Persis Seperti Saat Itu
tw // bullying , mention of violence , post traumatic
Brian melihat ponsel untuk ke sekian kalinya. Sudah lebih dari lima menit dia menunggu. Brian tidak suka menunggu. Kalau bukan karena demi Jupiter dia pasti sudah kembali ke kelas dan membatalkan pertemuan dengan Chandra.
Setelahnya Brian menghela nafas, tubuh disandarkan ke dinding bangunan olahraga. Dia melihat langit biru yang hanya dihias beberapa awan. Siang ini sangat terik, jemuran di rumah pasti kering. Walaupun yang mencuci baju itu tugas Yandra, tapi Brian tetap membantu saat melipat pakaian. Jadi biasanya dia senang kalau baju kering sesuai jadwal, karena tidak perlu menambah lipatan di hari berikutnya.
“B-brian?”
Merasa terpanggil, Brian langsung menoleh. Dia melihat Chandra berdiri sekitar satu meter di sebelahnya. Anak itu menunduk setelah bertemu pandang, tangannya juga langsung menyentuh ujung bajunya.
“Iya, duduk sini.” Brian menepuk kursi kayu yang ia sediakan untuk Chandra.
Pemuda yang baru datang mengangguk ragu, lalu duduk di atas kursi. Tangannya masih sibuk memilin-milin ujung seragamnya. Brian baru tahu kalau anak ini ternyata sangat pemalu, jadi untuk mencairkan suasana dia berinisiatif menyentuh pundak Chandra.
Di luar dugaan, anak itu tersentak dan langsung menjaga jarak. Dahi Brian berkerut dalam. Reaksi barusan jelas bukan karena Chandra anak yang pemalu. Anak itu menjauh karena takut. Lihat tangannya yang gemetar itu, juga kepala yang semakin tertunduk.
“Chandra?”
“Ya?” Chandra menoleh sedikit.
“Kenapa takut?”
“Eh? Engga kok.” Dia menggeleng kuat lalu tersenyum setelah sendikit mengangkat kepala.
Brian balas tersenyum. Dia harus fokus dengan masalah Jupiter, jangan sampai menemukan masalah baru hanya karena dia bersimpati dengan Chandra.
“Aku mau tanya-tanya soal Jupiter, boleh?”
Chandra mengangguk, “iya, boleh. Mau tanya apa?”
Brian baru saja membuka mulut, tapi tidak jadi karena dari balik kerah baju Chandra yang terbuka dia bisa melihat ruam kebiruan.
Anak ini dipukuli?
Setelah diperhatikan lagi, pakaian Chandra memang lebih tertutup dari seragam biasa. Dia memakai lengan panjang yang bahkan hampir menutupi telapak tangannya. Kerahnya pun mungkin terbuka karena dia melonggarkan dasi.
“Sebentar.” Brian menarik tangan Chandra lalu langsung membuka kancing lengan anak itu untuk menggulungnya hingga siku. Empunya sempat melawan, tapi Brian menahan.
Benar saja dugaannya. Di sepanjang lengan Chandra ada ruam biru keunguan juga bekas luka yang masih baru. Brian melihat wajah Chandra yang kini memerah, seperti menahan tangis.
“Siapa yang bikin lo sampe begini?”
Chandra menggeleng. Jika dia sampai memberitahu, bisa-bisa di hari selanjutnya dia tidak sanggup hidup lagi.
“Ng-nggak ada. Ini jatoh dari tangga.”
“Jangan bohong. Jelas-jelas ini bekas dipukul.”
Air mata Chandra mulai menumpuk. Dia tidak mau memberitahu, tapi dia takut Brian marah. Dari yang pernah Chandra dengar, Brian itu paling menyeramkan saat marah.
“Bukan kok.” Chandra perlahan menarik tangannya lalu kembali menurunkan lengan baju.
Brian menghela nafas. Dia bisa saja mengabaikan Chandra, tapi dia tidak bisa kalau sampai tidak tidur karena kepikiran. Jadi dia berdiri di depan pemuda itu, lalu menarik kerahnya.
