Nama (30)

“Berkas yang ini di foto copy yah, Mbak. Nanti kalau udah di foto copy. Mbak nya ke sini lagi kasihin berkas aslinya, sekalian nanti transfer nya ke nomer rekening ini.”

“Oke, sebentar yah, Mbak.”

Setelah ngomong sama bagian administrasi buat ngajuin cuti kuliahnya, Ara enggak langsung ke tukang foto copy buat copy semua berkasnya. Dia duduk dulu sebentar di gazebo yang dekat sama gedung dekan. Rasanya capek banget, padahal cuma nunggu sebentar dari gedung administrasi ke tukang foto copy an juga enggak jauh.

Ara ke kampus tadi di anter sama Arial, tapi setelah itu Arial pergi ke kantor nya. Mungkin nanti pulangnya Ara bakalan naik taksi online atau nanti dia telfon Chaka, Chaka emang tinggal di Bandung, selain lagi merintis karir nya di sini. Dia juga masih nungguin Niken pacarnya.

Katanya enggak sanggup kalau harus LDR dari Bandung ke Jakarta, oh iya, Chaka juga masih tinggal di kosan. Yup, cuma dia yang bertahan disana. Walau sekarang kosan juga isi nya mahasiswa baru semua.

Lagi asik kipas-kipas sambil scroll video, gak lama kemudian ada panggilan video dari Yuno. Wajah Ara langsung sumringah banget, dia langsung angkat telfon itu karena udah kangen banget sama Yuno. Sejak kemarin Yuno sibuk terus, mereka jadi enggak bisa telfonan atau melakukan panggilan video.

sayang? Lagi dimana?” Yuno mengerutkan alisnya, soalnya Ara pakai baju rapih dengan latar tempat yang asing buat Yuno.

“Lagi di kampus, Mas. Belum jalan ke rumah sakit?”

Yuno menggeleng, “baru bangun, mau makan dulu habis itu baru jalan. Kamu ngajuin cuti nya hari ini? Di temenin siapa?

“Tadi di anter sama Mas Iyal, tapi dia langsung ke kantor.”

pulangnya?

“Sama Chaka kayanya, atau gak nanti aku pesan taksi online.”

Yuno meringis, dia gak pernah gak enak dan gak tega kalau lihat Ara ngelakuin banyak hal sendirian, Kemana-mana sendirian, rasanya Yuno kaya gak berguna jadi Suami. Kaya cuma bisa nafkahin aja dari jarak jauh, nemenin ke dokter kandungan pun enggak.

“Mas kok muka nya gitu?” Ara nanya gini soalnya raut muka Yuno beda banget sama pertama kali dia angkat telfon, wajah Yuno jadi tampak gusar.

ngerasa bersalah aja sama kamu, aku cuma bisa ngasih uang doang tapi gak bisa ada di samping kamu. Maaf yah, Sayang.

Setiap malam atau saat ada waktu luang waktu dia berjaga, kadang Yuno mikir kalau Ara udah cukup jadi istri yang baik. Dia mandiri, punya penghasilan sendiri, cukup bisa mengerti Yuno dan keluarganya, selalu mendukung Yuno dan menghormati Yuno sebagai suaminya, Bahkan itu yang membuat Yuno kadang minder sama Istrinya sendiri, Yuno belum punya penghasilan tetap buat nafkahin Ara. Jujur saja, dia masih bergantung sama uang saku yang di kasih sama kedua orang tua nya.

Memang lebih dari cukup buat menghidupi dia dan Ara, tapi rasanya Yuno jadi enggak percaya diri karena dia nafkahin Ara bukan dari hasil kerja kerasnya. Yuno sebenarnya punya kok penghasilan sendiri dulu waktu awal-awal kuliah, dia pernah di tunjuk sebagai asisten dosen di kampusnya.

Gaji nya juga lumayan banget, Yuno enggak pernah pakai uang itu karena mau dia tabung buat beli rumah sama Ara. Dulu, Yuno juga pernah izin sama orang tua nya kalau dia mau ambil pekerjaan paruh waktu di Jerman. Dia mau kerja di kedai pizza, tapi sayangnya Papa dan Mama nya melarang Yuno.

Mereka bilang enggak mau waktu belajar Yuno terganggu dan mempengaruhi nilai nya di kampus, mereka bilang Yuno hanya perlu fokus belajar saja. Sebenarnya keputusan Yuno menikah sama Ara juga terkesan buru-buru, anggap Yuno egois. Dia cuma enggak mau kehilangan Ara lagi.

“Mas..” kedua bahu Ara merosot. “Tuh kan gitu lagi, kan aku udah bilang aku gapapa.”

tapi tetap aja aku enggak enak sama kamu, sayang.

“Kan cuma sementara, besok-besok kalau Mas udah pulang juga Mas sama aku terus kan.”

Yuno tersenyum kemudian mengangguk pelan, Ara emang paling bisa membuat perasaanya lega. “sayang?

“Ya, Mas?”

Kamu yakin enggak mau di antar siapa-siapa ke Heidelberg? Sama Reno ya? Atau sama Mbak Ola juga gapapa, aku gak masalah anak-anak nya di ajak juga.

