Panik (36)
Dering dari ponsel Yuno yang ia taruh dimeja sebelah ranjangnya itu membangunkan Yuno dari tidurnya, dia raba benda persegi panjang panjang itu dan dia geser tombol hijau nya ke atas.
“Hallo?” gumamnya, Yuno masih mengantuk. Matanya juga masih terpejam, bahkan dia sendiri enggak tahu siapa yang menelponnya sepagi ini, yang terpenting ia angkat dulu saja Kalau-kalau itu telfon penting.
“Mas, aku udah sampai di Berlin yah. Kamu mau jemput, apa aku naik taksi aja ke apart kamu?“
Begitu mendengar suara Istrinya di sebrang sana, mata Yuno yang tadinya lengket banget enggak bisa kebuka saking mengantuknya itu langsung terbuka lebar dan membulat. Dia liat jam di ponselnya yang sudah menunjukan jam 9 pagi.
“Eng..gak usah aku jemput aja sayang.” Yuno bangun dari ranjangnya, di samping ranjang tidur Yuno itu ada lemari kayu dengan cermin setengah badan di sana. Setelah melihat pantulan dirinya di cermin, Yuno kaget bukan main waktu mendapati rambutnya berubah warna jadi blonde. Seingatnya dia gak pernah cat rambut.
“HAH???!” pekik Yuno kaget.
“Mas, kenapa?“
Yuno memejamkan matanya, dia mencoba untuk terdengar biasa saja supaya Ara enggak bingung. Karna dia sendiri pun bingung tapi sudah dapat Yuno pastikan biang kerok mana yang mengubah rambutnya menjadi blonde seperti ini.
Jeff sialan, awas aja gak akan gue biarin lo belanja-belanja lagi.
“Ng..gak papa, Sayang. Hm.. Kamu kok gak landing di Frankfurt? Kan lebih dekat dari sana ke Heidelberg kenapa ke Berlin?” dulu waktu Ara ke Heidelberg pertama kali itu dia langsung landing di Frankfurt jadi Yuno enggak jauh jemputnya.
“aku pesan yang transit di singapur, Mas. Mau ada yang di beli, terus juga kan aku berangkatnya dari Soekarno Hatta enggak dari Bali.“
Memang ada yang mau di beli dulu di Singapur, Ara kangen makan mie yang sangat terkenal di sana. Dulu dia pernah sekali ke Singapur waktu jaman SMA kelas 11, sama Echa. Berdua doang karena cuma bermodalkan nekat, itu pun mereka ngirit setengah mati karena bawa uang pas-pasan.
Yuno mengangguk, “yaudah, kabarin aku kalau sudah sampai stasiun yah. Nanti aku jemput.”
“see you, Mas. I love you.“
“love you too my wife“
Setelah memutuskan sambungan telfonnya, Yuno buru-buru mencari buku penghubungnya dengan Jeff. Ternyata di buku itu memang Jeff menuliskan sesuatu, Jeff bilang dia mengambil alih diri Yuno ketika Yuno sedang istirahat dan tertidur di ruang istirahat dokter. Jeff benci Yuno masih mau di suruh-suruh sama Senior nya di rumah sakit dan sebagai hukuman karena Yuno enggak bisa tegas, Jeff mengubah rambut nya dengan warna blonde.
Membaca tulisan tangan Jeff itu bikin Yuno mengepalkan tangannya, masih pagi saja alter nya itu sudah membuatnya dongkol setengah mati. Kalau begini caranya dia harus segera ke salon untuk mengembalikan rambut hitamnya sebelum Ara tiba di Heidelberg.
Jeff tahu soal seniornya itu karena Jeff membacanya di buku penghubung mereka, selain itu ingatan Yuno saat Jeff mengambil alih tubuhnya itu di rasakan oleh Jeff seperti mimpi atau de javu, makanya Jeff bisa tahu itu semua.
Jadi buru-buru Yuno mandi dan setelah itu pergi mencari salon terdekat, ini akan membutuhkan waktu lama karena rambut nya tebal. Sebenarnya selama Yuno di Jerman, intensitas Jeff menguasai dirinya itu sudah sedikit jarang apalagi di masa ia sudah kembali bersama Ara.
