Sensitif (18)

“Malam, Mah, Pah.” sapa Ara yang baru saja turun dari lantai dua kamar Yuno.

Malam ini mereka makan malam bersama di meja makan, ada Mama dan Papa Yuno, biasanya Ara hanya makan sendiri karena mertua nya itu biasanya pulang agak sedikit larut. Biasanya kalau makan malam, Ara suka ngajak Budhe yang bekerja di rumah Yuno itu makan bersama menemaninya. Ara itu enggak suka makan sendirian.

Kadang kalau Yuno sedang tidak jaga di rumah sakit, ia akan melakukan panggilan video dengan Suaminya itu. Akhir-akhir ini Ara lagi ngerasa sedih terus, dia gak tahu ini hormon Ibu hamil atau memang ia benar-benar merindukan Yuno.

Rasanya pengen banget terbang ke Jerman, tapi sayangnya kuliahnya belum libur. Selama tinggal di rumah keluarga Yuno, Ara sedikit banyaknya jadi tahu bagaimana rasa kesepian Suaminya itu dulu. Karena baru tinggal 2 minggu disini saja rasanya Ara sudah sangat kesepian, makanya kadang dia suka pulang ke rumahnya sendiri. Atau mengajak Cindy dan Kinan jalan-jalan, apapun itu asalkan dia enggak merasakan kesepian di rumah yang besar ini.

“Malam, nak.” jawab Papa.

“Ara?” suara halus dari Mama mertua nya itu membuat Ara menoleh, ternyata dari tadi Mama merhatiin Ara yang nampak lesu dengan mata sedikit memerah. Wajahnya juga sembab, seperti habis menangis semalaman. “Kamu habis nangis, Nak?”

Ara mengangguk, dia gak mau bohong. Toh wajahnya tidak bisa di sembunyikan kalau dia memang habis menangis.

“Kenapa, Nak?” kali ini Papa yang bertanya.

“Ara kangen Mas Yuno, Mah, Pah.” baru menjawab satu pertanyaan saja air mata Ara kembali mengalir, untungnya Mama buru-buru membawa Ara ke pelukannya.

“Sabar yah, sayang. Cuti kamu dikit lagi, nanti kalau sudah ngajuin cuti ke kampus, Mama temenin jenguk Yuno yah?” Mama mengusap-usap punggung menantunya itu, berharap Ara bisa sedikit lebih tenang.

“Tapi Yuno ngabarin kamu terus kan, Nak?”

Ara mengangguk, Yuno memang enggak pernah absen buat ngabarinnya. Sebentar pun Yuno akan menyempatkan untuk menelfon Ara atau mengirimi Istrinya itu voice note. tapi, yang Ara butuhkan lebih dari itu. Dia butuh Suaminya ada bersamanya, Ara tahu ini terdengar kekanakan tapi rasanya cuma kehadiran Yuno yang bisa membuat dia jauh lebih tenang.

“Ngabarin, Pah. Tapi emang Mas Yuno lagi sibuk banget, jadi enggak bisa sering-sering face time.” jawab Ara di tengah-tengah sesegukkanya.

“Yuno kan memang lagi koas, Nak. Kamu masih kuliah kan?” Papa cuma mau mastiin kalau Ara masih ada kegiatan, maksudnya enggak cuma berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa, karna itu mungkin bisa membuat menantunya itu jenuh dan lebih merindukan Suaminya.

“Masih, Pah. Tapi hari ini cuma kelas online dan 1 mata kuliah.”

“Mau Papa daftarkan yoga? Atau kamu mau ikut workshop? Biar Ara enggak jenuh di rumah terus.”

Ara enggak langsung menjawab, dia justru natap Mama mertuanya itu sampai beliau mengangguk, Mama pikir itu ide bagus. Setidaknya kalau punya kesibukan selain kuliah, Ara jadi enggak merasa jenuh di rumah. Mama tau Ara suka keluar bersama teman-temannya, tapi itu pun enggak sering karena kedua temannya juga bekerja.

