Ke Markas Gentala.

tw // violence , blood , kidnapping

Nakula memindahkan tang yang berada di saku depan ke belakang karena benda itu mengganggu pergerakan kakinya. Dia melangkah pelan melewati beberapa preman yang sekiranya ada hubungan dengan Gentala. Topi jaket dia rapatkan guna menutup sebagian wajah. Bukannya sombong, tapi Nakula memang lumayan terkenal.

Dia coba mengingat-ingat dimana posisi markas Gentala. Harusnya sih sebentar lagi sampai, jadi dia berlari kecil melewati belakang pertokoan. Kakinya melangkah masuk ke wilayah gelap, perlahan sebab tanah yang basah. Ketika matanya menangkap tiga sosok pria yang bersantai di belakang sebuah ruko, dia langsung menghampiri.

“Kalian Gentala?” Nakula bertanya, tangan dia masukkan ke dalam saku celana.

Tiga orang tadi menoleh, salah satu dari mereka membuang rokok yang tinggal sedikit. Dia berludah sekali sebelum bergerak maju menghadap Nakula.

“Kalau iya kenapa?” Dagu pria itu naik, memberi kesan menantang.

Duagh.

Satu tonjokkan mendarat di hidung si pria, Nakula sebagai pelaku kembali mendaratkan pukulan pada rahang. Pria tadi terhuyung ke belakang, dia meringis lalu mengambil langkah mundur sambil membiarkan teman-temannya maju.

Pria kedua melayangkan tinju, namun dihindari Nakula. Dia balas pukulan tadi ke arah perut bagian dada lawannya, tepat mengenai tulang rusuk. Nakula mencengkram pundak si lawan sambil berkali-kali hantam bagian rusuk. Pria satu lagi menendang pundak Nakula, membuat pemuda itu terdorong mundur.

Nakula membenarkan posisinya. Dia mengepal dua tangan di depan wajah. Matanya menatap lurus bersiap mematahkan serangan yang akan dilakukan dua lawan di depan sana.

Perkelahian tidak berlangsung lama. Ketiganya terkapar dengan nafas yang memburu serta nyeri di bagian tubuh tertentu. Nakula berjalan ke arah salah satu pria, menarik kerahnya sampai badan itu terangkat dan bersandar di tembok ruko. Dia keluarkan tang dari dalam saku. Nakula buat si pria mendongak.

“Kita buat kesepakatan. Gua nanya terus lo jawab. Kalau pertanyaan gua nggak dijawab gigi lo gua cabut.” Nakula mengarahkan tang ke arah bibir lawannya, tang itu segera ditahan oleh si pria.

“J-jangan.”

Tangan tadi ia tepis lalu menginjaknya hingga terhimpit di antara tembok dan tapak sepatu. Pria itu meringis kuat, selanjutnya mengangguk cepat sambil memegangi lengan Nakula yang masih menjambak rambutnya.

“Lo liat anak SMA yang jalan di sekitar sini? Dia bawa tas punggung, make jaket warna hijau gelap.”

Nafas si pria tercekat saat merasa kulit kepalanya semakin ditarik. “Banyak anak SMA yang lewat wilayah sini, terus yang make jaket hijau gelap juga bukan satu orang.”

Nakula menggeram, “ada lebam di wajahnya. Kulit anak itu kecokelatan terus dia pernah dikejar salah satu anggota kalian. Masa nggak tahu?” ucapnya menggebu sambil kembali menginjak lengan si pria.

“Arrhk! T-tidak! Tidak tahu.”

Tangan Nakula bergerak cepat, dia menjebit bibir bagian bawah si pria dengan tang. Menghasilkan jeritan keras dibarengi air mata yang menetes perlahan dari pelupuk korbannya. Dua pria di belakang berdiri, mereka lari terbirit-birit sambil merapal beberapa kata.

“Itu Nakula! Itu Nakula!”

“Bangsat! Kenapa tadi mukanya nggak keliatan?”

Nakula berhenti menjepit bibir pria tadi. Matanya pura-pura menatap iba, “sakit?”

Si pria mengangguk, “iya, ampun ampunn.”

“Jawab dulu! Lo lihat dia apa nggak?”

Hampir saja tang tadi menjepit lagi, namun si pria segera berkata,

“Nama!” Gerakan Nakula terhenti.

“Mungkin kalau aku tahu namanya, aku bisa jawab.”