“Ihhhh, Mas. Gak papa. Kan aku udah pernah nyamperin kamu sendirian ke sana waktu itu, kamu nih.”

tapi kan beda sayang, waktu itu kamu enggak lagi hamil. Sama Gita aja gimana? Atau sama Chaka juga gapapa, dia pengangguran kan?” kata Yuno sembarangan.

“Yah itu artinya kalau sekarang juga aku gak sendirian dong? Kan berdua sama baby. Lagian Mas, Gita tuh kasian. Dia di rumah aja udah repot sama si kembar, terus Chaka? Kamu nih sembarangan aja ngatain dia pengangguran, Chaka tuh kerja tau di firma arsitektur. Gitu-gitu dia lagi merintis karir nya.”

Yuno terkekeh, Ara enggak salah. Tapi ucapannya juga enggak bener juga, maksud Yuno kan bukan begitu. Yuno tau Ara berani ke Heidelberg sendirian tapi rasanya Yuno baru akan merasa lega kalau Ara ada yang nemenin.

Gak gitu dong.

“Ihhh, Mas-Mas. Minggu depan kan aku ke dokter Bagas lagi yah, kata dokter Bagas bayi kita udah bisa di lihat jenis kelamin nya, udah masuk 5 bulan juga kan. Kalau anak kita cewek Mas mau kasih nama siapa?” Ara ngalihin pembicaraan, dia gak mau di temenin siapa-siapa. Dia berani sendirian nyamperin Yuno, lagi pula ini waktunya dia bersama Yuno lagi dia enggak mau di ganggu siapapun.

Mendengar pertanyaan istrinya itu Yuno jadi senyum-senyum salah tingkah, dia baru kepikiran buat nyari nama buat anak mereka. Dari kemarin rasanya dia lupa karena saking sibuknya, Ara juga baru ingetin sekarang.

Hana?

cuma itu yang terlintas di kepala Yuno. Hana yang dalam bahasa Korea artinya satu, ini memang anak pertama mereka kan. Dan dalam bahasa Jepang artinya bunga di agama mereka juga Hana berarti keindahan dan kebahagiaan. Nama yang sederhana tapi punya makna yang baik dan indah.

“Hana?” pekik Ara “apa artinya, Mas?”

Dalam bahasa Korea artinya satu atau pertama, dalam bahasa Jepang artinya bunga. Hana juga punya makna yang bagus yang artinya keindahan dan kebahagiaan, bagus gak? Kamu ada nama lain?

“Bagus!! Aku suka nama nya. Aku sejauh ini belum ada nama, Mas. Tapi Papa minta nama keluarga kamu harus di taruh di belakang nama anak kita.” Ara mengulum bibirnya sendiri, Papa nya Yuno sudah mewanti-wanti ini sejak tahu Ara hamil. Ara baru cerita sama Yuno sekarang.

gak usah juga gapapa, lagi pula ini kan anak kita. Kita yang orang tua nya bukan Papa.” Yuno cuma enggak mau anaknya kelak akan menjadi seperti dia, terikat oleh tali tak kasat mata dan harus menerima fakta harus meninggalkan cita-cita nya demi meneruskan profesi keluarga. Yuno mau anaknya hidup sebagai dirinya sendiri, cukup dia yang jadi boneka orang tua nya.

“Ih gapapa, Mas. Lagi pula Wijaya kan juga nama belakang kamu.” Ara menaikan satu alisnya. “Nanti aku cari lagi ya nama lengkap nya buat baby.”

Yaudah, kamu hati-hati yah. Kabarin aku kalau udah sampai rumah Gita.

“Siap Papa sayang!!”

Apa?” pekik Yuno kaget.

“Hehe” Ara nyengir, dia malu banget dan akhirnya matiin sambungan panggilan video nya lebih dulu. Takut banget Yuno minta dia buat ngulang ucapannya barusan.


Sudah beberapa hari ini Bianca enggak keluar dari kamar kost nya, dia juga batalin check up kaki nya dan lebih milih di rumah. Setiap hari nya orang-orang dari pria yang mengaku Ayah kandungnya itu bolak balik ke kosan nya buat mastiin Bianca enggak kenapa-kenapa.

Orang-orang itu juga yang bawain makanan buat Bianca dan menaruh nya di depan pintu kamar Bianca, ya walau berakhir enggak Bianca ambil. Bianca masih bingung, dia masih sulit mencerna semua nya. Dia senang akhirnya dia tahu bagaimana asal usul dirinya, tapi lebih menyakitkan lagi ketika dia tahu kalau dia adalah anak dari selingkuhan dan Ibu nya sudah meninggal.

Wajah Bianca udah enggak karuan, apalagi kalau ingat fakta bahwa dia dan Damian adalah saudara satu Ayah. Rasanya dia jijik banget sama dirinya sendiri, Bianca ingin hilang ingatan aja rasanya.

“Mbak Bianca!!” gak lama kemudian terdengar suara Ibu-Ibu dari depan kamar kost Bianca, itu kayanya suara Ibu kost deh.

“Iya, sebentar.”

