Ketahuan
Nahdan mematung di depan pintu kamar. Pemandangan di dalam kamar begitu horror untuknya. Disana Reihan, teman sekamarnya sedang duduk di kursi yang sengaja pemuda itu posisikan berhadapan langsung dengan pintu masuk. Mungkin Reihan memang mau membuat jantung Nahdan serasa copot setelah membuka pintu kamar. Reihan dengan tatapan menyebalkannya tersenyum, dia goyang-goyangkan sebungkus kotak rokok yang mungkin tercecer saat Nahdan membereskannya tadi—sebelum pergi main.
“Masuk dulu dong, ngapain di depan situ kaya rentenir nagih hutang?” Reihan terkekeh di akhir kalimat. Nahdan tahu betul itu bukan jenis kekehan yang memberi tanda bagus, bulu kuduknya sampai merinding.
Demi ocehan Norman yang tidak pernah tuntas, Nahdan sama sekali tidak punya firasat buruk saat bermain tadi. Dia cenderung merasa hari-harinya akan indah sampai esok hari. Mau tidak mau Nahdan melangkah masuk. Dalam pikirannya sudah mulai mengumpulkan cerita karangan yang pas untuk menjawab pertanyaan Reihan. Tidak lupa ia menutup pintu, supaya tidak ada saksi mata di kejadian yang akan berlangsung.
Nahdan meneguk ludah ketika sudah tepat di depan Reihan. Pemuda itu menyilangkan kaki sembari meletakkan kotak rokok ke atas paha, selanjutnya Reihan menatap wajah Nahdan—mendongak karena posisinya masih duduk.
“Jadi, lu ngebawa rokok ke asrama?”
'Ya menurut lu gimana?' Sayangnya kalimat itu hanya bersarang di dalam kepala Nahdan. Dia lebih memilih mengangguk pelan sambil berucap, “Iya, bener.”
Reihan nampak mengangguk-angguk pelan, terdengar gumaman sebelum ia lanjut bicara. “Yahh, gua nggak masalah sih.” Mata Reihan melirik ke arah lain sebelum kembali melihat Nahdan.
Nahdan yakin sekali Reihan baru saja menatapnya remeh, walau hanya sekitar beberapa detik karena selanjutnya lelaki itu berdiri sambil melihat ke arah pintu masuk.
“Tapi gimana yaa...” Reihan maju selangkah untuk memotong jarak diantara mereka, tidak lupa memperhatikan ekspresi yang ditampilkan teman sekamarnya. “Kalau guru-guru tahu murid mereka yang nggak pernah kena kasus aneh-aneh ternyata penyedia rokok untuk siswa-siswa bermasalah?” Reihan tersenyum karena melihat raut wajah laki-laki di depannya berubah panik.
“Jangan.” Nahdan berujar, dia bahkan menahan lengan Reihan yang tengah menggenggam kotak rokok.
Pikiran Nahdan mendadak kosong. Dia tidak bisa menemukan jalan keluar dari situasi ini. Satu sisi dia tahu Reihan bukan orang yang mudah dibujuk, dia terlalu tegas dan patuh dengan peraturan. Namun di sisi lain dia butuh untuk membujuk Reihan. Jika tidak, Norman dan Jenaka sudah pasti akan terkena getah dari kesalahannya.
Sebelumnya ia yakin rokok-rokok itu sudah disimpan rapi dan tidak mungkin tercecer. Tidak mungkin kan, Reihan sengaja memeriksa lemari Nahdan itu menemukan satu bungkus rokok.
Reihan menatap bingung, “Kenapa? Takut?”
Mendengar suara Reihan membuat Nahdan kembali ke realita, dia menatap wajah ketua kelasnya tersebut yang jaraknya mungkin cuma sejengkal dari wajahnya. Tatapan Nahdan turun ke arah bibir Reihan, mendadak teringat solusi bodoh yang asal diketiknya pada Jenaka. Bagaimana jika ternyata cara itu ampuh?
Reihan yang sadar dengan arah tatapan Nahdan berdecak kuat. Membuat yang tertangkap basah kembali fokus menatap matanya. Reihan mengangkat lengannya yang masih mengenggam kotak rokok, juga masih digenggam oleh Nahdan.
“Jangan dikaduin.” Nahdan berucap duluan sebelum Reihan bicara.
“Nggak bisa. Kalau ntar ketahuan sama orang lain, pasti gua juga ikutan kena.”
Jawaban Reihan membuat lutut Nahdan lemas, namun dia tidak menyerah dan tetap menahan Reihan supaya tidak keluar kamar.
“Gua janji nggak bakal ketahuan. Please, Rei.”
