Cuddle

Lima menit sebelum jam delapan malam Nahdan sudah berdebar-debar duluan. Dia tidak bisa tenang sampai terus mondar-mandir di dalam kamar. Berkali-kali ia memeriksa ponsel untuk melihat apa Reihan mengirim pesan baru atau tidak.

Dia mengoceh sendiri setiap merasa Reihan terlalu lama. Kadang Nahdan juga menebak-nebak ada dimana sekarang si Reihan itu. Rasanya ingin bertanya, namun gengsi. Bisa-bisa Reihan gede rasa dan terus menggodanya.

Tadi sebelum Reihan mengirim pesan tentang membutuhkan Nahdan, sebenarnya Nahdan sudah siap dengan baju yang akan dipakai pergi bersama Zidan. Dan kini baju itu sudah berganti dengan kaos oblong dan celana training yang biasa ia kenakan untuk tidur.

Tepat jam delapan lewat delapan belas menit, Reihan pulang. Tapi Nahdan bertingkah seolah-olah dia tidak menunggu kedatangan pemuda itu. Reihan melihat teman sekamarnya yang sedang duduk di kasur sambil main game mobile, hendak menghampiri namun dia harus mandi. Jadi Reihan memutar langkah ke arah lemari lalu masuk ke kamar mandi.

Nahdan mengalihkan fokus dari ponsel untuk melihat ke arah pintu kamar mandi yang baru ditutup Reihan. Jantungnya berpacu makin cepat kala membayangkan tampilan Reihan yang menurut Nahdan sangat seksi tiap habis mandi. Tidak sampai sepuluh menit, Reihan sudah keluar dengan keadaan rambut yang basah. Juga Nahdan sudah kembali berpura-pura fokus dengan ponselnya.

Reihan mengeringkan rambut menggunakan handuk untuk beberapa saat. Dia terus curi-curi pandang ke arah Nahdan, hendak mengatakan sesuatu tapi selalu ia urungkan. Setelah merasa rambutnya tidak sebasah sebelumnya, Reihan kembali ke kamar mandi untuk menggantung handuk. Nahdan sempat melirik sebentar sebelum kepala Reihan muncul dari balik pintu.

Pelan-pelan Reihan melangkah ke arah kasur yang Nahdan tempati. Dia hampir mendudukan diri jika Nahdan tidak langsung turun dari kasur dan berdiri berhadapan dengannya. Dahi Reihan berkerut sebentar, namun selanjutnya dia mendekat untuk memeluk Nahdan. Dimana pergerakan tersebut membuat Nahdan Mengira Reihan hendak menciumnya. Setelah mendapati Reihan hanya memberi pelukan, Nahdan jadi sedikit malu.

“Cape banget, Ndan. Semuanya dibebanin ke gua.” Reihan bergumam sembari mengusel ke perpotongan leher Nahdan. Dia eratkan pelukan di tubuh pemuda itu hingga tangan Nahdan ikut melingkar di tubuhnya.

Reihan mengecup leher Nahdan sekali sebelum ia lanjut mengeluh. “Mereka kaya nggak ngehargain gua. Di mata mereka gua nggak pernah ngapa-ngapain gitu, padahal ya gua usahain terus apa yang mereka mau.”

Nahdan tidak tahu konteks dari yang disampaikan Reihan, tapi sepertinya itu keluhan si teman sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Nahdan yang anak tunggal sejak lahir tidak akan paham dengan posisi Reihan. Tapi dia tetap ingin menghibur.

“Itu tandanya lu emang kuat dan hebat, Rei. Mereka tahu lu bisa lebih dari yang sekarang.” Nahdan berucap, nyaris berbisik karena posisi bibirnya lumayan dekat dengan telinga Reihan.

Kalimat Nahdan membuat Reihan terkekeh, “Masa sih? Menurut lu gua begitu ya?”

Nahdan mengangguk, “Iya.”

Pelukan dilepas oleh Reihan, membuat yang dipeluk menahan helaan nafas kecewa karena kehilangan kehangatan. Padahal tubuh Reihan sangat pas di pelukannya, pasti akan lebih menyenangkan jika bisa memeluk Reihan sepanjang malam.

“Mau tidur sekasur nggak?”

Nahdan hampir mencubit dirinya sendiri karena telah melontarkan pertanyaan aneh barusan. Dia semakin malu setelah melihat ekspresi Reihan yang nampak kaget, namun untungnya kini lelaki itu tersenyum. Tidak disangka-sangka Reihan akan mengangguk, membuat dua anak adam itu berbaring di kasur yang sama. Karena lebar kasur yang tidak terlalu luas; sangat pas-pasan jika ditiduri dua orang membuat bagian tubuh keduanya saling menempel.

Reihan duluan yang melakukan pergerakan ketika Nahdan ditelan rasa canggung. Dia menarik teman sekamarnya untuk tidur berpelukan. Tidak lupa Reihan mengusap rambut dan punggung Nahdan, juga memberi kecupan-kecupan singkat di pelipis.

Nahdan temenung beberapa detik. Selanjutnya dia mendongak untuk memberi jatah ciuman kepada Reihan. Nahdan hanya mengecup lalu Reihan yang lanjut melumat, menghisap, mengulum, dan menjilati bibir manis nan kenyal tersebut. Dia sangat suka sampai tanpa sadar tangannya sudah menahan kepala bagian belakang Nahdan. Kakinya juga naik melingkar di pinggang pemuda itu, memeluknya bagai bantal guling.

Keduanya mengatur nafas setelah ciuman mereka dilepas. Reihan bisa lihat bibir Nahdan membengkak karena ia hisap terlalu kuat, itu membuatnya makin bernafsu untuk melahap si bibir. Nahdan pejamkan mata ketika Reihan mulai mengecupi wajahnya. Entah kenapa perut Nahdan dibuat geli tiap kali Reihan melakukan itu, dia merasa disayang.

Setelah membuka mata, tatapan teduh Reihan yang pertama kali menyapanya. Jantung Nahdan mungkin sudah keluar melalui mulut dan kedua matanya sudah berbentuk hati jika ia berada di dalam kartun. Dalam artian dia benar-benar jatuh hati dengan Reihan, si ketua galak yang terlalu patuh aturan.

Siapa sangka ketikan asal Nahdan yang mengatakan Reihan itu tidak terlalu jahat dan pendiam memang ada benarnya. Mungkin juga karena faktor anak pertama, Reihan seolah sangat ahli dalam memanjakan orang lain. Nahdan sampai merasa mau selalu berada di dekat Reihan, mau setiap saat bisa memeluk laki-laki itu.

Jemari Reihan tiba di pipi Nahdan, mengusapnya perlahan sebelum mendaratkan kecupan di hidung sang empu. Nahdan bergumam, lalu menguselkan wajahnya di leher Reihan. Itu membuat si pelaku terkekeh.

“Lucunyaa.”

Nahdan tidak merespon. Dia lebih memilih mengeratkan pelukan.

“Padahal gua yang butuh dikelonin, kan gua yang sedih.” Reihan berguman di sela-sela mengusap rambut Nahdan.

Mengerti apa maksud dari ucapan Reihan, Nahdan menjauhkan wajah lalu mendongak. Dia tertawa dulu sebelum bergeser posisi agar kepala Reihan sejajar dengan lehernya. Tanpa basa-basi Reihan langsung menenggelamkan wajah disana, menghirup aroma menyegarkan dari tubuh Nahdan.