Pelarian (5)

emang mau sampai kapan lari begini?

lari kaya gini bukan jadi jalan keluar.

hidup lo dulu juga baik-baik aja waktu belum kenal dia.

dia udah bahagia, harusnya lo juga bisa bahagia.

habis ini mau lari sejauh apa lagi?

Julian menghela nafasnya pelan, menatap api unggun yang ada di depannya sembari sesekali menambahkan ranting-ranting kecil ke dalam nya. Ini sudah jam 11 malam, dan ia memutuskan untuk keluar dari tenda nya.

Kawan-kawan sependakian yang berangkat bersama dengannya mungkin saat ini sudah sampai di bawah, sudah bersiap kembali ke Jakarta mungkin. Tapi Julian memutuskan untuk tinggal dan mendirikan tenda di Kawah Plawangan Sembalun, ia masih ingin sendiri.

Menenangkan diri dan hatinya dulu, mencari jalan keluar untuk bisa berdamai dengan keadaan. Julian enggak bisa tidur, kepala berisik dengan suara nya sendiri bercampur dengan nasihat-nasihat yang temanya sematkan untuknya. Julian enggak pernah nyangka, kalau di tinggal menikah dengan cewek yang dia sayangi menjadi titik terendah di hidupnya.

Tanpa Julian sadari, ada seseorang yang mendekat ke arahnya. Laki-laki dengan perawakan tinggi besar menghampirinya sembari membawa botol minum berukuran sedang, laki-laki itu kemudian menepuk pelan pundak Julian.

“Permisi, Kang. Boleh minta air?” tanya laki-laki itu dengan sopan, Julian udah biasa di panggil dengan sebutan 'Kang atau Aa' sekalipun, wajahnya emang mirip dengan orang Sunda.

“Ada, tunggu sebentar saya ambil dulu.”

Laki-laki itu mengangguk, menunggu Julian di depan api unggun sembari berjongkok di sana, sementara Julian masuk ke dalam tenda mengambil botol air miliknya yang masih agak banyak.

“Ambil aja, Mas. Air saya masih banyak, subuh nanti juga saya udah turun kok.”

Laki-laki itu tersenyum, “makasih yah, Kang.”

“Sama-sama.”

Alih-alih langsung pergi laki-laki tadi justru duduk di samping Julian, mereka berbeda tujuan. Jika Julian akan pulang subuh nanti, laki-laki yang tidak Julian kenal ini bersama tim nya akan melakukan pendakian besok.

“Ngecamp sendiri, Kang?” tanya laki-laki itu.

“Enggak, sama temen tadinya. Cuma masih mau disini sendiri, jadi pada balik duluan deh.”

“Ohhh, udah turun saya pikir mau naik.” laki-laki itu manggut-manggut. “Asal mana, Kang?”

“Saya dari Jakarta, Mas dari mana?”

“Dari Garut.”

Julian mengangguk, “saya enggak pernah tinggal di Garut sih, tapi saya pernah tinggal di Bandung. Kebetulan kuliah di sana.”

“Oh ya? Dimana, Kang?”

“Di Narawangsa.”

“Wih hebat ini mah, Akang pasti pinter yah?”

Julian hanya terkekeh pelan. “Pendakian ke berapa, Mas?”

“Ini udah ke 5, Kang.”

Julian mengangguk, ternyata laki-laki di sebelahnya ini lebih banyak pengalaman pendakian darinya. Julian hanya baru 3 kali mendaki termasuk ke Gunung Rinjani ini, mungkin lain kali ia harus lebih banyak berkelana lagi.

“Keren.” Julian mengacungkan ibu jarinya.

“Ya gitu, Kang. Kalo pikiran lagi suntuk emang paling enak nanjak gini, pengecut sih emang karna kesannya lari. Tapi gak ada salahnya lari sebentar kan?”

Laki-laki itu terkekeh sembari menuangkan air yang Julian beri ke dalam gelas miliknya.

“Saya kalau lagi suntuk pasti nanjak, soalnya cuma itu cara biar pikiran tenang.”

Julian meringis, kata-kata laki-laki itu seolah-olah sangat mengerti kondisinya saat ini. Dia benar, enggak apa lari sebentar dari masalah. Yang terpenting setelah itu berdamai dan kembali ke kehidupan semula. Julian yakin dia akan baik-baik saja setelah ini, walau sulit hidupnya harus tetap berjalan kan?

“Lari ruwet juga yah, Mas?” tanya Julian, ia menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya itu.