“Boleh, Pah.”

“Nanti Papa kirimkan alamatnya yah, ikut kelas yoga saja dulu. Memang kamu mau ikut apa?”

“Ara mau ikut kelas memasak sebenarnya, Pah. Sama akhir-akhir ini tertarik buat bikin parfum.”

Kini obrolan di meja makan jadi lebih santai, mertua nya itu banyak menyarankan Ara berbagai macam workshop menarik yang bisa Ara ikuti, kolega Papa juga ada yang memiliki beberapa kelas yang bisa Ara ikuti salah satunya adalah kelas memasak, parenting dan juga merangkai bunga.

“Kamu masih aktif di akun youtube mu, sayang?” Mama tahu Ara cukup terkenal di internet, bahkan Mama juga pernah mengajak Ara untuk menjadi pembicara di beberapa seminar tentang mental health.

“Masih, Mah. Cuma aku ngurangi jadwal upload video biasanya kan seminggu sekali ini jadi 10 hari sekali aja.”

“Kenapa, Nak? Ara capek? Mungkin butuh tim buat kamu bikin video?” Mama juga tahu Ara melakukan semuanya sendiri, mulai dari take video, mengedit nya bahkan untuk make up dan mencari ide untuk kontennya, setahu Mama biasanya konten kreator itu punya tim nya sendiri. Mungkin saja Ara kerepotan melakukan itu semua sendiri.

“Enggak juga sih, Mah. Ara memang lagi fokus aja sama kuliah, sama Mas Yuno gak terlalu suka sering update kehidupan pribadi, sedangkan akhir-akhir ini Ara kehabisan ide buat konten.” Ara meringis, Yuno memang melarangnya membuat konten seputar kehidupan sehari-harinya. Ara tahu kok maksud Yuno baik, dia cuma gak mau orang-orang di internet jadi ngorek-ngorek kehidupan mereka lagi.

Yuno bukan ngelarang Ara sepenuhnya buat jalanin chanel youtube nya, hanya saja Ara tahu batasan apa yang bisa dia upload dan apa yang enggak perlu dia upload. Dan menurut Ara ada benar nya juga, karena semenjak kembali pada tujuannya membuat chanel yaitu untuk mengedukasi, enggak ada lagi tuh komen-komen buruk atau komen yang menyinggung kehidupan pribadinya lagi. Terutama hubungan nya dengan Yuno.

“Kamu kalau butuh apa-apa bilang Mama dan Papa yah, Ra. Kami kan juga orang tua kamu.”


Hari ini IGD sibuk sekali, bahkan ini sudah terhitung lewat dari jam shift nya namun Yuno urung pulang, ada kecelakaan mobil yang menyebabkan beberapa korban di larikan ke rumah sakit tempat Yuno koas.

Yuno bahkan melupakan kalau kepalanya sedikit nyeri karena melewatkan jam istirahatnya, dia terlalu sibuk untuk bisa merasakan sakit di kepalanya karena sedari tadi dia sibuk membantu dokter di IGD seperti memasang infus, memberikan transfusi darah bahkan menyiapkan ruang operasi.

“Yuno!”

Panggil dokter Smith beliau adalah konsulen Yuno di stase bedah, terkenal tegas dan jarang sekali tersenyum. dokter Smith ini orang Jerman keturunan Indonesia, Ibu nya berasal dari Indonesia makanya dokter Smith ini lumayan fasih berbahasa Indonesia walau logat nya tetap terdengar aneh di telinga Yuno.

Dengan cepat Yuno berlari ke arah dokter Smith yang sedang sibuk dengan pasien yang tengah ia tangani, padahal Yuno baru mengatur nafasnya sebentar setelah dia selesai menjahit luka di kaki pasien yang tadi ia tangani.

“Ya, dok?” ucap Yuno terengah-engah.

“Bantu saya.”