Jeff lebih sering muncul ketika Yuno pertama kali menginjakan kakinya ke Jerman, apalagi waktu dia masih mengikuti kelas bahasanya. Jujur saja, Agak sedikit bersyukur karena Ara landing di Berlin bukan di Frankfurt, kalau Ara melihatnya begini bisa bingung setengah mati dia. Ara bisa nanya-nanya dan Yuno enggak punya jawaban untuk itu. Karena dia enggak pernah ada niatan bahkan rencana sekalipun buat mengubah warna rambutnya.
Setelah rambut nya sudah kembali hitam, Yuno langsung bergegas kembali ke apartemen nya sebentar. Membersihkan apartemen nya yang sedikit berantakan karena kertas-kertas dan buku-buku bekasnya belajar kemarin.
Dan tidak lama kemudian ada pesan masuk dari ponselnya, itu dari Reno. Dia bilang sudah sampai di Heidelberg, jadi buru-buru lah Yuno menyambar kunci mobil miliknya dan pergi menjemput Ara dan Reno. Oh iya, Yuno memang membeli mobil di Jerman. Papa yang suruh dari pada Yuno harus ke kampus naik transportasi umum terus katanya.
Begitu melihat Istrinya sedang duduk di stasiun, Yuno langsung berlari kecil, ia tersenyum dan begitu dekat ia langsung membawa Ara ke pelukannya. Menghirup banyak-banyak aroma yang sangat ia rindukan berbulan-bulan itu, dan Yuno sadar ada yang menghalangi di antara pelukannya dengan Ara, perut Istrinya itu yang bertambah buncit dari foto yang Ara kirimkan 2 bulan yang lalu.
“Gemes, sekarang kalau pelukan udah gak bisa rapet lagi. Udah ada yang ngehalangin,” Yuno terkekeh pelan sembari mengusap perut buncit Istrinya itu.
“Kan jadi meluk dua orang, Mas.”
Yuno mengangguk pelan, “Reno kemana?”
Yuno celingak-celinguk soalnya dia enggak melihat Reno padahal Ara duduk di antara dua koper besar dan juga paper bag yang Yuno sendiri enggak tau apa isinya.
“Lagi ke toilet, Mas. Nanti juga balik kok.”
Malam nya Yuno banyak ngobrol sama Reno, mulai dari kuliah anak itu, usaha kecil-kecilan Reno sama Karina, tentang bola ah, apa saja. Kalau keduanya sudah bertemu memang pasti ada saja yang bisa di bicarakan. Selain akrab sama Yuda karena memang mereka berteman, Yuno itu juga akrab banget sama Reno dan Papa mertua nya. Mereka seperti perkumpulan orang-orang yang satu frekuensi kalau sudah mengobrol, sampai lupa waktu kadang.
Sementara Ara sibuk nyiapin sup ayam yang lagi dia buat, tadi mereka sempat belanja. Yuno sudah bilang kalau mereka bisa makan di luar saja tapi Ara ngotot buat masak aja, enggak mau Yuno bantu pula. Padahal Yuno khawatir banget, takut istrinya itu kecapekan karena perjalanan dari Jakarta ke Heidelberg itu 25 jam kalau di total.
“Nih, Mas jeruknya. Tadi aku sempat ke toko buah-buahan di Berlin.” Ara naruh piring berisi jeruk yang udah dia kupas bersih biar Yuno bisa langsung makan, sup nya dia tinggal dulu karena ayam nya belum begitu empuk.
“Suapin, sayang.”
Sebelum nyuapin Yuno, Ara ngelirik Reno dulu yang lagi fokus sama ponselnya. Bocah itu lagi sibuk sama daftar belanjaan yang sempat dia beli seadanya dulu di Berlin. Setelah memastikan Reno gak perduli sama apa yang di lakuin Ara dan Yuno, barulah Ara menyuapi Suaminya itu jeruk yang dia udah kupas.
Yuno senyum, tapi enggak lama kemudian rasa ngilu menyerang pipi hingga rahangnya akibat rasa jeruk yang begitu asam. Tapi sebisa mungkin Yuno menjaga ekspresi wajahnya biar enggak kelihatan mengernyit.
“Manis gak, Mas?” tanya Ara.
“Manis kok. Enak, mau lagi sayang.”
Ara senyum, dia senang banget Yuno suka sama jeruknya dan ngerasa bangga karena udah berhasil milih-milih buah. Selama ini Ara tuh kalau milih buah payah banget sering banget dia milih buah yang belum matang lah, busuk lah, sampai rasanya yang asam.
Ara nyuapin satu jeruk lagi buat Yuno tapi pas dia mau cobain sendiri Yuno malah nahan tangannya dan masukin jeruk yang Ara pegang ke mulutnya sendiri.
