Confess

Reihan sedang diselimuti perasaan cemas. Dia panik setengah mati saat mendapati Nahdan pergi keluar kantin setelah melihat dirinya dicium oleh salah satu siswa dari kelas Yahya. Memang pernah Yahya berkata anak yang menciumnya tadi menyukainya, namun Reihan memilih tidak peduli.

Berawal dari dia yang baru memasuki kantin, tiba-tiba dihampiri Adhi; buaya kelas kakap yang sudah diakui satu angkatan. Reihan pernah sekelas dengannya, jadi tidak ada yang aneh jika berbincang sebentar. Adhi bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi ketua kelas lagi dan apa susahnya masih sama seperti tahun lalu. Reihan sekedar menjawab sama saja, karena mayoritas penghuni kelas masih penghuni yang lama.

Sebenarnya Reihan tidak pernah mau menjadi ketua, tapi teman-temannya yang tidak suka direpotkan malah mempromosikann dirinya pada wali kelas. Katanya jika Reihan yang jadi ketua, kelas bisa mendapat banyak pujian. Reihan tidak mau sombong, tapi itu memang benar adanya.

Setelah mereka hampir sampai di meja yang sudah ditempati Yahya, Adhi malah menahan lengan Reihan—membuat yang ditahan menoleh. Lalu dalam waktu dua detik pipi Reihan sudah dicium sampai membuat sang empu terbelalak. Orang-orang di kantin yang tidak sengaja melihat langsung bersorak heboh. Yahya menganga karena kaget, lalu matanya melihat Nahdan yang batal menyuap makan siang karena sama-sama terkejut.

“Gua suka sama lu, Rei.” Adhi bergumam setelah bibirnya berjarak dengan pipi Reihan.

“Hah?” Reihan menarik tubuhnya menjauh. Dia segera melihat sekeliling untuk mencari sosok Nahdan. Jantungnya sudah berpacu cepat, takut bila teman sekamarnya melihat dan salah paham. Benar saja, orang yang dicari sudah berjalan keluar dari kantin. Reihan tepis lengan pemuda yang menahannya, lalu berlari keluar kantin untuk mengejar Nahdan.

Jika diingat-ingat lagi, anak itu pasti sudah banyak salah paham padanya. Bila ia tidak segera mengutarakan perasaan, mungkin Nahdan bisa menjauh dan tidak mau melihatnya lagi.

Langkah Reihan berhenti di pertigaan lorong sekolah. Dia melihat sekitar untuk mengira-ngira kemana Nahdan pergi. Belum sempat dia memutuskan hendak masuk ke lorong yang mana, ponselnya sudah bergetar duluan. Ia lihat pesan yang dikirim Yahya yang membuat perasaannya makin tidak tenang.

Duh, Reii... tenang, oke? Tenang...” Reihan mengatur nafas untuk beberapa saat.

Setelahnya Yahya, Norman, dan Jenaka datang dari arah kantin. Reihan merasa tengah dikuliti oleh tatapan dua orang yang bersama Yahya, tapi ia tidak peduli. Sekarang yang lebih penting kemana Nahdan pergi.

“Nahdan biasanya kemana kalau lagi kesel?” Yahya bertanya duluan pada Norman dan Jenaka.

“Biasanya ke warnet, tapi mana boleh keluar kalau masih jam sekolah.” Jenaka yang menjawab. Setelahnya dia melirik Norman yang baru membuka ponsel untuk menghubungi Nahdan.

“Kira-kira suka ke taman sekolah atau taman asrama, nggak?” Yahya bertanya lagi.

“Bisa jadi.” Kali ini Norman yang menjawab.

“Dichat nggak bisa ya?” Reihan bertanya. Suaranya bergetar.

Norman dan Jenaka saling lihat dulu, sebelum Norman menjawab, “Nggak bisa. Dia kalau kesel nggak bakal mau buka hp.”

“Gini aja. Reihan pergi ke asrama, terus gua ke perpus, sedangkan Yahya dengan Norman ke taman.”

