Kejar-Kejaran
tw // violence , blood , mention of abusive parent , mention of murder
Sudah lewat tengah malam, tapi Deo masih tidak ada niat mencari tempat tinggal walaupun uang yang ada di dalam tas sangat cukup untuk menyewa satu kontrakan. Dia memperbaiki posisi gendongan pada tas, lalu mengancingkan jaket sampai atas. Suhu malam ini lebih dingin dari sebelumnya.
Pemuda itu melangkah pelan melewati jalan berbatu. Ditemani langit tanpa bintang dan cahaya redup dari lampu jalan dan teras rumah warga. Tangan ia masukkan ke dalam saku jaket, mencari kehangatan di dalam sana.
Siang tadi dia hampir dirampok, sorenya nyaris dicopet, dan tidak ada yang bisa jamin barang-barangnya tidak hilang jika dia tidur. Mata yang mengantuk Deo kerjap beberapa kali, kepalanya pusing.
Saat tiba di jalan setapak minim rumah warga, suara bising mesin motor terdengar dari belakang. Cahaya terang dengan cepat mendekat. Insting Deo berteriak panik, meminta sang empu segera berlari. Namun belum sempat kaki melangkah, sebuah benda tumpul sudah lebih dulu menghantam tengkuknya.
“Yuhuu! Kena!”
Sorak-sorakkan dari tiga motor tersebut terdengar. Deo menyentuh tengkuk yang terasa sakit. Pukulan tadi harusnya mampu membuat ia tumbang, namun karena pukulan ayah berkali-kali lipat lebih sakit, jadi Deo mampu bertahan.
Dia menatap tajam tiga motor yang sudah memutar arah, melaju ke tempatnya. Terlihat ada enam orang, yang duduk di kursi belakang membawa satu balok kayu. Pantas saja tidak terlalu sakit, Deo biasanya dipukul dengan tongkat besi.
Perlahan orang-orang tadi membuat satu baris, tiga orang yang duduk di belakang memposisikan balok kayu untuk memukul. Deo merampas satu balok lalu mengaitkan benda itu pada sela-sela roda. Membuat satu motor terbalik dengan pengendara yang terseret.
Untuk motor kedua, dia melayangkan satu tendangan tepat di kepala pengendara yang tidak memakai helmet. Motornya oleng, diikuti motor di belakang yang juga kehilangan fokus. Deo segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Berlari ke tempat yang bangunannya lebih rapat.
Kakinya dipacu semakin cepat saat indera pendengar menangkap suara motor. Detak jantung Deo ikut terpacu. Tidak pernah dia berpikir hidupnya bisa seperti sekarang. Semuanya berantakan. Andai saja dia tidak kabur, mungkin dia hanya perlu menghindari amukan sang ayah. Tidak perlu berlari kesana kemari sambil membawa tas punggung yang berat.
“Bodoh! Buat apa ngeluh?” Deo bergumam sendiri.
Mengambil langkah cepat memasuki lorong berupa celah antar dua restauran. Dia berhenti lari karena lampu belakang restauran yang masih menyala, kemungkinan ada orang di dalam. Deo mengatur nafas sambil bersandar di dinding, lututnya terasa mau lepas dan betisnya menegang kuat.
Tanpa sepengetahuan Deo, dua motor tadi berhenti. Mereka seolah dihalangi sesuatu hingga tidak bisa masuk ke dalam kawasan penjual makanan.
“Gimana, nih? Dia masuk ke wilayah Atharwa.” satu diantara mereka berucap.
Yang lainnya menggeleng, kecuali satu orang.
“Ngapain takut? Udah tengah malam gini anak-anak Atharwa pasti lagi tidur.” Dia hendak melajukan motor, namun orang yang duduk di belakangnya menahan.
“Nggak, jangan! Gua nggak mau ikut.”
“Pengecut.” Pria itu pun turun. Dia menyerahkan kendali motor pada lelaki di belakangnya. “Kalian tunggu disini. Gua yang bakal habisin si tikus.”
Deo masih sibuk mengatur nafas. Dia lepas tas yang berada di punggung, membiarkannya tergeletak di atas tanah. Tubuh pemuda itu merosot pelan, terduduk. Pandangannya semakin tidak fokus seiring nafas yang perlahan teratur. Deo nyaris saja tertidur jika tidak mendengar suara langkah kaki mendekat.
Dia segera mengambil posisi berdiri, berjalan mundur saat mendapati seorang lelaki berjalan sambil memegang balok. Orang itu tertawa seolah menikmati ekspresi lelah yang ditunjukkan mangsanya. Selanjutnya Deo menarik nafas dalam, mencoba memfokuskan seluruh indera.
Si pria yang lehih dulu meluncurkan serangan. Dia ayunkan balok kayu ke arah kepala Deo. Dengan cepat si sasaran menangkis balok dengan lengannya. Setelah itu Deo meluncurkan tendangan lurus tepat di ulu hati si pria. Harusnya serangan itu mampu membuat lawan tumbang, namun karena tenaga Deo yang tinggal sedikit membuat damage serangannya berkurang.
