Soal Panggilan (3)

“Eloise sama Elios ikut, Paman aja yuk?” ucap Yuno, dia masih asik memangku keponakan-keponakanya itu dan mengajaknya bermain.

Selama Ara kuliah, yang Yuno lakukan hanya datang ke rumah Gita dan mengajak keponakan-keponakannya itu bermain. Kadang juga Yuno suka mengajak mereka jalan-jalan, tapi sekarang ini Yuno memutuskan untuk mengajaknya main di rumah saja karena Bandung sedang di guyur hujan.

“Gemes banget deh, jadi pengen gigit. Paman gigit boleh yah pipinya sekali?” Yuno mengatupkan tangannya seperti memohon, gemes banget liat pipi bulat dan chubby milik Elios.

“Ga boyeh.” bayi yang baru berumur 2 tahun itu menggeleng, alih-alih marah. Bocah laki-laki itu justru memberi Yuno 1 biskuit miliknya yang ada di tangannya itu. Yuno yang di beri biskuit itu akhirnya membuka mulutnya dan memakan biskuit nya, dalam hati dia agak sedikit takjub sama rasa biskuit bayi yang ternyata enak juga. Agak konyol emang tapi beneran seenak itu.

“Kita makan siang dulu yuk.”

Tidak lama kemudian Gita datang, membawa 2 mangkuk berisi makanan pendamping ASI untuk anak kembarnya itu. Yuno yang melihat itu, langsung bantuin Gita buat naruh Elios dan Eloise di kursi baby. Kadang juga Yuno memperhatikan cara Gita membantu kedua anaknya itu makan.

“Gemes banget sih,” gumam Yuno.

Gita yang mendengar itu sedikit terkekeh, Kakak sepupunya itu benar-benar melihat ke arah Eloise dan Elios dengan pandangan takjub. Yuno emang menyukai anak kecil, gak heran dia selalu merasa excited setiap kali main sama anak kecil.

“Makanya cepet-cepet punya anak biar ada mainan,” ucap Gita sombong.

“Maunya juga gitu, tapi gue kan baru nikah 3 minggu.”

“Usaha nya lebih keras lagi dong Kak Yuno..”

Yuno yang dengar itu jadi menghela nafasnya pelan, melihat Gita dan Arial yang sudah menjadi orang tua. Yuno jadi ingin cepat-cepat memiliki anak juga, kadang melihat Eloise dan Elios, Yuno jadi bayangin gimana kalau dia punya anak nanti, apa bakalan mirip sama dirinya atau sama Ara? Atau justru anak mereka nanti adalah perpaduan dari paras keduanya.

“Minggu depan gue balik ke Jerman, gimana mau punya anak cepet.” Yuno mengambil tissue basah dan mengusap pipi keponakannya itu yang sedikit belepotan karena makanan yang sedang di makan.

“Ya, masih ada beberapa hari lagi. Pasti bisa lah.”

“Belajar sama gue, No.” tiba-tiba saja Arial muncul, tadi cowok itu sedang ke mini market. Ada bahan makanan yang kurang dan Gita menyuruhnya untuk membeli.

“Gaya amat belajar-belajar,” ucap Yuno prengat prengut.

“Tapi kalau Ara hamil nanti dia bakalan sendiri dong, Kak? Atau Mama Lastri yang jagain?” tanya Gita, dia jadi kepikiran kalau Ara hamil gimana, ya maksudnya gak ada Yuno di sisinya. Dulu waktu dia hamil si kembar saja Arial masih ada untuknya Gita masih suka kerepotan apa lagi kalau sudah mendekati hari lahir.

“Mungkin, gue belum bicarain ini sama dia sih.” Gita benar juga, Yuno rasa ia harus bicarakan soal ini sama Ara. Selama ini mereka cuma ngobrolin masalah tabungan keduanya untuk membeli rumah.

