASMA LO KAMBUH, RA?” pekik Cindy yang di balas anggukan oleh Ara.
“Cepetan ambilin!!”
Akhirnya Cindy cepat-cepat ambil inhaler milik Ara di tas nya dan bantu Ara buat makai benda itu, Ara menjamin matanya sebentar. Agak sedikit lega walau enggak selega itu, setidaknya dia bisa bernafas sebentar.
“Ra? Pulang aja yuk?” Cindy beneran khawatir banget sama Ara, rasanya dia udah gak perduli lagi kalau tiket nya hangus dan dia gak jadi nonton asal Ara enggak kenapa-kenapa.
“GATE CAT 1 UDAH DI BUKA.”
Staff yang berjaga di gate sudah memberi pengumuman, hal itu juga yang membuat Ara memaksakan dirinya untuk berdiri dan berusaha terlihat baik-baik saja. Walau dalam hati dia merasa bersalah sama bayi nya, Ara yakin kalau dia enggak full make up pasti mukanya udah pucat sekali.
Ara jadi ingat terakhir kali asma nya kambuh itu waktu dia OSPEK di kampus, setelah itu asma nya enggak pernah kambuh lagi.
“Yuk, Cin masuk. Gate nya udah di buka.” Ara narik tangan Cindy buat jalan ke gate nya, nafasnya masih sedikit tersengal-sengal tapi dia paksakan buat terlihat biasa aja. Dia gak mau Cindy maksa dia buat pulang.
“Ra.. Ra balik aja yuk, gue yakin deh lo gak baik-baik aja. Asma lo tuh kambuh, nanti kalau lo kenapa-kenapa gimana?” Cindy nahan tangan Ara buat masuk ke gate.
Ara yang mendengar itu jadi dilema banget, dia ngerasa egois kalau tetap memaksakan masuk. Tapi ini benar-benar konser impiannya, dia juga ngerasa rugi kalau sampai enggak nonton.
“Ra? Lo tuh udah jadi Ibu, lo bukan cuma ngidupin diri lo doang. Ada anak lo juga, ayolah jangan egois. Kita bisa nonton mereka kapan aja, kalo perlu kita samperin ke Korea juga bisa laki lo kan tajir mampus, si Jaehyun suruh ke rumah lo juga bisa nanti.”
Ara mengulum bibirnya sendiri, setelah cukup lama berpikir akhirnya ia mengangguk. Cindy benar, dia enggak boleh egois buat nurutin keinginannya doang tanpa memikirkan anaknya. Karena sesak nya belum kunjung reda, dari venue pun Ara sama Cindy enggak langsung pulang ke rumah Yuno. Cindy antar Ara ke rumah sakit dulu.
Di ruang pemeriksaan, Ara sempat di beri oksigen. Dokter cuma bilang dia kecapean dan memicu asma nya kambuh, dan untungnya enggak ada yang perlu di khawatirkan lagi Ara dan bayi nya enggak kenapa-kenapa.
“Cin, sorry yah. Gara-gara gue lo jadi gak konseran.” Ara ngerasa bersalah banget, dia gak enak sama Cindy karena gara-gara dia sakit Cindy jadi harus rela tiketnya hangus demi bisa nganterin Ara ke rumah sakit.
“Gapapa, Ra. Lagian gue udah sering liat mereka. Yang penting tuh elo gak kenapa-kenapa.”
Ara ngangguk, dia belum ngabarin Yuno. Takut Yuno marah karena tadinya Ara tetap maksa buat konseran. Masalahnya Yuno kalau sudah marah tuh beda banget, muka nya yang full senyum tuh berubah jadi cemberut aja. Belum lagi omongan nya yang beneran tegas banget.