Reihan tidak langsung merespon. Dia lumayan kaget saat mendapati Nahdan memelas kepadanya. Sedangkan Nahdan yang berbuat, rasanya sudah mau mengubur diri karena malu.
“Gua bukan emak lu, Ndan. Muka anak anjing kelaparan nggak bakal mempan.”
Sialan. Nahdan tahu Reihan akan merespon begitu, tapi dia tetap kesal.
Masih belum menyerah, Nahdan kembali memohon. Kini sampai menggenggam erat tangan Reihan, sesekali berusaha untuk menelusupkan jemarinya guna merebut kotak rokok. Jika benda itu berhasil dirampas, dia pasti aman. Reihan tidak akan punya bukti lain jika Nahdan menyembunyikan semua rokok-rokoknya setelah ini.
“Reihan, pleasee... gua mohon banget. Gua begini buat nambah jajan, Reii...” Nahdan terus berucap melas di sela-sela aksi tersembunyinya.
Namun Reihan tetap Reihan. Dia tidak luluh sedikitpun. Bahkan dia malah menggenggam erat kotak rokok tadi, sampai benda itu remuk dan batang rokok di dalamnya tidak bisa digunakan lagi. Nahdan meringis, dia rugi sekitar dua puluh lima ribu.
“Gua nggak peduli. Masih banyak cara lain daripada jualan rokok. Minggir, Ndan.”
“Nggak mauu!” Nahdan beralih menahan dua pundak Reihan, menahan anak itu untuk tidak beranjak dari depannya. “Reihan, pleasee... gua tahu lu masih punya hati.”
“Iya, gua juga masih punya otak. Minggir!”
Habis sudah kesabaran Nahdan. Dia mendorong Reihan ke atas ranjang yang memang tepat dibelakangi pemuda itu. Reihan terkejut, begitu juga dengan si pelaku yang bergerak mengikuti instingnya. Dia menahan kedua tangan Reihan agar tidak memberontak, lalu pejamkan mata dan mendekatkan wajah untuk mengecup bibir teman sekamarnya itu.
Ternyata tidak sesulit yang Nahdan kira. Mungkin karena Reihan yang masih kaget, jadi dia tidak sempat untuk terlalu berontak. Tapi masalahnya, Nahdan tidak tahu apa yang harus dilakukan saat berciuman. Dengan penuh keraguan dia melumat bibir Reihan. Rasanya kering karena bibir pemuda di bawahnya memang pecah-pecah. Nahdan mencoba menjilati belahan bibir Reihan agar lebih mudah dilumat.
Satu menit berlalu dan Reihan masih diam saja. Perasaan ragu yang sempat Nahdan tepis kembali hadir. Dia mengangkat wajahnya, melihat Reihan yang ternyata tidak memejamkan mata sama sekali. Tatapannya bahkan terlalu biasa saja untuk orang yang barusan dicium mendadak. Otak Nahdan langsung mengirim sinyal bahaya, dia harus kabur.
Namun belum sempat ia berdiri, kaki Reihan lebih dulu melingkar di pinggangnya. Reihan tarik kuat kerah baju Nahdan setelah genggaman di tangannya melonggar, membuat pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya tertarik ke atas kasur. Reihan memutar posisi sampai dia yang menindih Nahdan. Tidak lupa menahan kedua tangan yang baru saja membatasi ruang geraknya.
“Sshh, diem.”
Nahdan menatap horror pada Reihan yang kini berada di atasnya. Tangan kiri pemuda itu mencengkram rahang Nahdan, sedangkan tangan kanannya menahan dua tangan Nahdan. Tidak sampai lima detik, bibir keduanya sudah kembali bertemu. Kali ini Reihan yang menutup mata sedangkan Nahdan terbelalak, masih belum lepas dari rasa kaget.
Kedua belah bibirnya terasa dilumat dengan tempo beraturan. Hisapan-hisapan pelan tidak lupa dibubuhi Reihan guna sedikit menjahili Nahdan. Selanjutnya yang dicium melenguh kencang ketika bibir bawahnya dihisap kuat. Reihan telusupkan tangannya diantara kasur dan kepala Nahdan guna menahan kepala temannya itu agar tidak menjauh. Tangan kanan yang tadinya untuk menahan kedua tangan Nahdan ikut berpindah untuk menahan beban tubuhnya.
Nahdan pening. Dia termenung setelah ciuman mereka dilepas oleh Reihan. Pemuda itu tertawa pelan sebelum kembali mendaratkan kecupan di bibir Nahdan yang basah oleh saliva. Reihan menyingkir dari atas tubuh temannya, dia biarkan juga Nahdan berlari keluar kamar.