“Ngapain?”
Chandra cemas. Dia menahan tangan Brian yang berada di kerah. Sorot mata lelaki di depan sana begitu menyeramkan, seolah Brian bisa kapan saja menerkam bila ia melawan.
Brian membuka kemeja Chandra untuk memastikan lebam yang berada di leher anak itu. Tapi ternyata luka yang Chandra miliki jauh dari perkiraan Brian.
Itu benar-benar ada di sekujur tubuh. Walaupun Chandra memakai singlet, tapi Brian tahu di balik kain putih itu masih ada lebam-lebam yang lain.
Mendadak perut Brian melilit. Dia mau muntah sebab detak jantungnya meningkat pesat. Bayang-bayang saat di panti dulu juga langsung menyapa kepalanya.
Awal mula dia tahu alasan kenapa bisa hidup enak di panti. Padahal anak-anak lain harus susah payah kerja untuk sekedar mendapat makan. Alasan pemilik panti begitu memuja-muja paras tampannya. Alasan kenapa Dia perlu menjaga pola makan dan rajin olahraga.
Brian pusing. Dia kembalikan kemeja milik Chandra lalu duduk di tempatnya lagi. Kedua siku dia tumpu di paha sambil telapak tangannya mengusap wajah.
“Siapa pelakunya?”
Chandra tidak menjawab.
Brak.
Brian yang geram menendang rongsokan kursi bekas yang berada di sebelah kanannya.
“Jawab, Ndra. Gua paling nggak suka didiemin.” Brian melirik Chandra.
Anak itu gemetar hebat. Dia takut.
Brian menghela nafas. Ini seperti saat pertama kali dia tahu ternyata pemilik panti sering memukuli Jupiter.
“Jangan takut. Gua bakal ngelindungin lo.” Brian raih kedua pundak Chandra. Ia usap lalu menepuk-nepuknya pelan. “Jupiter juga bilang gitu, kan? Jadi kasih tahu gua, biar orangnya nggak berani ngeliat muka lo lagi.”
Chandra menangis. Selama tiga hari ini kehidupan sekolahnya seperti di neraka. Dia tidak bisa mengadu ke orang tuanya karena pihak sekolah hanya akan memberi hukuman seadanya pada pelaku kekerasan di sekolah. Tubuhnya semakin gemetar, membuat Brian tidak tega dan segera memeluknya.
“Nggak apa-apa. Nangis aja dulu, tapi ntar harus kasih tahu ke gua siapa yang bikin lo sampe kaya gini.” Brian mengusap punggung gemetar Chandra. Dia juga mengusap rambut pemuda itu.
Ini persis seperti saat pertama kali Jupiter menangis di pelukannya.
“Bunda panti jahat.” adu Jupiter saat itu.
Brian biarkan kemeja sekolahnya basah karena air mata atau mungkin ingus? Dia tidak peduli.
Brian tahu bagaimana tersiksanya anak ini. Hidup Brian mungkin memang jauh lebih keras, tapi dia punya tiga orang kakak yang siap menghapus semua penjahat yang berani melukainya.
Tapi Chandra seolah tidak punya yang seperti itu. Tidak punya tempat mengadu yang akan melindunginya. Dia kelilingi banyak orang, tapi tetap merasa sendirian.
“W-wisnu—hiks.”
Alis Brian naik. Oh, ternyata Wisnu. Orang yang memprovokasinya saat berada di ruang BK. Ternyata anak itu jauh lebih sampah dari yang terlihat.
“Selain dia ada siapa lagi?”
Chandra sesegukan. Dia berusaha bernafas sebelum menjawab pertanyaan Brian. “Ada Revi sama Aldo.”
“Oohh, oke. Makasih karena udah berani ngasih tahu. Hari ini mereka pasti dapat balasan yang setimpal, tapi lo masuk kelas dulu ya. Hapus air matanya.”
Chandra mengangguk. Dia usap matanya yang masih berair sebelum pamit pergi. Meninggalkan Brian yang rahangnya sudah mengeras. Detik ini juga dia akan mencari dimana Wisnu.