“Ihh Mas aku kan juga mau,” rengek Ara.
“Kamu makan apel aja gih, di kulkas aku ada apel enak deh.”
Yuno naikin satu alisnya, deg-deg an banget takut Ara nyobain jeruk yang dia beli yang asam nya sampe bikin orang yang ngantuk berat kayanya langsung melek seketika.
“Aku mau cek sup nya dulu deh biar kita bisa cepat makan malam.” Ara berdiri dan ninggalin ruang tengah, dia balik lagi ke dapur buat memeriksa sup yang tadi dia tinggal.
“Aku bantuin ya sayang.” Yuno akhirnya menyusul, dia mau nyiapin makanan yang sudah matang itu ke meja makan. Biar Ara enggak kecapekan nyiapin semuanya sendiri.
Tapi di ruang tengah, Reno yang tadinya lagi asik memeriksa catatan jastip nya itu mengambil satu jeruk yang tadi Ara taruh di meja. Begitu satu suapan masuk, wajah cowok itu mengernyit dan memegangi wajahnya yang tampak linu.
“Kakak... Yang bener aje, ini jeruknya asem banget. Yang makan juga bisa kena asam lambung ini mah,” teriak Reno.
“Loh, Mas. Tadi kata kamu manis?” Ara natap Yuno yang sekarang sedang nyengir ke dia.
“Manis kok, sayang. Reno kayanya lagi apes aja sampai dapat yang asam deh.” alibi Yuno aja ini sih. Padahal dia tahu kalau Ara ngupas jeruknya cuma satu dan emang ukurannya lumayan besar sayang aja rasanya asam.
“Jangan di makan lagi ah kalau gitu, aku tuh emang gak bakat kayanya milih buah.”
Melihat Ara yang cemberut gitu bikin Yuno ngerasa gak nyaman, dia gak suka ngeliat Istrinya ngerasa enggak percaya diri karna suatu hal kecil yang gagal ia lakukan. Menurut Yuno itu wajar kok, hal-hal yang enggak bisa Ara lakukan lagi pula menjadi hal yang bisa Yuno lakukan. Yuno ngerasa pernikahan mereka itu saling melengkapi.
“Nanti aku ajarin yah caranya milih buah yang bagus tuh gimana, jangan cemberut gitu dong.” Yuno meluk Ara dari belakang yang lagi sibuk nyicipi rasa sup yang lagi dia masak, takut ada yang kurang. Tangannya mengusap lembut perut buncit Istrinya itu.
“Tapi tuh harusnya kamu gak usah makan tau kalau jeruknya asam kaya gitu, kalau sakit perut gimana?”
“Ini sekarang gak sakit, baik-baik aja.”
“Ih sekarang, kalo sakitnya nanti gimana?” Ara mengulum bibirnya sendiri, nyaman banget lagi masak di peluk sama Suaminya kaya gini.
“Ya jangan doain gitu dong.” Yuno senyum, dagu nya yang tadi dia tumpukan di atas kepala Ara itu kini pindah ke ceruk leher Istrinya. Menghirup aroma yang selalu bisa menyenangkan bagi Yuno itu dan mengecup lehernya.
“Ihh.. Geli, Mas. Centil banget sih.”
“Biarin, kan lagi nepatin janji kalau kamu udah disini mau aku ciumin terus.”
Keduanya terkekeh pelan, tapi enggak lama kemudian Reno masuk ke dapur buat ambil minum. Pantulan Reno yang masuk ke dapur itu kelihatan dari kaca yang ada di depan kompor listrik, dapur Yuno memang ada kacanya. Seketika pelukan itu terlepas, Yuno juga jadi sibuk ngambil-ngambilin piring dan dia taruh di meja.
Reno juga lihat kok apa yang tengah di lakukan Kakak dan Ipar nya itu, dia juga canggung tapi berusaha buat terlihat biasa aja. Lagi pula wajar saja kalau keduanya ingin bermesraan, sudah lama juga tidak bertemu dan lagi pula mereka adalah pengantin baru. Reno kan sudah dewasa, dia sudah bisa memaklumi apa yang keduanya lakukan kok, ya walaupun enggak lihat tempat sih. Mungkin ini juga jadi alasan awalnya Kakaknya itu enggak mau di antar siapa-siapa.
“Makan, Ren.” Yuno basa basi, soalnya Reno sekarang duduk di meja makan.
“Iya, Mas.”