Mau enggak mau Bianca harus bukain pintu buat Ibu kost nya, waktu Bianca buka pintu. Wajah Ibu kost yang biasa nya ramah itu enggak kaya biasanya, liat Bianca pun sinis banget.

“Ada apa, Buk?”

“Duh, Mbak. Ini makanan-makanan yang di kasih sama orang udah ngalangin jalanan tau gak? Banyak yang udah basi juga dan bikin bau.”

“Maaf yah, Buk. Nanti saya bersihin.”

“Selain itu juga, Mbak. Orang-orang yang suka ke sini itu bikin gak nyaman penghuni lain, saya tiap hari dapat komplain terus. Yang tinggal di kosan saya kan bukan Mbak Bianca aja jadi tolong dong Mbak jaga kenyamanan bersama.”

Bianca mengangguk, dia jadi enggak enak sama Ibu kost dan penghuni lain yang terganggu sama masalah Bianca ini. Mungkin kalau orang-orang itu datang lagi Bianca akan usir dan bilang buat enggak datang ke kosan nya lagi. Meski rasanya Bianca enggak punya tenaga buat marahin mereka.

“Oh iya, satu lagi. Ini Mbak Bianca yah?” Ibu kost ngeluarin ponsel nya yang nunjukin foto-foto tanpa busana Bianca yang waktu itu tersebar, Bianca kaget dan dia enggak berucap sepatah kata pun. “Bener?”

“Maaf yah, Buk. Nanti saya beresin semua nya, maaf udah bikin Ibu sama penghuni lain nya enggak nyaman.”

Bianca langsung buru-buru nutup pintu kosan, dia tahu ini enggak sopan tapi Bianca bingung harus menjelaskannya bagaimana. Toh di jelaskan juga percuma, enggak ada yang percaya sama dia. Dan masyarakat sudah menyematkan nya sebagai 'cewek enggak bener' udah terlambat Bianca perbaiki, dan harapan Bianca sekarang semoga orang-orang cepat melupakan wajahnya.

Baru saja Bianca ingin merapihkan kamar kost nya, enggak lama kemudian pintu kamar nya di ketuk. Bianca sempat lihat dari jendela, Bianca pikir itu orang suruhan pria yang mengaku sebagai Ayah nya atau Ibu kost nya lagi. Tapi ternyata itu Julian, mau ngapain dia ke sini? Pikir Bianca.

Bianca akhirnya bukain pintu buat cowok itu, Bianca masih marah sama Julian. Tapi dia juga mau tau kenapa Julian baru muncul sekarang.

“Ngapain lo—”

“Lo yang bilang sama Ibu gue?” hardik Julian tiba-tiba, Bianca sama sekali enggak ngerti apa yang Julian bicarain.

“Maksudnya?”

“Gak usah pura-pura bego, Bi. Lo datang kan ke rumah gue dan ngomong tentang kita sama Ibu gue, lo bilang kan kalo gue udh tidur sama lo?”

Ucapan Julian semakin bikin hati Bianca sakit, dia tiba-tiba saja di tuduh seperti ini? “Gue gak pernah datang ke rumah lo, apalagi ngadu sama Ibu lo.”

“Terus kalau bukan lo siapa lagi? Lo marah sama gue karna gue ninggalin lo hari itu? Lo dendam sama gue kan, Bi? Atau lo hamil?” Julian naikin nada bicaranya, dia kelihatan marah dan sewot banget sama Bianca.

PLAK

Karena kesal sama ucapan Julian, tangan Bianca melayang menampar sisi wajah Julian sampai wajah cowok itu terhuyung ke samping. Dia gak ngerti Julian ngomong apa, dia juga enggak merasa datang ke rumah Julian apalagi ngadu sama Ibu nya.

“Gue gak pernah datang ke rumah lo apalagi ngadu sama Ibu lo! Gue bahkan enggak punya muka buat datang ke sana,” ucap Bianca penuh penekanan.

“Gue emang cewek murahan, Jul. Gue emang sakit dan marah banget lo udah ninggalin gue gitu aja, tapi buat kepikiran balas dendam aja enggak.”

Julian diam aja, kupingnya berdenging nyaring karna tamparan Bianca. Kalau bukan Bianca lalu siapa? Pikir Julian.

“Dan satu lagi, lo gak perlu takut gue hamil, Jul. Karna buat punya anak dari lo juga gue enggak sudi!!”

Bianca mundur, dia mau nutup pintu kamar nya. Rasanya sudah babak belur sekali dia seharian ini. Kepala nya pening, rasanya Bianca udah gak tahan buat hidup kalau begini cara nya. Masalahnya kenapa enggak ada yang selesai dan justru bertambah, bahkan orang yang akhir-akhir ini Bianca andalkan pun juga mengecewakannya.

“Jangan pernah munculin muka lo di depan gue lagi, Jul. Sekarang gue tau kenapa Ara nolak lo, karena cowok brengsek kaya lo. Emang gak pantes buat cewek sebaik dia,” ucap Bianca sebelum akhirnya dia nutup pintu kamar nya, meninggalkan Julian yang masih mematung di depan kamar Bianca. Cowok itu masih menyesali perbuatan dan ucapannya barusan.