Yang Sebenarnya (28)
Selama enggak bertemu lagi dan gak menghubungi Julian lagi, Bianca lebih banyak menghabiskan waktu di kosan nya. Mulai dari baca-baca buku, masak sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti poterry class. Bianca masih bingung mau bagaimana sama karir nya setelah keluar dari Ruby Jane, dia cuma mau menikmati hidupnya sebentar.
Setiap kali dia keluar, kadang Bianca juga masih suka di perhatikan orang-orang. Makanya dia sering pakai masker kalau mau keluar, hari ini Bianca pergi sendiri ke tempat poterry class nya. Dia gak punya siapa-siapa lagi buat di ajak ikut kelas seperti ini.
Waktu baru datang, Bianca di kasih berbagai macam barang seperti celemek, masker, buku panduan dan brosur dari tempatnya. Oh iya, Bianca masih pakai kruk dan dia masih belum terbiasa sama itu. Makanya buat bawa barang-barang yang di kasih sama kelas nya juga dia kerepotan. Sampai-sampai celemek yang nantinya akan dia pakai itu jatuh.
Di tempat menuju kelas nya agak ramai, tapi enggak ada satu orang pun yang membantu nya untuk mengambil celemek itu. Bianca juga enggak mau minta bantuan siapa-siapa, takut ada yang mengenali dia. Sampai akhirnya ada tangan kurus yang membantunya mengambil celemek itu.
“Makasih yah, Mbak—” ucapan Bianca tertahan, dia kaget karena ternyata Ara ada di kelas ini juga. “Mbak Ara? Kok bisa ada disini?”
Ara senyum, dia juga sama gak nyangka nya kalau akan ketemu sama Bianca. “Aku ikut kelas ini, Mbak. Kamu disini juga?”
Bianca mengangguk. “Iya.”
“Sendiri?”
Lagi-lagi Bianca mengangguk, Ara enggak nanya Julian kok. Dia cuma kasihan saja sama Bianca karena kaki nya masih sakit dan harus pakai kruk tapi justru wanita itu pergi sendirian, dia pasti kesusahan banget kalau mau ngapa-ngapain sendiri. Geraknya enggak sebebas biasanya.
“Sama aku aja yah, duduk di sebelah aku.”
“Boleh?”
“Boleh dong, sini aku bantuin bawa.” karena liat Bianca kerepotan, akhirnya Ara yang bawain barang-barang yang di bawa Bianca.
Mereka juga duduk bersebelahan waktu mengikuti kelasnya, tutor nya baik menurut Bianca, orangnya ramah dan peserta lain juga menyenangkan. Dia gak pernah menyangka ikut kelas seperti ini membuat kekosongan di hatinya sedikit terisi, tapi sejujurnya Bianca enggak begitu konsentrasi karena beberapa kali dia melirik Ara terus.
Ternyata cewek yang di sukai Julian sebaik itu, Ara bukan cuma cantik tapi juga baik dan perhatian. Kalau di liat dari akun-akun sosial media miliknya yang setiap malam Bianca stalk, Ara emang bukan tipe cewek banyak tingkah, reputasi nya bagus banget dan ternyata dia influencer yang suka mengedukasi tentang kesehatan mental.
Pantas saja Julian bisa sesayang itu sama Ara sampai-sampai melihat cewek itu nikah sama orang lain jadi patah hati terparahnya, kadang Bianca jadi suka membandingkan dirinya dan Ara. Kalau di bandingin rasanya dia bukan apa-apa, Bianca kaya cuma wanita dengan asal usul enggak jelas, suka dugem, pernah jadi selingkuhan dan sering kali mabuk.
Setelah selesai mengikuti kelas nya, Ara sempat ngajak Bianca makan sore dulu. Kebetulan Bianca juga belum makan dari siang, dia juga bosan makan sendirian jadi akhirnya dia ikut Ara saja.
“Nanti pas ambil hasil nya Mbak mau bareng sama aku?” tanya Ara di sela-sela makannya.
“Boleh, nanti kamu kabarin aku yah, Ra.”
Ara mengangguk, “punya Mbak tuh keren deh, aku suka banget. Padahal baru sekali ikut yah?”
“Aku pernah belajar dulu.”
“Oh yah?” pekik Ara kaget, pantas saja Bianca kelihatan telaten dan bagus banget buatannya. Kaya memang udah pernah buat atau pernah mengikuti kelas.
“Iya, dulu Ibu panti aku pengerajin tembikar. Aku pernah belajar, makanya aku lumayan bisa bikinnya.”