Diam sejenak, Nakula coba mengingat siapa nama anak yang sedang dia cari. Seingat dia ada huruf O di belakang nama orang itu.

“O.”

Dahi si pria berkerut, “o?” beonya.

“Gue nggak inget. Yang jelas ada o di namanya.” Nakula berucap sensi, berniat mendaratkan pukulan.

“Tunggu! Namanya Deo? Iya, kan? Namanya Deo?” Si pria menjawab cepat, nafasnya memburu seiring jantung yang terus berdebar.

“Ah, iya betul. Dimana Deo?”


Deo merasa dunianya berputar. Kepala yang tergolek lemah dia paksa mendongak, mata dia buka perlahan. Tidak terlalu sulit karena pencahayaan ruangan yang minim. Butuh waktu dua menit sampai Deo sadar bahwa tangan dan kakinya terlilit lakban.

“Hah?”

Untungnya mulut tidak ditutup apapun. Dia bergeliat bagai ulat hingga terjatuh dari kursi. Tubuhnya benar-benar disegel. Bahkan di setiap pergerakan terasa perih karena dililit terlalu kuat. Nafas Deo memburu seiring keringat bercucur deras dari seluruh pori-porinya. Dia panik. Mata melirik liar ke seluruh penjuru ruang. Dari yang Deo tangkap, ini adalah kamar mandi.

Ada bak besar yang terisi air, ruangannya juga luas dengan beberapa keran menempel di dinding, seperti pemandian umum. Dia berputar ke arah pintu, sangat pelan karena setiap putaran seolah mampu mengeluarkan seluruh isi perut. Saat jarak tubuh dengan pintu keluar semakin tipis, tiba-tiba saja daun pintu terbuka. Menampilkan sosok pria tinggi yang menyeramkan.

Deo menatap ngeri pada orang disana. Ada bekas luka di alis juga lehernya dipenuhi tato. Mata tajam si pria langsung menatap Deo. Ia menyipit sembari mengeluarkan tangan dari dalam saku. Jantung Deo berdebar kencang seolah protes ingin keluar dari rongga dada ketika pria itu mendekat. Si pria berjongkok, dia menyisir helaian rambut yang menutupi telinga Deo.

“Kau dari grup mana?”

Pertanyaan tidak langsung dijawab sebab Deo tidak tahu harus menjawab apa. Itu pertanyaan serupa dengan yang pernah dilontarkan Jupiter. Ia berpikir sesingkat mungkin, tidak mau pria di depan sana malah mengamuk dan berakhir dipukuli.

“Aku tidak punya.”

“Hm?”

Plak.

Satu tamparan mendarat di pipi. “Yang benar?”

“B-benar.”

“Nggak usah bohong!” Kali ini tangan si pria menarik kerah jaket Deo. Ia seret anak itu hingga di tepi bak air, lalu membuat tubuh Deo duduk.

“Aku tidak bohong. Aku baru saja kabur dar—”

Belum usai kalimat terucap, kepala Deo sudah dibenamkan ke dalam air. Gelembung air bergerak cepat seiring oksigen yang terus keluar dari mulut dan hidung Deo. Si pelaku tidak  berekspresi, dia tetap menekan kepala korbannya di dalam sana.

“Jaga-jaga kalau kau lupa ingatan.” ucapnya setelah melepas kepala Deo. Dia biarkan si sandera kembali tergolek di atas lantai, kali ini dengan nafas yang semakin memburu. Kerah jaket Deo kembali ditarik. “Jadi kau dari grup mana?”

Deo menggeleng lemah.

Plak.

Tamparan kembali mendarat. Lebih kuat dari sebelumnya hingga mampu membuat tubuh Deo terbanting ke atas lantai.

“Jangan bohong!” Pria tadi berucap lebih keras.

Dia berdiri sambil menarik rambut Deo, menyeret anak itu sampai ke pintu keluar. Diabaikannya suara ringisan dan permohonan ampun dari Deo.

“Ampun, Tuan. Aku tidak bohong, aku bukan anggota grup manapun.”

“Bohong! Kau keluar dari wilayah Atharwa, bahkan sampai ditolong Nakula.”

Air mata kembali mengalir dari pelupuk Deo, ada rasa menyesal karena sudah kabur dari rumah. Jika sudah begini, rasanya ayah yang mengamuk jadi terasa lebih baik daripada amukan orang asing yang tengah menyeretnya. Ia pasrahkan beberapa helai rambut tercabut oleh tangan kasar si pria. Selanjutnya tubuh Deo dibiarkan di atas lantai semen yang tidak rata.