“Oke.” Tiga orang yang lain menyetujui ide Jenaka.

“Nggak usah nangis, Rei.” Yahya menepuk pundak Reihan, melirik jahil pada temannya.

“Gua nggak nangis.” Reihan mendelik. Namun tidak bisa dipungkiri, dia memang bisa menangis detik itu juga bila tidak ditahan.

Yahya tertawa sebelum membiarkan temannya itu berjalan cepat ke salah satu lorong. Selama di jalan Reihan berharap semoga dia yang duluan menemukan Nahdan.

Setelah di depan pintu kamar, Reihan rasakan jantungnya berdebar sangat cepat ketika tahu pintu itu tidak terkunci. Setelah dibuka, benar saja ada Nahdan di dalam. Nahdan tersentak karena melihat pintu dibuka. Dia terlihat baru saja mengganti seragam dengan baju biasa.

“Eh? Ngapain? Ada yang ketinggalan? Gua lagi nggak enak badan, jadi izin balik ke asrama.” Nahdan terkekeh sembari mengusap tengkuknya. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu baru saja menangis atau sedang marah.

Nahdan dibuat heran oleh Reihan yang termenung di pintu kamar. Mata si ketua kelas juga memerah seolah menahan tangis, dan nampak makin jelas ketika Reihan melangkah masuk lalu menutup pintu.

Dia menatap Nahdan lagi. “Lu nggak marah?” Tanyanya setelah berhasil menetralkan nafas yang sempat memburu.

“Marah? Kenapa?”

“Karena yang di kantin tadi.”

Hahaha, enggak. Buat apa?” Nahdan tertawa di akhir kalimat. Dia berbalik untuk mencari kursi lalu duduk di atasnya. Nahdan tersenyum melihat Reihan yang masih menatapnya. Buat tatapan yang tengah berdiri menyendu.

Senyum Nahdan pudar saat pemuda di depan sana duduk di lantai, bersimpuh tepat di depannya. “Lu ngapain, anjing?”

“Gua mau minta maaf.”

“Hah? Apa sih?” Nahdan menjauhkan lututnya yang hampir disentuh Reihan. Dia menatap sebal. “Lu aneh banget. Gua marah buat apa coba?”

Reihan masih setia duduk di bawah, dia sengaja menatap Nahdan dengan wajah memelas. Buat yang ditatap makin kesal.

“Lu ngarep gua cemburu? Ha? Kagak! Gua nggak cemburu. Suka-suka lu mau ngegebet siapa aja, bukan urusan gua.”

“Jadi sebenernya lu emang marah, kan?”

Nahdan tidak langsung menjawab. Kalimatnya seolah tertahan di tenggorokan dan dadanya sesak sekali. Mungkin ia bisa langsung menangis walau hanya satu kata saja yang diucap. Reihan masih melihat ke arahnya, lelaki itu bergeser mendekat dan menyentuh kedua lutut Nahdan.

“Ndan.” panggilnya.

Daripada menyahut, Nahdan lebih memilih menunduk. Dia tidak mau menatap Reihan.

“Ndan?” Reihan berusaha melihat wajah Nahdan yang semakin tertunduk.

Nahdan menggeleng. “Gua nggak marah.” katanya dengan kepala masih tertunduk.

Reihan diam memperhatikan lelaki di depan sana, menunggu kalimat lanjutan yang akan diucapkannya.

“Gua... gua nggak kenapa-napa.” Nahdan mulai memainkan ujung bajunya. Sudah jadi kebiasaannya jika sedang bingung. Reihan sendiri juga bingung harus membalas dengan kalimat apa.

Keduanya tidak ada yang berbicara sampai satu menit kemudian. Nahdan sudah berhasil menetralkan sesak di dadanya dan berani menatap mata Reihan. “Lu nggak mau balik ke sekolah?”

Reihan menggeleng, “Nggak.”