Waktu di panti, Bianca kecil itu banyak ingin mengetahui hal-hal baru. Termasuk ngelihatin Ibu pantinya bikin gelas dan guci, Bianca pernah di ajari. Makanya dia lumayan bisa. Bianca ikut kelas ini karena dia emang mau mengisi kekosongan aja sekaligus merindukan pantinya yang dulu.
Waktu dengar Bianca pernah belajar, Ara natap Bianca kagum. Dia sampai tepuk tangan nya kecil, tuh kan benar dugaannya gak mungkin Bianca bisa sejago itu kalau baru pertama kali.
“Pantesan jago banget.” Ara senyum “oh iya, selain ikut kelas ini Mbak mau ikut kelas apa lagi?”
Bianca jadi kepikiran kalau dia kayanya mau ikut kelas lagi, tapi dia masih bingung mau mengikuti kelas apa. “Pengen sih, kamu ada saran gak?”
“Ikut kelas baking mau gak, Mbak? Kebetulan aku udah daftar, tapi sayangnya minggu depan aku harus ke Bandung buat ngajuin cuti kuliah Makanya enggak bisa ikut kelas nya, kalau Mbak mau aku bisa kasih ke Mbak, jadi nanti Mbak yang gantiin aku, gimana?”
“Boleh, dimana tuh?”
“Di Senayan, nanti aku share alamatnya ke kamu yah, Mbak.”
Bianca mengangguk, sembari makan Bianca masih sesekali memperhatikan Ara, senyum cewek itu kelihatan tulus banget. Boleh Bianca jujur? Waktu dia berantem sama Julian soal bilang pacarnya, dia sempat membenci Ara, apalagi waktu Julian tiba-tiba pergi meninggalkannya tanpa kata sedikit pun Bianca juga membenci Ara.
Bianca cuma mikir kalau dia bertemu Julian lebih dulu, kalau saja dia Julian enggak ketemu Ara lagi. Dia dan Julian enggak akan berantem, Julian juga gak akan meninggalkannya seperti itu. Katakan Bianca sudah bergantung dan menggantungkan kebahagiaanya pada Julian, tapi apa dia salah? Dia cuma merasa nyaman sama cowok itu.
Tapi hari ini, untuk yang kedua kalinya dia ketemu sama Ara. Bianca jadi sadar kalau Ara sama sekali enggak pantas dia benci, cewek itu baik. Bianca justru rasanya ingin menjadi temannya, tapi ngeliat kehidupan Ara pun rasanya bikin Bianca iri, karena setelah pulang dari cafe, Bianca tahu kalau Ara di jemput Ibu mertua nya Bianca tahu itu mertua Ara karena Ara pernah memposting foto dia dan Ibu mertua nya di instagram.
Dia punya kehidupan yang baik, jauh di banding Bianca. Di perjalanan pulang pun Bianca menangis, dia mengasihani dirinya sendiri. Dia baru sadar kalau selama ini dia hanya punya dirinya sendiri. Namun saat sampai di depan kosan nya, Bianca justru sedikit kaget karena ada 2 orang pria duduk di teras kosannya.
Dua pria yang berbeda usia, yang satunya berusia sekitar 55 tahun dan yang satunya lagi terlihat seperti 30 an. Awalnya Bianca sempat mengira mereka adalah orang-orang suruhan Damian.
“siapa yah?” tanya Bianca. “Ada apa di depan kamar kost saya?”
“Bianca, bisa kita ngobrol sebentar?” tanya pria yang terlihat lebih tua itu.
Bianca mengangguk, pria itu mengajak Bianca untuk mengobrol di mobilnya. Sementara pria yang berdiri bersamanya tadi berdiri di luar mobil. Seperti nya itu pengawalnya? Tebak Bianca.
“Di kepala kamu pasti sekarang banyak pertanyaan yah? Tapi boleh saya tanya kabar kamu lebih dulu?” ucap pria itu sopan.
“Kabar saya baik, anda siapa yah?”
“Kenalkan Bianca, nama saya Dion Pratama Sijabat.”
Pria itu mengulurkan tangannya ke depan Bianca, tapi Bianca enggak menjabat tangan itu. Dia justru menatap pria itu dengan pandangan bingung, yang ada di kepala Bianca saat ini adalah kenapa nama belakang pria itu sama seperti nama nya?
“Kamu tambah bingung yah, Bianca?”