Meski bisa di bilang berasal dari keluarga yang berkecukupan, Yuno gak mau bergantung ke kedua orang tua nya terus untuk urusan membeli rumah. Dia nabung kok, dan uang tabungannya itu di pegang oleh Ara. Yuno juga bilang ke Ara kalau enggak perlu bantuin dia untuk menabung membeli rumah, Yuno masih bisa mengusahakan itu sendiri. Jadi uang hasil kerja Ara sebagai beauty influencer bisa ia tabung sendiri, Yuno memberi kebebasan untuk apa uang itu Ara pakai.

“Ya obrolin lah, No. Nikah tuh harus banyak ngobrol. Jangan lagi deh lo mikir dan bikin keputusan sendiri, karena hidup lo sekarang kan bukan tentang lo aja,” ucap Arial memberi wejangan ke Yuno.

Cowok itu hanya mengangguk pelan. “Selama gue gak ada dan Ara masih selesain S2 nya di Bandung, gue titip Ara yah.”

“Yaelah, Kak. Kaya sama siapa aja. Palingan kalo gabut di apart juga dia kesini.”

Setelah hampir seharian di rumah Gita dan Arial, sorenya Yuno menjemput Ara di kampus nya. Yuno sengaja gak turun dari mobil dan lebih memilih untuk menunggu istrinya itu di depan kampus, dia hanya pakai kaos oblong dan celana pendek aja soalnya.

Gak perlu nunggu lama karena akhirnya Ara keluar dari pintu masuk fakultasnya, cewek itu tampak berseri melihat Yuno. Begitu ia masuk ke mobilnya, Ara dengan cepat mengecup pipi Yuno singkat.

“Mas habis dari mana? Kok bau bayi?” tanya Ara.

“Dari mana lagi, habis dari rumah Gita sama Arial. Aku tadi main sama anak-anak mereka,” jawab Yuno, ia mulai menjalankan mobilnya membelah Bandung sore itu. Mereka enggak langsung pulang, mau mampir ke supermarket dulu untuk membeli beberapa kebutuhan dan makanan instan untuk Yuno bawa ke Jerman.

“Aku kira kemana.”

“Sayang?”

“Ya, Mas?”

Yuno mengulum bibirnya sendiri, tadinya dia mau ngomong langsung ke Ara soal bagaimana jika Ara hamil, mereka berencana ingin memiliki anak berapa sampai soal panggilan untuk anak-anak mereka kelak, tapi Yuno mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk membicarakannya nanti saja jika mereka sudah sampai di rumah.

“Hmm.. Itu daftar belanjanya udah kamu bawa?” tanya Yuno.

Ara mengangguk, “udah kok, nanti aku masakin rendang juga biar sampai di Heidelberg nanti kamu panasin dan bisa langsung di makan. Enaknya masak berapa kilo yah, Mas?”

“2 kilo aja kali ya?”

“Boleh. Terus, Mas hari ini mau aku masakin apa?”

“Hari ini aku yang mau masakin kamu boleh kan?”

Begitu mendengar Yuno bicara seperti itu, senyum di wajah Ara mengembang. Dia seneng banget kalau Yuno yang masak, kadang Ara jadi ngerasa gak percaya diri sama masakannya karena ia suka merasa masakan Yuno lebih enak darinya.

Ya walaupun begitu, Yuno enggak suka protes yang macam-macam kok. Kalau ada masakan Ara yang di rasa kurang, Yuno akan bantu koreksi rasanya biar di masa depan Ara lebih pintar lagi masaknya.

Di supermarket mereka berkeliling dari lorong ke lorong untuk membeli beberapa kebutuhan pokok mereka, oh iya. Sewa appartement Yuno dan Ara ini sudah di lengkapi dengan fasilitas barang-barang, jadi untuk sementara ini mereka enggak beli perabotan apa-apa dulu.

Setelah selesai membayar belanjaan mereka, Ara sempat mengajak Yuno dulu untuk makan ice cream vanilla yang terkenal enak banget di sana, letaknya masih di dalam supermarketnya juga kok. Ada di area food court yang selalu ramai itu.

“Ini punya kamu.” setelah 5 menit mengantre akhirnya Yuno datang dengan membawa 2 cone ice cream berukuran sedang rasa vanilla itu.

“Aaah makasih, Suamiku,” ucap Ara girang, ia langsung melahap ice cream miliknya.