Nahdan tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap pipi Reihan yang masih duduk di bawah. “Tumben. Emang tadi udah izin?” Dia alihkan tangannya untuk menyisir helaian rambut Reihan ke belakang.

“Udah, kok.”

“Hmm, terus? Sekarang mau ngapain?” Nahdan kembali menarik tangannya. Namun Reihan menahan, dia genggam tangan yang tadi menyentuh kepalanya lalu mengecup jemari Nahdan.

Reihan menggeleng lagi, “Nggak tahu, gua cuma mau disini.” Selanjutnya ia merebahkan kepala di paha Nahdan sembari meletakkan tangan yang bersangkutan di atas kepalanya. Nahdan yang mengerti pun mengusap kepala si ketua kelas.

Lima belas detik berlalu, Nahdan sibuk berdebat dengan dirinya sendiri tentang kejadian di kantin tadi. Saat Reihan masuk ke kantin, dia tahu Adhi; siswa dari kelas sebelah yang juga pernah sekelas dengannya itu yang menghampiri Reihan duluan. Orang itu sengaja bertingkah sok dekat dengan Reihannya.

Nahdan akui, tadi dia sempat marah dan ingin memaki Reihan karena terlihat menikmati tingkah sok akrab si Adhi. Namun setelahnya dia merasa bersalah ketika melihat Reihan membuka pintu kamar. Pemuda itu nampak habis berlari, dilihat dari nafasnya yang memburu dan bulir-bulir keringat di dahinya.

Satu pertanyaan muncul di benak Nahdan. Apa mereka masih berteman?

“Rei.”

“Hm?” Yang dipanggil menyahut.

Nahdan menggigit bibir bawahnya sekilas, coba menetralkan detak jantung yang tiap detiknya makin menggebu. “Kita masih temenan ya?”

Reihan mengangguk setelah mengangkat kepala dari paha Nahdan. “Iya, masih.” Dilihatnya Nahdan tersenyum.

Nahdan kembali mengulurkan tangan untuk menangkup kedua pipi Reihan, membuatnya bisa lebih leluasa memandangi wajah rupawan tersebut. Ibu jarinya mengusap lembut pipi yang dipandangi. Sedangkan Reihan balas menyentuh pergelangan tangan Nahdan, mengusapnya pelan.

“Tapi gua nggak bisa jadi temen lu, Rei.” Nahdan tersenyum walau hatinya nelangsa. “Gua suka sama lu, gua nggak mau cuma jadi temen. Gua mau lebih!”

“Ndan,”

“Tapi kalau lu nggak bisa bikin gua jadi pacar lu, gua nyerah aja. Gua minta maaf, tapi gua nggak bisa jadi partner ciuman lu terus-terusan.”

Reihan mengubah posisi bersimpuhnya jadi berlutut, dia jauhkan tangan Nahdan dari pipi. “Ndan, gua—”

“Iya! Gua tahu lu pasti bakal ngelaporin gua yang jualan rokok. Nggak masalah, laporin aja. Dari awal emang harusnya gua dihukum.” Nahdan perlahan menarik tangannya dari pegangan Reihan. “Tapi makasih loh, lu udah ngasih hukuman yang lebih sakit dari hukuman yang ada di sekolah.” Nahdan tertawa pelan, dia menunduk untuk mengusap mata yang berair.

Sesak di dadanya makin menjadi-jadi karena membayangkan Reihan akan meninggalkannya setelah ini. Nahdan bisa lihat dari sudut pandangnya, Reihan berdiri. Dia rasa akan menangis kencang jika laki-laki itu beranjak keluar kamar.

Grep.

Nahdan sempat menahan nafas sekitar lima detik setelah Reihan menariknya ke dalam pelukan. Bisa dia dengar lelaki itu tertawa pelan sembari mengusak gemas rambutnya.

Di sela-sela tangis, Nahdan mengumpat, “Si bangsat, ngapain ketawa?” Walau kesal setengah mati, tapi Nahdan lebih memilih balas memeluk Reihan daripada mendorongnya.