“Yakin disini?” Nakula melirik curiga pada pria yang menuntun jalan.

Si pria menatap ngeri sebelum mengangguk cepat, “benar disana.”

Yang lebih muda tersenyum, menarik kerah pria yang sejak tadi ia cengkram. Nakula membawa pria itu melangkah bersama, masuk ke dalam gym kosong yang sudah tua.

“Kalau Deo nggak ada disini, mata lo gua bikin buta ya.”

Sambil menahan rasa ngeri, pria itu mengangguk. “Aku berani sumpah.”

“Gaya bener, emang bayaran sumpah lo apaan?”

“Apa aja.”

“Nyawa mau?”

“N, nggak.”

Nakula berdecak, “tadi katanya apa saja. Omdo ahh.”

“ARRRKKHHH!!!”

Langkah dua orang tadi terhenti. Suara teriakan itu berasal dari sisi terdalam gym. Nakula mendorong pria tadi, dia yakin sekali itu Deo. Pria tadi langsung berlari pergi setelah cengkraman di kerah terlepas. Nakula sempat menggeram dan hendak mengejar, namun sudut matanya menangkap sesuatu.

Beberapa preman lain berada di depan salah satu ruangan. Dua orang berjongkok sambil memainkan kartu, tidak lupa batang rokok yang diapit di mulut. Salah satu dari mereka berdiri, dia terlihat paling kuat. Rokok dibuang ke arah lantai lalu diinjak. Langkah kaki belasan orang terdengar kemudian, dalam waktu sepuluh detik Nakula sudah dikepung.

“Nakula, Nakula.”

Yang dipanggil tidak merespon. Dia sudah menebak kalau tiga orang di belakang ruko tadi cuman jebakan. Mana ada Gentala yang langsung mengaku saat ditanya.

“Lo masih ingat sama luka yang ini?” Pria di depan melangkah maju sembari menunjuk wajahnya. Terdapat bekas luka memanjang dari pelipis hingga pipi.

Nakula memasukkan tangan ke dalam saku celana. Menggedikkan bahu sekilas sebelum berkata, “nggak tuh, emang kita pernah ketemu?”

Jawaban tersebut mendapat respon tawa melengking. Rasa jijik dan dongkol menggerogoti dada si pria. Dia berdecak keras, “ck! bajingan busuk!”

Satu orang di belakang Nakula melayangkan pukulan dengan tongkat bisbol. Untung dapat dihindari karena sang target langsung sadar sebab mendengar deru nafas memburu dari arah belakang. Nakula menarik lengan pemuda itu untuk menyikut bagian ulu hati.

Serangan pertama tadi seolah aba-aba mulai dalam pertandingan. Belasan preman yang ada disana berlomba-lomba menyerang Nakula. Pemimpin mareka menggeram kesal karena bukannya nampak kewalahan, Nakula malah menikmati pertarungan yang berlangsung.

Tongkat bisbol yang Nakula rebut di awal tadi mulai berlumuran darah. Dia tidak segan bila harus mematahkan tulang dan gigi lawan. Kalau bisa mereka tidak bisa menjadi preman lagi setelah m bertarung dengannya.

“Segini doang?” Nakula tertawa. Belasan orang tadi sudah terkapar di lantai gym. Dia melirik ke arah pemuda yang masih bergerak sambil merintih pelan. Nakula berjalan mendekat lalu menginjak perut anak itu.

“Akhh..”

Nakula merunduk dengan tatapan seram miliknya. Dia tersenyum lebar menikmati wajah tersiksa di bawah sana. Selanjutnya dia lanjut melangkah guna mendekati pria yang sekiranya pemimpin dari kelompok barusan.

“Mau langsung ngasih Deo ke gue atau mau main-main dulu?”

“Ngomong apa sih? Disini nggak ada yang namanya Deo.” Pria itu tersenyum dengan ekspresi yang menurut Nakula sangat menyebalkan.

Tongkat bisbol yang kotor itu ditodongkan. “Gue nggak bodoh ya, anjing! Kasih tahu dimana Deo atau besok lo nggak bisa ngeliat muka adek lo lagi?”

Ekspresi pria di depan sana mengeras setelah mendengar kata 'adek'. Memancing senyum tipis terukir di sudut bibir Nakula.