Yuno menghela nafasnya lagi, namun dokter Smith menoleh ke arahnya yang berhasil membuat Yuno buru-buru menyiapkan segala alat-alat yang akan mereka pakai untuk menangani pasien.

“Stetoskop,” ucap dokter Smith, dengan sigap Yuno langsung mengambil stetoskop dan memberikannya pada konsulen nya itu.

Sembari menunggu dokter Smith memeriksa pasien, Yuno memejamkan matanya. Kepala nya makin pusing rasanya dan perut nya benar-benar lapar.

“Di paru-paru kanan nya tidak ada suara nafas, kenapa?”

“Yah?” jawab Yuno spontan, dia memang sedang tidak fokus dan itu membuat dokter Smith menghela nafasnya kemudian membulatkan matanya memperingati Yuno.

“Fokus, Yuno!”

“Ma..maaf, dok.” Yuno menunduk, dia jadi merasa bersalah karena enggak fokus sama apa yang di omongin dokter Smith.

“Di paru-paru kanan tidak ada suara nafas, kenapa?” dokter Smith mengulangi ucapannya lagi.

Pneumotoraks¹” jawab Yuno lantang.

“Lalu?”

“Pneumotoraks ketegangan.” Yuno memang percaya diri dalam mendiagnosis pasien nya. Dan itu membuat dokter Smith suka mengajak Yuno untuk membantunya, meski kadang Yuno kerap kali menguji kesabaranya karena sering sekali tidak fokus.

“Apa yang akan kamu lakukan sama pasien ini?”

“Penusukan, udara harus di keluarkan dari paru-paru.”

Yuno mengambil jarum dan memberikannya pada dokter Smith, kepalanya yang tadi nyeri itu rasanya hilang. Yuno harus kembali fokus pada pasien yang sedang ia tangani ini.

dokter Smith akhirnya melakukan penusukan di bagian dada kanan pasien laki-laki tersebut, memang ada udara yang keluar dari sana namun pasien laki-laki tersebut belum kunjung sadar. Dan itu membuat Yuno sedikit panik, dia takut salah diagnosis

“dok, kalau ini penumotoraks harusnya pasien sadar dan batuk.” jujur tangan Yuno bergetar, selain karena lapar dia juga takut diagnosis nya salah.

Akhirnya dokter Smith memeriksa mata pasien laki-laki tersebut, raut wajahnya tenang. Enggak ada keraguan sama sekali, seperti ini memang menjadi makanan sehari-hari nya selama praktik di rumah sakit.

“Enggak ada respons, dok.” ucap Yuno.

“Pembedahan otak papiledema, apa itu?” tanya dokter Smith yang membuat Yuno semakin bingung.

“Ah, pembuatan sayatan kecil pada selubung saraf optik, apa mungkin ada pendarahan di otaknya? Kalau gitu harusnya kita lakukan CT kan, dok?” jelas Yuno.

Setelah melakukan tindakan pada pasien barusan sampai selesai, Yuno baru bisa keluar dari ruang operasi dengan nafas lega. Operasi kedua nya hari ini, benar-benar hari yang panjang dan membuat badannya benar-benar letih.

Dia jalan dengan gontai ke ruang istirahat sebelum nantinya dia akan pulang ke apartemen nya, sebelum berganti pakaian Yuno memeriksa ponselnya dulu.

Ia tersenyum mendapati pesan dari Ara dan foto istrinya itu yang sangat dia rindukan, jujur akhir-akhir ini lumayan berat untuk Yuno. Tapi celotehan-celotehan dari Istrinya itu membuat Yuno tetap semangat dan bertahan, dia harus jauh lebih kuat karena sebentar lagi dia akan menjadi orang tua.

“Sabar yah, Sayang. Aku janji bakalan bikin kamu bangga,” gumam nya.

¹Pneumotoraks: udara yang terhimpun karena paru-paru berlubang

part ini di terispirasi dari drama The Trauma Code 2025