“Udah, udah. Jangan nangis. Sini gua mau lihat muka nangisnya.”

Nahdan menggeleng kuat saat merasa Reihan mendorong pelan pundaknya. Dia eratkan pelukan lalu menenggelamkan wajah di perut Reihan. Membuat yang dipeluk makin tertawa.

“Lucunyaa.” Reihan kecup kepala Nahdan berkali-kali, sebelum mengusaknya lagi. “Gua juga suka sama lu, Ndan. Malah gua yang duluan suka, jauuuhh sebelum kita masuk sekolah ini.”

Nahdan tidak merespon, dia masih menenggelamkan wajah di perut Reihan.

“Lu inget nggak? Waktu masih SMP lu pernah minjemin komputer yang udah lu sewa buat gua ngerjain tugas.” Ada jeda sebentar, Reihan mengusap rambut Nahdan. “Waktu itu hampir tengah malam, tapi warnet masih rame. Gua disuruh nunggu, karena semua komputer penuh. Terus lu dengan baik hatinya logout dari game, lu bilang tugas gua lebih penting.”

Nahdan mulai melonggarkan pelukannya guna fokuskan diri dengan cerita Reihan. Dia masih ingat, saat itu dia kasihan melihat anak seumurannya menunggu hampir satu jam di kursi warnet.

“Gua masih inget, lu dateng ke gua buat nawarin komputer yang lu pake. Terus habis gua selesai, gua mau ganti biaya waktu yang gua pake tapi lu bilang nggak usah. Lu manis banget waktu itu, Ndan. Di mata gua lu udah kaya malaikat, karena kalau gua nggak pulang cepet bisa-bisa kena marah Mama.”

Nahdan menjauhkan kepala dari tubuh Reihan, dia mendongak untuk melihat wajah pemuda yang beberapa hari ini sukses membuat moodnya naik turun. Reihan tersenyum, “inget, kan?”

Nahdan mengangguk, “Iya, inget. Tapi gua nggak inget muka lu.”

“Ya iyalah nggak inget, kita cuma ketemu sebentar.”

“Tapi kok lu inget?”

Reihan menggedikkan bahu, “Entah. Kenapa ya? Gua juga nggak paham.”

Nahdan merengut, tidak puas dengan jawaban Reihan. Membuat yang lebih tua beberapa bulan tertawa gemas. Reihan kembali memeluk Nahdan, kali ini sangat erat sampai membuat calon kekasihnya mengerang protes.

“Utututu lucunyaa.” Bukannya melepas pelukan, Reihan malah menghujani Nahdan dengan kecupan-kecupan sayang. Setelah Nahdan pasrah karena lelah berteriak barulah dia berhenti.

“Hari ini hari pertama kita ya?” Nahdan bertanya setelah bebas dari pelukan Reihan. Dilihatnya lelaki itu berpikir dulu sebelum mengangguk.

“Ayo. Tapi nggak apa-apa?” Reihan sedikit tidak enak. Takut kalau hari ini kurang berkesan untuk Nahdan.

“Ya, nggak apa-apa. Perlu banget yang romantis?”

“Engga, sih.”

“Ya udah. Ayo ciuman.” Nahdan memposisikan tangannya di tengkuk Reihan.

“Hah?”

“Oh? Lu nggak mau nyium gua?” Nahdan menaikkan suaranya, tidak lupa memasang ekspresi marah untuk menakut-nakuti orang yang barusan resmi menjadi pacarnya.

“Mau, kok. Mau banget sayang.”

Setelahnya mereka berciuman. Menikmati hari pertama mereka dengan suka cita. Sedangkan tiga orang yang belum dikabari tentang keberadaan Nahdan sudah kembali ke dalam kelas.

“Kita tunggu aja, bentar lagi paling si Nahdan ngetweet.” Jenaka berucap setelah mendengar Norman berdecak untuk ke sekian kalinya.