Deo kembali melayangkan tendangan. Kali ini dengan gerakan memutar agar tenaga serangannya bertambah. Sial sekali, karena pandangan Deo yang tidak fokus membuat lawannya dengan mudah mengelak. Pukulan balok mengenai lengan kirinya yang sedang menangkis, pukulan semakin bertubi-tubi saat si lawan tahu Deo semakin terpojok ke arah dinding.
Pintu belakang restauran terbuka, menampilkan sosok Nakula yang menenteng kantong berisi sampah. Lelaki itu sempat kaget dengan pemandangan di depan sana, namun selanjutnya dia kembali menutup pintu. Tidak terlalu rapat, karena mau memantau perkelahian.
Sesekali Nakula berdecak kagum dengan gerakan Deo yang nampak indah. Namun dia tahu anak itu tidak bisa menang sebab sudah kehabisan tenaga. Dia bahkan terhuyung saat tidak sengaja menginjak kaleng soda, memudahkan lawan untuk menghantam wajahnya. Mata yang mengintip disipitkan saat punggung pria pembawa balok berhadapan langsung dengannya.
Logo di jaket itu...
...bangsat.
Nakula menggeram lalu meraih palu yang tergantung di samping pintu. Dia biarkan kantong sampah tergeletak di atas lantai. Selanjutnya berjalan cepat guna menghantam kepala pria tadi dari samping. Orang yang dipukul segera menjaga jarak, memegangi bagian kepalanya yang berdarah. Nakula menggenggam erat gagang palu.
“Nakula?” Si pria langsung pucat pasi. Orang yang paling dihindari oleh kelompoknya malah muncul di depan mata.
Nakula si kejam. Kabar beredar dari mulut ke mulut, katanya pemuda pemilik senyum manis itu nyaris tidak mempunyai hati. Oh, bukan nyaris, tapi memang tidak punya hati.
“Gua paling nggak suka kalau ada grup lain yang masuk ke wilayah kami tanpa izin. Apalagi sampai bikin rusuh.” Palu tadi diangkat, ditodongkan ke wajah pria di depan sana.
Deo perlahan bangkit sambil memegangi rahangnya yang terasa ngilu. Memejamkan mata sebentar untuk menetralkan rasa sakit di kepala, lalu dikagetkan dengan suara keras yang dihasilkan dari pukulan Nakula. Suaranya seperti tulang patah.
“Arrghh!” Si pria berlutut dengan tangan yang memegangi lengan. Darah mulai bercucuran dari sana.
Deo terbelalak. Ternyata lelaki yang memakai seragam pelayan restauran ayam itu menggunakan sisi belakang palu untuk memukul. Satu pukulan kembali mendarat, kali ini menggunakan pegangan palu, tepat mengenai ubun-ubun si pria. Nakula mendengus melihat lawannya berlutut nyaris bersujud.
Dia berjongkok untuk menjambak rambut si pria. Menarik helaian itu kuat-kuat hingga membuat empunya mendongak.
Setelah satu geraman, dia berkata, “gua suka ngehajar muka orang, tapi muka lo udah hancur. Gimana dong? Tetep gua hajar nggak ya?” pertanyaan Nakul dilontarkan dengan nada mengejek yang begitu kentara. Tangannya sibuk memutar-mutar palu sebelum menghantam telak pada tulang pipi pria tersebut.
“Hehehe, tambah hancur, deh.”
Dia biarkan korbannya terkulai lemas. Pukulan di pipi tadi pasti sakit. Seharusnya pria itu pingsan. Untuk memastikan keadaan lawan, Nakula menginjak punggung pria itu dengan seluruh bobot tubuh bertumpu pada satu kaki.
“Aaarrgghh!”
“Hooo, pura-pura ya?” Dia berjongkok di punggung si pria. Sengaja menginjak-injak logo yang paling dia benci dengan tapak sepatu yang kotor. Tangannya menarik salah satu telinga lawan, mengarahkan bagian palu yang lancip disana.
“ARRGHHH!”
Luka menggores tepat di daun telinga. Nakula tertawa bersama erangan pria yang kini dia duduki.
Kaki Deo semakin lemas. Ditambah kini Nakula menyeret pemuda tadi, menjambak rambutnya guna dibenturkan ke dinding beton. Berkali-kali sampai pria itu tidak bersuara lagi. Setelah memastikan lawannya tidak sadarkan diri, dia melepas tubuh yang terkulai lemas.
Deo bergerak mundur saat Nakula menoleh ke arahnya. Lelaki itu mengulas senyum lebar, “maaf ya.” katanya.
“P-pembunuh.”
Deo menyesali ucapannya, karena kini senyum Nakula berganti dengan ekspresi menyeramkan seperti sebelumnya.
“Lo bilang apa?”