Kemalangan Sekejap Mata.
tw // violence , mention of violence
Nakula menghela nafas, dia lelah menghadapi Deo. Anak itu daritadi ribut mau membeli ponsel baru. Padahal sebelumnya Nakula sedang menikmati waktu santai, ditemani secangkir kopi tubruk dan beberapa batang rokok.
“Emang kenapa sih, kalau speakernya rusak? Kan masih bisa lewat chat aja, nggak perlu telponan atau VN.”
“Gua perlu buat nonton youtube!”
Wah, lihat anak kurang ajar itu. Berani-beraninya dia meninggikan suara pada Nakula.
“Gua kaduin ke Kak Juna lu ya? Mati lu di tangan dia.” Nakula tunjuk wajah Deo sekilas, membuat tangannya menjadi fokus utama yang lebih muda.
Setelahnya Deo menggeram, alisnya menukik tajam sembari menatap lurus pada Nakula. Ia jalan mendekat ke arah lawan bicaranya—Nakula duduk di tikar. Lalu Deo duduk bersimpuh. Perlahan wajahnya dibuat memelas.
“Kak Nakulaa, please~” Ia memohon setelah menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.
Nakula buang muka ke samping, kembali menghisap rokok yang sempat terabaikan. “Nggak boleh!” tegasnya.
Wajah memelas Deo kembali mengeras. “Ya udah! Gua pergi sendiri.”
“Loh?”
Belum sempat Nakula menahan lengan Deo, pemuda itu sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Ia ambil sejumlah uang dari dalam ranselnya, lalu melengos melewati Nakula yang sudah berada di pintu kamar.
“Anjiing.” Nakula mengumpat sebelum ikut keluar rumah.
Selain takut kaki Deo kenapa-napa, sebenarnya Nakula juga takut dengan sinar matahari. Jidatnya pegal karena selalu mengerut tiap matanya menyipit untuk menghalau cahaya berlebih.
“Hati-hati nyimpen duitnya.” Ucap Nakula sembari menyamai langkah dengan Deo. Pemuda itu masih merajuk atas penolakan tadi.
“Iyaa.” Deo berdecak pelan sebelum menjawab.
Benar-benar, anak itu sangat menguji kesabaran Nakul. Jika bukan karena Kak Juna, mungkin Deo sudah ia tendang.
“Jangan di saku belakang.” Nakula tahan tangan Deo yang berniat memasukan beberapa lembar uang di saku belakang celana. “Kemalangan sekejap mata, jangan lu remehin.”
“Iya, iyaa.” Deo menarik tangannya agar lepas dari genggaman Nakul.
Bukan karena kesal, tapi karena dia takut tangannya dibuat patah. Walau Nakula sudah sangat baik padanya, Deo masih sering takut. Apalagi ketika Lelaki itu sudah memarahi Brian, suaranya bisa menembus langit saking kerasnya.
“Pelan-pelan jalannya.”
Suara ketus Nakula kembali menyapa indera pendengar Deo. “Iyaa.” sahutnya lagi.
Nakula sesekali curi pandang ke arah kaki Deo, memperhatikan ada yang aneh dari langkah lelaki itu atau tidak. Dia lihat salah satu warung soto milik salah satu mutualnya di twitter—Riel. Sedikit was-was bertemu, karena gadis itu sering kali menjahilinya.
“Nakula!”
Mungkin keberuntungan tidak berpihak pada Nakula. Langkahnya langsung berhenti, diikuti Deo—dia menoleh cepat walau bukan namanya yang dipanggil. Suara barusan berasal dari Riel. Dia segera keluar dari warung setelah menyapa.
“Hahaha, haii jagoan! Udah makan belum? Soto bapak gua enak, nih.” Senyum merekah Riel tunjukan setelah berada di depan Nakula dan Deo. Suara riangnya hampir terdengar ke sepanjang jalan saking kerasnya.
“Nggak dulu. Gua mau nemenin Deo.” Nakula menunjuk Deo yang sedang menatap heran.
Wajah Riel beralih menghadap Deo. “Oh, Deo? Haloo! Salam kenal.” Dia ulurkan tangan dan langsung disambut Deo.
“Eh, iyaa. Kenalin, Deo.”
“Gua Riel. Kapan-kapan makan disini ya, gratis kalau buat Atharwa.” Riel berucap sembari mengedipkan sebelah matanya.
Sedangkan Deo tersenyum canggung lalu mengangguk, “iyaa, terima kasih.”
“Dah! Dah!” Nakula menarik pundak Deo agar menjauh dari Riel. Gadis itu jika dibiarkan berdekatan dengan orang yang baru dia kenal, pasti akan mengoceh panjang lebar untuk mengakrabkan diri.
“Kami pamit ya.” Selanjutnya Nakula menarik lengan Riel agar dia menyingkir dari depan. Perempuan itu nampak merengut dan hendak menendang Nakula, namun si Nakul mengelak duluan.
