Pergi (35)
Julian masih diam berdiri di pagar depan kosan Bianca berada, dia parkirkan motornya begitu saja di depan sana dan menimang-nimang pikirannya untuk tetap masuk ke dalam atau tidak. Julian bukan takut di usir, tidak sama sekali. Kalau pun nantinya Bianca mau mengusirnya itu tidak menjadi masalah untuk Julian. Dia pantas mendapatkan itu, hanya saja.
Julian takut kalau ia akan merusak suasana hati Bianca dengan kembali muncul di depannya, pasalnya terakhir kali mereka bertemu kan Bianca meminta Julian untuk tidak pernah menemuinya lagi. Julian mencabut kunci motornya dan menghela nafasnya, masih memandang pintu kamar kost Bianca tanpa mencobanya masuk, pengecut memang. Julian merasa dirinya juga seperti itu saat ini.
Tidak lama kemudian karena merasa ada orang asing mencurigakan berdiri depan pagar, seorang penghuni keluar untuk bertanya pada Julian. Takut-takut Julian adalah rampok yang sedang membaca situasi keadaan kosan saat lengah.
“Cari siapa, Mas?” tanya Ibu-Ibu paruh baya yang memang di tugaskan untuk menjaga kosan.
Kosan tempat Bianca tinggal itu memang agak sedikit bebas, kosan campuran yang berbentuk leter U dengan sisi kanan di isi oleh kosan laki-laki dan sisi kiri di isi oleh kosan perempuan. Penghuni nya juga di perbolehkan untuk menerima tamu walau tetap saja ada jam malam yang harus di patuhi.
“Cari Mbak Bianca, penghuni baru yang belum lama pindah.”
“Oh.. Mbak Bianca udah pindah, Mas. Di usir sama Ibu.”
Kedua mata Julian membulat, apa katanya? Di usir? Dia enggak salah dengar kan? “Di usir? Kenapa, Buk?”
“Iya, Mas. Soalnya Mbak Bianca bikin gak nyaman penghuni lainya, akhir-akhir ini banyak laki-laki kaya pengawal mondar mandir naruh makanan di depan pintu nya, Mbak Bianca juga enggak mau ngambil sampai pada basi terus bau. Terus ada lagi, waktu itu laki-laki yang agak tua ngetuk-ngetuk rumahnya. Pas di tanya katanya itu Ayah nya Mbak Bianca,” jelas Ibu-Ibu itu yang bikin Julian makin tercengang.
Ayah Bianca? Bukanya Bianca yatim piatu? Julian masih ingat banget bagaimana Bianca cerita kalau dia besar di panti asuhan, apa Ayah yang di maksud ini adalah orang tua yang mengadopsinya? Tapi kenapa baru muncul sekarang? Pikir Julian.
“Te..terus sekarang Mbak Bianca pindah ke mana?” setidaknya Julian harus tahu kemana Bianca pergi, wanita itu enggak punya siapa-siapa lagi. Lalu, kemana Bianca pergi?
“Aduh.. Saya juga enggak tau, Mas. Enggak bilang dia.”
Kedua bahu Julian merosot, sekarang dia kehilangan jejak Bianca. Ah, tidak dia masih bisa menghubungi wanita itu. Ia masih menyimpan nomer Bianca, kalau pun Bianca tidak menjawabnya. Mungkin dua teman Bianca itu tahu kemana Bianca pergi, setidaknya Bianca pasti berpamitan pada keduanya kan.
“Ya..yaudah, makasih banyak, Buk.”
“Sama-sama, Mas.” begitu mendapatkan penjelasan tentang siapa laki-laki yang sedari tadi berdiri di depan kosan. Ibu penjaga nya masuk kembali, tidak lupa ia mengunci pagar kosan kembali.
Sementara Julian masih tetap di sana, ia merogoh kantong celana nya dan mengambil ponselnya dari sana, mencari nomer telfon Bianca dan mencoba menghubunginya lagi. Tapi sayangnya nomer Bianca enggak aktif, di kirimi pesan singkat pun tidak terkirim bahkan sosial media milik wanita itu juga menghilang. Julian jadi tambah lemas, kayanya kalau enggak dapat maaf dari Bianca. Setidaknya dia tahu dimana Bianca berada dan memastikan wanita itu baik-baik saja.
Hari yang di tunggu-tunggu Ara akhirnya tiba, hari ini dia akan pergi ke Jerman untuk menyusul Yuno. Mungkin Ara agak sedikit lama di sana, sekitar 1 sampai 2 bulan mungkin. Ara enggak sendirian kok dia di temani sama Reno. Karena sejak insiden asma nya kambuh orang tua, mertua serta Suaminya itu jadi tambah overprotektif sama dia.
Pagi ini Ara berangkat dari Bandara Soekarno Hatta sama Arial yang kebetulan juga lagi ada di Jakarta, Arial lagi dinas di Jakarta sekaligus jenguk kedua orang tua nya. Ada Gita juga sebenarnya, tapi Gita enggak ikut antar karena pagi ini kedua anak kembarnya itu sedang rewel.