Bianca enggak menjawab, dia justru membuang pandanganya ke arah lain. Pria itu memang enggak menatapnya dengan kurang ajar, tapi Bianca enggak nyaman saja rasanya.
“Bianca, maaf kalau selama ini saya baru muncul.”
Bianca menoleh, kening nya berkerut menandakan kebingungannya. “Maksudnya?”
“Saya Ayah sekaligus wali kamu Bianca, saya yang mengadopsi kamu dari panti asuhan.” jawab pria itu dengan nada tenangnya.
Setelah mendengar itu, Bianca sempat terdiam. Namun sedetik kemudian ia tertawa hambar dan menggeleng kepalanya, ternyata selama ini pria itu adalah orang yang 'memeliharanya' kenapa baru muncul sekarang? Pikir Bianca.
“Jadi anda yang melihara saya? Wah...” Bianca menepuk-nepuk tangannya. “Dan sekarang anda sedang menjenguk peliharaanya?”
“Bianca—”
“Kenapa baru muncul sekarang?”
“Saya bisa jelaskan Bianca.”
Bianca menarik nafasnya, berusaha untuk tetap tenang agar pria di sampingnya itu bisa menjelaskan semuanya. Lagi pula ada banyak pertanyaan di kepala Bianca yang menuntut jawaban, dia harus sedikit bersabar.
“Maaf karena saya baru muncul di depan kamu sekarang Bianca, saya punya alasan untuk itu.” wajah pria bernama Dion itu penuh penyesalan, dia menunduk. Namun tidak lama kemudian menatap Bianca, cara melihat Bianca seperti cara seorang Ayah menatap anak perempuannya.
“Kamu itu anak kandung saya Bianca.” lanjutnya.
Bianca menoleh dengan cepat ke arah pria itu, matanya membulat dan kepalanya berusaha mencerna kata-kata pria itu. Kupingnya tidak salah dengar kan? Apa katanya? Anak kandung? Pikir Bianca.
“Ma..maksudnya?”
“Saya Papa kamu, boleh saya cerita dulu?” tanyanya yang membuat Bianca mengangguk. “Dewi, itu nama Ibu kamu. Kami itu dulu berpacaran, tapi sayangnya hubungan kami enggak di setujui oleh keluarga saya karen Dewi berasal dari keluarga tidak mampu. Saya di jodohin sama anak dari teman Ayah saya, tapi selama kami menikah. Saya masih berhubungan sama Dewi sampai akhirnya saya tau kami memiliki anak.”
“Dewi memilih untuk mempertahankan kandungannya, saat saya juga sudah memiliki anak dari Istri sah saya. Dia bilang dia hanya punya kamu, tapi saat kamu berumur 1 tahun, Dewi meninggal. Dia titipin kamu di panti asuhan itu. Saya tahu semuanya, saya enggak bisa bawa kamu ke rumah karena istri saya enggak suka. Makanya, saya cuma bisa jadi wali yang mengadopsi kamu dari panti. Menafkahi kamu tanpa saya berani muncul di depan kamu”
“Yang saya lakukan itu demi melindungi kamu, tapi sayangnya kamu bertemu sama Damian.”
“Damian?” tanya Bianca.
Pria itu mengangguk, “Bianca, Damian itu kakak kamu. Anak saya bersama istri sah saya, saya sudah tahu semua yang dia lakukan ke kamu walau terlambat, saya minta maaf Bianca.”
Mendengar semua penjelasan itu, hati Bianca rasanya seperti di remas. Matanya memanas dan tanpa sadar dia mengeluarkan air matanya, Bianca punya keluarga selama ini dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ternyata Damian, si brengsek itu adalah Kakaknya.
“Omong kosong kan? Ini semua gak benar kan?” hardik Bianca, dia lepas kendali.
“Maafkan saya, Bianca. Maafkan saya.”
Bianca sudah tidak tahan mendengar semuanya, jadi buru-buru dia keluar dari mobil itu dan berusaha berlari kecil masuk ke dalam kamar kost nya sambil menangis, walau itu bikin kakinya tambah ngilu. Persetan dengan kruk miliknya yang jatuh di depan teras, yang penting Bianca bisa menjauhi laki-laki dengan omong kosong itu dulu.
Begitu sampai di dalam kamar kost nya, Bianca mengunci pintu nya dan merosot di belakang pintu. Dia memeluk dirinya sendiri, dia kecewa, dia marah tapi Bianca gak tahu harus menyalahkan siapa. Siapa yang harus di salahkan?