Pukul Tiga Dini Hari (Scorpion).

tw // violence , begal

Pukul tiga dini hari, Dewa baru saja terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Ia memilih keluar rumah untuk berjalan sebentar. Matanya mengedar pandang ke sepanjang jalan perumahan yang ditanam pohon dengan jarak tertentu.

Beberapa menit berlalu, hanya ada suara langkah kaki dan nafasnya sendiri. Sesekali terdengar suara kalelawar yang terbang dari satu pohon ke pohon lain. Setelah setengah jam berjalan, suara ribut mesin motor terdengar dari ujung jalan di belakangnya.

Dewa yang penasaran menoleh ke belakang. Sekitar empat motor dikendarai orang-orang bertopeng—mendekat dengan kecepatan sedang. Bulu kuduk Dewa meremang, instingnya berkata dia harus kabur. Namun empat motor itu lebih dulu mengepungnya.

Tawa melengking terdengar dari salah satu orang. Topengnya yang paling mencolok diantara tiga orang lagi. Topeng itu berwarna merah dengan garis horizontal hitam, di bagian bawah mata topeng tertulis angka romawi VI (enam). Ekspresi topeng yang ia kenakan nampak tersenyum lebar—menampilkan gigi-gigi tajam.

Sedang yang lain hanya terlihat seperti topeng badut yang biasanya ada di sirkus maupun televisi.

Dewa yang ketakutan melangkah mundur, namun satu orang di belakangnya menarik gas untuk menghentikan langkah Dewa. Selanjutnya empat orang itu tertawa bersama sebelum turun dari motor.

“Kalian mau apa?” tanya Dewa, gemetar.

Si Nomor Enam tersenyum di balik topengnya. Palu besar yang ia bawa diangkat untuk disandarkan ke pundak.

“Perkenalkan, kami pemburu tikus. Biasanya selalu ada tikus yang berkeliaran untuk mencari makan saat dini hari.”

Suara pria itu tidak jernih. Terdengar terlalu berat dan bergetar.

Dewa awalnya tidak mengerti apa yang dimaksud si Nomor Enam. Sampai otak pintarnya selesai mencerna maksud kata tikus dari kalimat itu. Sudah pasti tikus yang dimaksud adalah dirinya sendiri.

Nomor Enam memiringkan kepala, heran. Mangsanya tidak merespon sama sekali—hanya mematung dengan wajah pucat. Kebanyakan orang pasti langsung terduduk sambil memohon untuk tidak dihabisi walau hanya sekedar berhadapan dengannya.

“Ternyata kau anak yang berani. Sayang sekali, karena tikus pemberani adalah favoritku, hehehe.” Enam berucap setelah mengangkat palu dari pundaknya.

Tidak sampai lima detik setelah kalimat itu selesai. Tiga orang bertopeng yang sejak tadi diam langsung bergerak memegangi tubuh Dewa. Palu besar itu terangkat tinggi dan Dewa menatap ngeri. Ia memberontak kuat sebelum palu menghantam kepalanya.


Drrtt... drrtt..

Nomor Enam mengeluarkan ponsel dari saku celana. Tertera nama kontak yang sudah sangat dia kenal.

“Ya, Bos?”

Si Enam melihat ke arah tiga temannya sembari mendengarkan apa yang dikatakan oleh Bos.

“Oke, kami pulang.”

Setelahnya empat orang tadi langsung naik ke atas motor masing-masing. Melaju cepat membelah aspal—menuju tempat yang cukup jauh dari permukiman. Gedung tidak terawat terlihat setelah sampai di ujung jalan tak beraspal.

Tidak sampai sepuluh menit, tiga rombongan lagi sampai di depan gedung. Nomor Enam memberi tos pada Nomor Tiga—ekspresi topengnya cemberut dengan corak acak seperti akar pohon. Ada setetes air mata di bawah mata kiri topengnya.

Empat rombongan tadi berjalan masuk ke dalam gedung. Tidak seperti yang terlihat di luar, di dalam sangat nyaman dan terawat. Di beberapa meja bundar tersaji banyak makanan berupa pizza, ayam goreng, pasta, dan kentang goreng.

Woaahhh~ bos ulang tahun, ya?” Si Nomor Lima berdecak kagum. Pas sekali dia belum makan malam dan baru saja menghabisi sekelompok begal yang meresahkan warga beberapa hari ini.

“Heh! Ulang tahun bos masih lama.” Nomor Empat menyahut cepat.

Sahutannya memancing tawa pria yang duduk di salah satu kursi di samping meja. Dia adalah si Bos. Topengnya putih polos bertulis angka romawi I (satu).

“Memangnya kamu tahu tanggal ulang tahun saya?”

Pertanyaan si Bos langsung mengundang tawa orang-orang yang berada di ruang makan. Jangankan tanggal ulang tahun Bos, nama dan wajahnya saja mereka tidak tahu.

“Hahaha, saya bercanda Bos.” Si Empat tertawa canggung.

Bos tersenyum. Dia adalah pemimpin dari grup yang dinamai Scorpion. Berbeda dengan Athrwa dan Gentala, mereka tidak punya wilayah. Scorpion juga tidak seterkenal mereka, karena yang orang-orang tahu mereka hanya geng motor biasa. Terkadang juga mereka dipanggil clown karena mayoritas anggota memakai topeng badut.

Scorpion juga sangat menjaga privasi. Mereka selalu menggunakan topeng dan kadang ada beberapa anggota yang merubah suara mereka—seperti Nomor Enam. Hanya Bos yang tahu siapa yang berada di balik topeng.

Yang tahu pasti berapa anggota resmi Scorpion cuma Bos dan orang-orang yang memiliki nomor. Bos sendiri bernomor satu dan orang yang paling bos percaya ada di nomor dua. Si ahli strategi ada di nomor tiga. Lalu nomor empat, lima, enam adalah orang-orang yang bos akui kemampuan bertarungnya.

“Nomor Dua yang memberi kalian makan malam. Tapi dia berhalangan hadir, jadi meminta saya untuk menyampaikan pesan. Silahkan duduk dulu.”

Semua orang yang bernomor duduk di kursi yang satu meja dengan bos. Sedangkan yang tidak, duduk di kursi yang berada di meja lain.

“Mungkin beberapa kalian sudah tahu. Dua malam yang lalu ada satu anggota Scorpion yang ditangkap Gentala. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana kabarnya, tapi Dua sudah berusaha untuk mendapatkan anggota kita kembali.”

Orang-orang yang hadir langsung heboh. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain, beberapa lagi bersorak heboh.

Bos lanjut bicara dengan suara yang lebih lantang, “Dua berpesan agar kalian tidak gegabah saat menjalankan tugas. Jangan sampai ada orang yang tahu dengan identitas kalian, bahkan dengan sesama anggota. Scorpion tidak akan bertanggung jawab jika kalian tertangkap polisi.”

“Kalian juga dilarang membuka mulut pada siapapun jika ditanyai tentang Scorpion. Jika satu saja informasi Scorpion diketahui orang-orang luar, maka detik itu juga Scorpion bubar.”

Seluruh anggota terdiam. Mereka melihat satu sama lain sebelum kembali fokus dengan yang dikatakan Bos.

“Kalian boleh pulang setelah makan malam selesai. Tapi untuk Nomor Enam, kamu tinggal dulu karena ada yang perlu kita bicarakan.”

Enam mengangguk, “Siap, Bos.”