“Pokoknya kalau udah sampai di Singapur kamu harus kabarin, kalo flight lagi juga kabarin. Termasuk kalau udah sampai di Heidelberg,” oceh Arial panjang lebar di ruang tunggu, karena berangkat dari Soekarno Hatta, Ara harus transit dulu di Singapur dan keesokannya baru melanjutkan perjalananya ke Jerman.
“Iya, Mas iya.. Kan aku juga pergi nya sama Reno.”
“Mas Ril mau nitip sesuatu gak sama Reno? Mau open jastip nih,” tanya Reno.
Reno ini ngide buat open jastip buat teman-teman kampus nya kata dia uangnya lumayan buat tambahan dia pergi ke Jepang. Ara sih terserah saja, soalnya nanti pun Reno yang akan pulang duluan. Dia mungkin di Jerman hanya seminggu sampai sepuluh hari, pulang ke Indonesia nya nanti Ara akan di jemput sama orang tua Yuno, sekalian keduanya menjenguk keadaan Yuno di Heidelberg.
“Gaya amat bocil,” ledek Arial.
“Yeee serius ini, Reno buka jastip. Lumayan buat tambah-tambah ke Jepang, abis Papa gak mau nambahin lagi, katanya Reno harus usaha sendiri karna Papa udah bikinin passport sama visa.”
Sebenarnya buat nambahin budget Reno ke Jepang Papa masih sanggup kok, hanya saja Papa mau lihat bagaimana usaha Reno buat dapatin apa yang dia mau. Kadang Reno inisiatif buat bantu Papa kantor biar dapat gaji, bikin usaha brownies sama Karina sampai opsi sekarang ini nih. Buka jastip barang, skincare, make up sama makanan dari Jerman. Kayanya apapun Reno bakalan lakuin supaya bisa nabung ke Jepang deh.
Oh iya, Reno sama Karina itu punya usaha kecil-kecilan. Keduanya open PO brownies, ya tentunya Karina yang buat Reno bantuin kok kadang, walau Reno lebih sering promosiin dan ngatar brownies-brownies buatan Karina. Nama brownies nya tuh Kulacino, yang artinya genangan air yang ada di atas meja ketika minuman dingin di letakan dan embun nya berubah menjadi air.
Reno yang kasih nama, katanya dia dapat ide itu waktu lagi minum kopi dan lihat ada genangan air nya terus tiba-tiba aja jadi punya ide buat buka PO brownies sama karina dan nabung buat ke Jepang. Gak tau deh kenapa Reno pengen banget ke Jepang, apa yang mau dia lihat di sana, pikir Ara.
“Gausah, Mas pesen brownies aja buat teman-teman kantor Mas.”
“Ahhh itu sih pesan nya sama Karin, tapi nanti Reno bilangin. Mau pesan berapa?”
“10 kotak aja gausah banyak-banyak,” jawab Arial enteng, teman-teman kantor nya itu pasti nodong oleh-oleh tiap kali Arial dalam perjalanan dinas.
“Gilaaa, Mas mau jualin? Tapi oke deh. Noted, nanti Karin, Reno suruh ngehubungin Mas buat nanya mau variant apa aja.”
Di perjalanan Ara lebih banyak diam, dia tuh udah nyiapin kejutan buat Yuno nanti. Salah satunya adalah soal gender anak mereka, Papa, Mama, Bunda dan Papa nya sudah tahu karena kemarin Ara USG dan dokter Bagas ngasih tau kalau bayi nya perempuan.
Waktu dengar itu Ara bahagia bukan main, walau gender apapun yang di beri Tuhan, Ara tetap syukuri kok. Dia jadi sering bayangin dan ngajak ngobrol bayi nya akhir-akhir ini. Kaya mikirin lebih dominan dengan siapa nanti wajahnya atau bakalan punya lesung pipi atau engak kaya Yuno. Mikirin itu semua bikin Ara jadi senyum, dia jadi bisa ngerasain anaknya di dalam sana mulai bergerak menendangnya.
“Aw..”
“Kenapa, Kak?” rintihan Ara barusan bikin Reno yang lagi sibuk ngelist jastipan teman-temannya itu menjatuhkan ponselnya ke pangkuannya.
“Gapapa.” Ara menggeleng. “Ini keponakan kamu nendang.”
“Kirain kenapa, bikin kaget aja.”
Mendengar omongan Reno yang nyebelin di telinga Ara itu bikin Ara jadi sensi sendiri, apa katanya? Kirain kenapa? Dia pikir ada bayi di perutnya terus nendang itu enggak bikin risih apa, Pikir Ara.
“Kok gitu? Kamu pikir enak di tendang kaya gitu?” Ara sewot.
“Ih, bukan gitu maksud Reno, Kak.” Reno menggaruk belakang kepalanya yang enggak gatal itu, Kakaknya yang udah demen ambekan itu jadi tambah sesitif semenjak hamil, Reno jadi serba salah. “Maksud Reno tuh—”
“Udah lah, nyebelin kamu. Awas minta jajan di sana gak bakalan Kakak jajanin. Gak bakalan Kakak anterin nyari jastip nya juga.” Ancam Ara.
“Dih, Kakak. Jangan gitu Kakkk.. Usaha Reno ini.”
“Bodo amat.”