“Ruwet sama skripsi, Kang. Cewek saya ngasih motivasi buat cepetan lulus, tapi saya ngerasa sulit. Sampe dapat omongan kalau anak Mapala banyak yang lulus terlambat. Akang sendiri?”

Julian cukup mengerti betapa sulitnya menyelesaikan skripsi, meskipun terbilang ia lulus tepat waktu. Tapi tetap saja saat menggarap skripsinya dulu Julian sempat berhenti sebentar karena mengalami burn out, itu semua wajar. Yah untung nya itu tidak berlangsung lama.

“Abis di tinggal nikah sama cewek yang saya sayang, Mas.” Julian tersenyum miris, tangannya memainkan ranting kayu yang ada di tangannya itu. Mecoba mengisi kekosongan dengan memotek ranting itu menjadi bagian lebih kecil lagi.

“Waduhhh, Kang. Sakit banget pasti yah?”

Julian mengangguk. “Saya kesini juga lari sebenarnya.”

“Akang belum ikhlas pasti karena sayang banget yah?”

“Bukan itu aja, Mas. Karena dia justru nikah sama cowok yang pernah nyakitin dia dulu. Mungkin saya bakalan jauh lebih ikhlas kalau menikahnya bukan sama cowok itu,” Julian berhenti sebentar, kemudian menggeleng kepalanya pelan.

“Tapi bisa apa sih saya kalau memang takdir nya dia, itu cowok.” lanjutnya.

“Gapapa, Kang. Kalau belum ikhlas mah wajar, asal jangan doain yang jelek-jelek buat rumah tangga mereka yah, gak baik. Nanti Akang sendiri yang sedih kalau orang yang Akang sayang kenapa-kenapa.”

Julian meringis, dia memang belum ikhlas tapi mendoakan keburukan untuk cewek yang sangat Julian sayangi juga ia tidak setega itu. Julian tetap mendoakan kebahagiaan Ara meski enggak berakhir bersama nya.

Setelah mengobrol dengan laki-laki yang enggak di kenalnya, Julian langsung tidur dan bangun di jam 5 subuh. Sebelum ke Bandara, Julian sempat ingin mengucapkan terima kasih pada laki-laki semalam yang sudah mendengarkan ceritanya.

Jadi ia memutuskan untuk ke tenda yang berada tidak jauh dari tempat ia mendirikan tenda semalam, laki-laki tadi masuk ke tenda yang ada di sebelah tendanya.

“Permisi, Mas.”

“Ya, Mas?” tanya salah satu dari mereka.

Mata Julian melihat satu persatu laki-laki di sana, tidak ia dapati laki-laki yang menemaninya semalam di api unggun.

“Mas yang semalam keluar tenda minta air ke saya, aduh saya juga lupa nanya namanya.”

Ketiga laki-laki itu saling menatap dengan dahi berkerut bingung, entah siapa yang di maksud Julian tapi tiga laki-laki di sana itu tidak paham yang Julian maksudkan.

“Gak ada yang keluar dari tenda sini, Mas.”

“Loh?” Julian bingung. “Semalam ada, laki-laki tingginya segini.” Julian menunjukan tinggi laki-laki semalam yang hanya setelingannya.

“Pakai kacamata, rambutnya ikal. Aksen bicaranya khas Sunda, dia bilang asalnya dari Garut.”

Ketiga laki-laki itu saling melempar pandangan satu sama lain. “Kulitnya sawo matang, Mas?” ucap satu di antara ketiganya.

“Iya.”

Salah satu di antara mereka mengambil ponsel dan menunjukan foto seorang laki-laki disana, persis seperti yang Julian ingat semalam. Julian hapal betul wajah laki-laki yang memberinya nasihat itu, bahkan di foto itu. Laki-laki semalam mengenakan pakaian yang sama.

“Yang ini bukan, Mas?”

“Iya benar itu dia orangnya, semalam dia minta air ke saya.”

“Ini memang teman kami, Mas. Namanya Galuh. Tapi sudah meninggal sebulan yang lalu, kami memang kalau naik gunung sama dia. Karna sama-sama anak Mapala.”

“Apa?!” pekik Julian kaget.


Drrt drrrt

Getaran yang berasal dari ponsel Yuno yang ada di nakas itu bikin Ara jadi harus bangun, dia gak bisa banget denger ada suara sekecil apapun. Sebelum ambil ponsel Yuno yang ada di nakas sampingnya tidur, Ara nyingkirin tangan Suaminya dulu yang masih ada di dalam baju nya.

