Sagara


Tuan dengan mata elang itu masih setia mengisap batang sigaretnya, matanya lurus pandangi lampu perkotaan yang gemerlap. Bukit di tepi kota selalu jadi opsi nomor satu tiap kali pemuda itu butuh jeda dalam rangka mempersilahkan kedua ruang memorinya untuk berdebat dengan sesuatu yang bertolak belakang. Logika laparnya selalu menuntut jawab atas ini dan itu, setuju dengan filsuf filsuf ternama sebut saja Karl Marx, Plato, Socrates, membenarkan teori teori yang rasanya memberi makan tiap pertanyaan yang spontan keluar dari nalarnya. Untuk kemudian dengan tegas Ia sangkal sendiri menggunakan ilmu ketuhanan yang selalu ditanam kuat dalam kepalanya. Betul kata orang di luar sana, meminta batas pemikiran yang bebas kepada Tuhan itu berat. Ilmu ketuhanan yang menuntut tunduk tanpa tapi sulit berdampingan dengan logika manusia yang selalu lapar dan terkesan naif. Matahari baru saja tenggelam, Sagara si pemilik mata elang itu masih kalut. Dia selalu bodoh jika dihadapkan persimpangan yang itu itu lagi, selalu memilih jalan tengah yang justru seringkali memunculkan tanya baru. Salah dia, harus jatuh cinta dengan perempuan dengan paras manis itu, pemuja Karl Marx yang sering Sagara jadikan objek berkonflik. Katanya menarik, berdebat dengan dua ideologi berbeda, sautan sangkalan yang justru menjadi alasan Sagara untuk jatuh hati dengan puan pemilik suara lantang itu. Konflik seringkali jadi sebab perubahan sosial, mungkin dalam kasus ini Sagara yang berubah perlahan berani memberi makanan baru untuk nalarnya. Konsekuensi jatuh cinta, Sagara rela bolak balik mencari titik tengah dua ideologi yang berbeda. Sagara hirup lagi batang sigaretnya, terkekeh geli dan menggelengkan kepala. Bunda lihat anakmu sedang jatuh sejatuh jatuhnya, puan manis itu berhasil jerat anak bunda ini dengan kalimat sangkalannya.