Mereka masih duduk di area food court gak berniat untuk makan sore apalagi makan malam di sana. Mereka hanya makan ice cream kemudian pulang.

“Mas, liat deh.” Ara agak berbisik ke Yuno, memalingkan wajah Yuno ke arah yang ia tunjuk dengan ibu jarinya. Di sana ada anak perempuan, umurnya kira-kira 3 tahun. Sangat cantik dengan rambut panjang hitam dan tebal, memakai bando strawberry sedang berusaha untuk menghabiskan makanannya. “Lucu yah, Mas.”

“Iya, lucu.” Yuno tersenyum, hatinya selalu menghangat setiap kali melihat anak kecil.

Dengan hati-hati Yuno melirik Istrinya itu, Ara masih melihat ke arah bocah tadi, matanya berbinar dan sesekali ia tersenyum. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan hal ini, pikir Yuno.

“Sayang?”

“Ya, Mas?”

“Kita belum ngomongin soal ini deh.”

“Soal apa tuh?” Ara menoleh ke arah Yuno.

“Soal, kita mau punya anak berapa.” jawab Yuno, matanya berkedip. Namun sedetik kemudian kuping dan pipinya terasa panas, sial, hanya membicarakannya saja membuat Yuno jadi salah tingkah.

“Hhmm.. Mas maunya berapa?”

“Kok nanya aku?”

“Nanya aja.”

“Kan kamu yang hamil, sayang.”

“Ihhhh jawab aja,” rajuk Ara sembari melahap ice cream vanilla miliknya dalam sekali suapan. Ice cream milik Ara tandas lebih dulu.

“Kalo kamu mengizinkan, aku sebenarnya mau punya anak lebih dari satu. Aku gak mau anak kita jadi anak tunggal, rasanya kesepian tau.” Yuno sudah mengalaminya sendiri, apalagi kedua orang tua nya sibuk bekerja. Alhasil, Yuno jika di rumah hanya di temani oleh Budhe yang bekerja di rumahnya.

Terkadang, Yuno merasa iri dengan Ara dan keluarganya. Ara memiliki saudara yang hangat dan orang tua yang hangat, tapi disisi lain Yuno juga beruntung. Saat mengenal Ara dan menikahi cewek itu ia jadi bisa merasakan memiliki saudara dan mertua yang hangat.

“Dua?” tebak Ara.

Yuno mengangguk, “boleh.”

“Kalau tiga?”

Yuno jadi terkekeh sedikit, apalagi saat melihat jari Ara yang malah menunjukan angka empat. “Sayang, itu jari kamu empat loh.”

Saat Yuno membenarkan jari Ara menjadi angka tiga, Ara terkekeh. Padahal ia hanya meledek Suaminya itu. “Dua atau tiga yah, Mas?”

Yuno mengangguk kecil, “aku selalu bayangin kita punya anak kembar kaya anaknya Arial sama Gita kayanya lucu yah.”

“Bisa jadi, kan anaknya Mas Yuda juga kembar. Kita bisa punya peluang punya anak kembar juga, Mas. Dari pihak Papaku tuh Eyang kembar tau. Yah, walau kembarannya meninggal waktu umur 2 tahun.”

“Dari pihak Papakku juga ada.”

Membayangkan manis nya memiliki anak, bikin Ara jadi senyum-senyum sendiri. Bayangin aja, bagaimana suatu hari nanti ia akan di panggil dengan sebutan 'Ibu' dan ada sosok kecil yang menjadi perpaduan antara dirinya dan Yuno.

“Mas?”

“Hm?”

“Kalau kita punya anak nanti, Mas maunya di panggil apa?” Ara melipat kedua tangannya di atas meja, matanya tak lekat menatap Yuno. Tidak sabar menunggu jawaban dari Suaminya itu.

“Papa, kalau kamu?”

Ara tersenyum, ia pikir juga Yuno sangat cocok dengan sebutan itu. “Ibu.”

“Kenapa?”

“Hm?” Ara menaikan satu alisnya bingung.

“Kenapa mau di panggil dengan sebutan Ibu?”

“Karena, indah aja di dengar dan sederhana.”