Kebiasaan Yuno kalau tidur selain ngedengkur kadang tangannya juga suka ngeraba kemana-mana, awal-awal Ara agak kaget tapi lama kelamaan udah biasa aja. Waktu dia ambil ponsel Yuno, ternyata itu pesan masuk dari Mama. Mama cuma ingetin kalau sore nanti ada acara arisan keluarga di rumah Yuno yang ada di Jakarta. Ini arisan dari pihak Papa nya Yuno.

Setelah membalas pesan itu, Ara bangun lebih dulu. Dia sempat cuci muka dan buka korden yang ada di kamar mereka biar Yuno bangun, setelah itu bersihin sisa makan semalam. Kemarin Yuno ulang tahun, dan Ara bikin pesta kecil-kecilan untuk mereka berdua. Piring dan gelas bekas mereka makan, belum sempat Ara bersihin jadi lah dia bersihin itu semua dulu.

Setelahnya, Ara sempat bikin sarapan buat mereka berdua. Ara cuma bikin sup sama ayam saus mentega, waktu Ara lagi masak nasi sekalian. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, Yuno udah bangun rupanya, Suaminya itu keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan mata yang sembab khas bangun tidur.

“Mandi, Mas.” ucap Ara, waktu Yuno lagi nuang air putih di gelas miliknya.

“Um..”

Waktu Ara lagi naruh beberapa bahan masakan ke kulkas, Yuno justru memeluk pinggangnya sampai Ara kaget. Masalahnya cowok itu numpuhin seluruh berat badannya di bahu nya. Seingatnya semalam memang Yuno di beri hadiah wine oleh Kevin, tapi mereka berdua enggak meminum nya sama sekali. Tapi kenapa Yuno bertingkah seperti orang mabuk begini? Pikir Ara.

“Mas...”

“Bentar ih, mau peluk doang.” ucapnya dengan suara beratnya itu, Yuno emang suka banget meluk Ara kaya gini apalagi kalau udah nyium leher nya. Wangi dari aroma shampo dan body lotion Istrinya itu bercampur menjadi satu.

“Mandi.”

“Kan semalam udah.”

“Ya terus enggak mandi pagi? Kita kan harus siap-siap ke Jakarta. Mama udah chat kamu loh.” Mama emang enggak minta di bawain apa-apa sama Yuno dan Ara, tapi Ara berinsiatif untuk membawa cake untuk keluarga dari pihak Papa nanti. Kan enggak enak kalau dia dan Yuno datang lenggang kangkung aja.

“Mandi berdua yah?” Yuno melepaskan pelukannya itu.

“Sendiri, aku mau nyiapin apa aja yang di bawa. Sekalian sama baju kamu loh.”

“Nanti aku bantuin.”

“Sen. Di. Ri.” ucap Ara penuh penekanan di setiap penggalannya, dia bukannya enggak mau mandi berdua sama Yuno. Ara beneran hectic banget harus nyiapin ini itu, walau Yuno bilang mau bantu tapi rasanya Ara enggak puas aja kalau enggak mengerjakannya sendiri.

Walau sambil cemberut tapi akhirnya Yuno mengangguk dan melepaskan pelukannya. “Sayang?”

“Ya, Mas?” tanya Ara, cewek itu enggak menoleh ke arah Yuno. Masih mengaduk ayam saus mentega nya itu yang hampir matang.

“Makasih kado nya yah.”

Ara senyum, ia nabung agak lumayan lama buat beli jam sebagai hadiah ulang tahun Suaminya itu. Dan syukurlah kalau Yuno menyukainya, gak sia-sia Ara nabung dari hasil kerjanya menjadi influencer. Walau setelah menikah, Ara memutuskan untuk berhenti sementara dan fokus pada S2 dan kehidupan rumah tangganya.

Ara lagi nikmatin banget perannya jadi Istri, walau masih banyak kagetnya karena ia sudah punya tanggung jawab selain pada dirinya sendiri. Tapi Ara senang banget menjalani nya.

“Syukur deh kalau kamu suka, aku senang dengar nya. Di pakai yah.”

Yuno mengangguk kecil, sebenarnya ada perasaan bersalah juga dalam hati Yuno. Karna minggu depan Ara ulang tahun dan di hari sebelumnya justru Yuno meninggalkan cewek itu untuk kembali melanjutkan studi nya di Jerman. Tapi tenang aja kok, Yuno juga sudah menyiapkan sesuatu untuk Istrinya itu meski dia enggak ada di samping Ara nanti saat hari ulang tahunnya tiba.