Tidak lupa Nakula meledek tendangan Riel yang asal-asalan.
“EH, SEBENTAR!” Riel berteriak ketika baru mengingat pesan ayahnya tadi. Ada makan siang untuk Juna dan Yandra yang belum diantar ke Toko Atharwa.
“Paan?”
“Sini dulu, gua kasih titipan Kak Juna.”
Nakula menghela nafas sebelum masuk ke dalam warung. Deo tidak ikut karena sepertinya Nakula tidak akan lama. Dia melihat-lihat banner yang dipajang di depan warung. Membaca menu-menu yang tertulis disana. Ternyata bukan cuma soto, ada beberapa makanan khas lain.
Asik memperhatikan banner, Deo tidak sengaja menyenggol orang yang lewat. Sebenarnya Deo yang ditabrak, tapi ia rasa karena tanpa sadar mengambil langkah mundur jadi orang itu tidak sengaja menabraknya.
“Maaf.”
Tidak ada respon dari orang tadi. Dia berlalu saja meninggalkan Deo yang tidak enak hati. Sebelum kembali melihat ke dalan warung, Deo tersadar ada yang aneh dengan tubuhnya. Seolah ada yang kurang.
Dia meraba-raba saku celananya lalu tersadar ternyata tidak ada lagi uang di dalam sana. Deo menoleh, lihat punggung pria yang menyenggolnya tadi.
“Mas!”
Pria itu langsung lari setelah mendengar panggilan dari Deo. Membuat Deo tanpa pikir panjang langsung berlari mengejar. Di saat yang sama Nakula dan Riel sudah keluar dari warung.
Nakula melongo mendapati Deo yang tiba-tiba berlari, sedang Riel mencondongkan badan untuk melihat ke arah mana Deo pergi.
“Kayanya dicopet.” Riel melirik ke arah Nakula. “Gimana, nih?”
“Gua bantu kejar dulu.” Nakula menyerahkan kantong plastik berisikan soto pada Riel, “Pegang bentar.”
“Oke.”
Deo berlari sekuat tenaga, mengejar copet yang kini berjarak beberapa meter di depannya. Si copet nampak masuk ke dalam jalanan sempit, dihimpit dua bangunan ruko. Ketika ikut masuk ke dalam, penciuman Deo disambut bau lembab.
Terlihat beberapa ekor ayam bertengger di atas tempat sampah, di ujung jalan sebelum akhir dari dua bangunan ruko. Pencopet yang berupa lelaki berjaket hitam menendang tempat sampah itu hingga ayam berterbangan. Sebab sampah yang berserakan, Deo makin sulit untuk mengimbangi jarak. Belum lagi dia yang tidak hafal setiap jalur yang ada di daerah sini.
Sambil terus mengejar, Deo memutar otak. Matanya melirik cepat ke segala arah, coba mencari sesuatu yang bisa menambah laju larinya. Sesekali Deo meringis karena merasa jari kaki yang terluka nyeri. Setelah melewati barisan ruko, mereka tembus ke jalanan pasar yang cukup padat.
Deo mati-matian mengingat gambar pakaian di bagian punggung si pencopet agar tidak kehilangan jejak. Jantung dan paru-parunya berkerja keras untuk berdesakan di kerumunan orang. Jauh di depan, Deo lihat pencopet tadi seperti masuk ke celah kecil— lagi.
Mungkin ini yang dinamakan karma. Deo mencuri uang itu dari ayahnya, lalu sekarang uang itu dicuri lagi entah oleh siapa. Langkah kakinya sudah nyaris putus asa. Beberapa detik setelah berlari masuk ke dalam celah tadi, terlihat si pencopet terduduk melihat Nakula tengah berdiri di atas atap salah satu toko.
“Kak Nakula?”
Pencopet tadi menoleh, wajahnya pucat pasi setelah mendengar kata 'kak' dari mulut Deo. Sedang Nakula yang sedang berdiri di atas ruko pelan-pelan mengambil langkah sebelum turun.
Ia melompat ke bawah, tepat di hadapan lelaki berjaket hitam tadi. Kerah si pencopet ditarik kasar, ia memohon ampun lalu dengan sukarela mengembalikan uang Deo. Nakula ambil uang tadi sebelum memberikannya pada Deo.
Deo sendiri belum sadar dari kagetnya.
Sejak kapan Nakula mengikuti mereka? Bukannya tadi Nakula masih bersama Riel?
Plak.
Deo tersentak. Satu tamparan mendarat di pipi si pencopet. Saking kerasnya pukulan tadi, tubuh laki-laki itu mungkin bisa tersungkur jika kerahnya tidak ditahan Nakula.
Deo beranikan diri untuk melihat wajah Nakula. Lelaki itu benar-benar marah. Walau Nakula memang selalu marah, tapi sebenarnya dia tidak pernah betul-betul marah. Deo tahu karena dia selalu memperhatikan ekspresi yang dikeluarkan Nakula. Wajah Nakula yang seperti ini persis dengan wajah Nakula saat pertama kali bertemu dengannya.
“Gua nggak paham, kita ketemu udah yang ketiga kali, kan?“
Plak.
Tamparan kembali mendarat. Laki-laki itu meringis diiringi air mata yang keluar dari sisi yang sama dengan pipi yang ditampar. Deo membeku, dia merasa deja vu. Kini matanya hanya tertuju pada tangan Nakula yang sudah siaga untuk menampar lagi.
“Katanya mau berubah!”
Plak.
“Tapi tetep aja lu nyuri buat judi, kan?”
Plak.
“Padahal emak lu di rumah sakit-sakitan.”
Darah mulai menetes dari bibir yang dipukul. Deo menutup mata sebelum satu tamparan lagi mendarat.
Plak.
“Nggak tahu diri!”
Plak.
Plak.
Plak.
Nakula melepas genggaman di kerah si pencopet, biarkan tubuh berisi tersebut terjatuh di atas tanah. Ringisan dari si pencopet membuat Deo membuka mata. Dia lihat Nakula tengah mengatur nafas, wajah pria itu memerah. Entah karena kepanasan atau karena emosi, mungkin karena keduanya.
Nakula hampir mendaratkan satu tendangan jika Deo tidak segera melerai.
“Kak Nakula! Udah.” Deo cepat menahan lengan Nakula. Dia menarik lelaki itu menjauh dari tempat itu, biarkan pencopet tadi meringkuk sendiri di dalam lorong.
Deo melihat ke belakang sebentar. Hatinya tersayat ketika tahu ada seorang ibu yang menderita di balik perbuatan pencopet tadi. Ia lihat wajah Nakula dari samping, rahangnya masih mengeras. Deo lepaskan pegangannya di tangan Nakula sembari lanjut melangkah mengimbangi.
Lima menit berlalu, baik Nakula maupun Deo tidak bersuara. Mereka sudah di bagian luar pasar. Diam-diam Deo bernafas lega karena tidak perlu berdesakan. Sebelum naik ke trotoar jalan, Nakula menarik Deo agar berjalan di sebelahnya.
“Jangan jauh-jauh, ntar dicopet lagi.”
“Iyaa.”
Deo sedikit tidak enak, tapi sempat tersentuh dengan perlakuan Nakula. Ia menurut dengan berjalan di sebelah si jagoan yang katanya dulu suka berbuat onar. Tidak heran, melihat bagaimana reaksi pencopet tadi saat melihat Nakula. Deo jadi merasa perlu menjaga sikap pada lelaki di sebelahnya, walau Kak Juna menjamin keselamatan Deo.
Tanpa sengaja Deo malah menjaga jarak dan kembali ditarik Nakula.
“Nggak usah bandel. Tadi lu dicopet karena nggak mau dengerin gua, sekarang jangan diulang lagi.”
Deo melihat Nakula sekilas, jantungnya hampir copot karena kaget. Nakula bermain ponsel menggunakan tangan kanannya, sedang tangan kiri memegang lengan Deo. Bukan jenis genggaman yang mesra dan hangat, lebih seperti seorang ayah yang menarik paksa anaknya pulang ke rumah setelah seharian main. Genggaman Nakula juga tidak lembut. Bisa dipastikan lengan Deo akan memerah setelah ini.
Tapi sebenarnya Nakula tetap memiliki sisi lembut, walau tidak sampai sepuluh persen karena sifat kasarnya sudah jelas mendominasi sekitar sembilan puluh persen. Deo menunduk, memperhatikan langkah kakinya. Matanya menangkap bungkusan perban yang menutup beberapa jari kaki. Tiba-tiba ia merasa sedih, harusnya Deo menurut saja waktu Nakula melarangnya keluar.
Setelah mengetik beberapa pesan pada Riel—tentang titipan Kak Juna yang tidak bisa dia antar, ponsel kembali dimasukan ke dalam saku. Nakula melihat Deo yang seolah menunduk sembari menekuk wajah. Ternyata Deo yang ia sangka mandiri bisa memasang wajah merajuk seperti itu. Nakula tertawa di dalam hati, sebelum melepas genggaman dan beralih merangkul Deo.
“Nggak usah ngambek. Ntar kita cari smartphone bagus yang speakernya anti rusak, oke?”
Deo masih cemberut, namun dia mengangguk sembari bergumam.
“Senyumnya mana jagoan? Udah hebat nih tadi, berhasil ngejar pencopet sampe pasar.” Nakula berucap, menyemangati Deo.
Yang disemangati menoleh sebentar untuk menyetor senyum yang Nakula minta. Terdengar sorakan meledek dari yang bersangkutan.
“Lain kali nurut ya. Disini nggak sama dengan tempat tinggal lu sebelumnya.” Nakula tersenyum setelah Deo mengangguk. “Pinter.”