Satu-Satunya yang Tidak Bisa Brian Taklukan; Rasa Bersalah
tw // violence , mention of blood
Brian tadi bertukar pesan dengan Jenan. Berarti jika ia langsung menyusul ke warung Buk Mirna—pemilik warung yang berada di sebelah sekolah—Brian bisa bertemu dengan Wisnu.
Tangannya sudah mengepal kuat selama berjalan. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun bahkan sebelum melihat Wisnu di depan matanya.
“Wisnu!” Suara penuh emosi Brian segera memenuhi warung. Semua siswa yang berada disana menoleh, termasuk orang yang dipanggil.
Wisnu sedang mengunyah jajanan yang baru saja dia beli. Seringai muncul di wajahnya yang masih sedikit lebam karena dipukul Jupiter kemarin. “Wah, padahal baru aja kacung lo pergi. Sekarang lo udah sampe disini.”
Brian tahu yang dimaksud Wisnu kacung itu adalah Jenan.
“Ikut gua sekarang kalau nggak mau rahasia lo kebongkar di depan kepala sekolah.”
Ekspresi wajah Wisnu langsung tidak bersahabat. “Ha? Gimana maksudnya?”
“Ikut gua kalau mau tahu. Tapi itupun kalau lo nggak takut, sih.” Brian mengulas senyum tipis sebelum beranjak pergi menjauhi warung. Dia membawa Wisnu ke belakang deretan ruko yang belum disewa.
Sesuai dugaan, Aldo juga mengikuti walau hanya Wisnu yang ditantang. Tipe anjing yang setia.
“Ternyata lo punya nyali, ya. Padahal gua Brian Gibson, loh.” Brian sengaja membuat nada menyebalkan untuk memancing emosi lawan yang ada di depan sana.
Wisnu meludah, “cuih! Jangankan elu, Nakula pun masih belum apa-apanya buat gua.”
Brian mengulum bibirnya, hendak tertawa. Sampai saat ini dugaan Brian tentang orang yang bisa menandingi Nakula cuman tiga besar Gentala. Dia bahkan belum pernah sekalipun menang melawan kakaknya yang paling menyebalkan itu. Apalagi Wisnu yang melawan Jupiter saja sudah kewalahan.
“Ya udah kalau nggak takut. Sini serang gua.” Brian menggerakan jari seolah meminta Wisnu mendekat.
Pemuda di depan sana meraung kesal. Dia belari sambil mengayunkan tangan hendak menonjok Brian.
Lihat, awalannya saja sudah terlalu banyak celah.
Brian mengelak ke bawah setelah pukulan Wisnu sudah mendekati pipinya. Dia memeluk pinggang anak itu lalu mendorongnya ke depan. Membuat punggung Wisnu membentur tanah berbatu.
“Akh!”
Selanjutnya Brian menarik kerah Wisnu, hendak mencekik. Namun sudut matanya berhasil menangkap pergerakan Aldo yang mengayunkan kayu ke arahnya.
Brian menghindar ke sisi lain tubuh Wisnu. Anak itu mungkin butuh waktu untuk berdiri. Aldo kembali mengayunkan kayu—yang merupakan patahan kaki meja—untuk memukul. Brian kembali mengelak sembari membenarkan posisi berdirinya.
“Nggak usah sombong, anjing! Lo kalau dikeroyok juga pasti bakal kalah.” Aldo berteriak.
Brian kembali mengelak dari pukulan. Kali ini dia langsung merebut pemukul dan menghantam wajah Aldo menggunakan siku. Pemuda itu terhuyung sambil melangkah mundur. Dia memegang hidungnya yang mengucurkan darah.
Wisnu sudah selesai dari istirahatnya. Dia mengambil batu dan langsung menyerang Brian dari belakang. Batu itu hampir menghantam kepala bagian belakang Brian jika pemiliknya tidak berbalik untuk balas menghantam kepala Wisnu.
Pukulan itu membuat Wisnu terkapar sebentar. Kepalanya mulai berdarah, tapi dia tetap berdiri dan mulai menyerang lagi. Brian dengan senang hati memukul anggota tubuh yang lain. Perut, lengan, punggung, dan kaki.
Aldo tidak berani mendekat. Dia hanya ketakutan melihat ketuanya dipukuli habis-habisan.
Sampai beberapa menit berlalu. Wisnu sudah tidak bisa berdiri lagi. Tanah yang mereka injak sudah dipenuhi bercak darah. Brian melepas kaki meja tadi sebelum menoleh ke arah Aldo. Pemuda itu langsung berlari, tapi Brian tidak akan melepaskannya.
Belum sampai Aldo keluar dari wilayah di belakang ruko tapi tubuhnya sudah tersungkur karena Brian menerjang dari belakang. Kini tubuh tinggi pemuda itu tengah menduduki punggungnya.
“Masa tikus mau lari dari kucing.” Brian berbisik di telinga mangsanya. Membuat Aldo ngeri.
Brian menarik rambut Aldo sebelum beranjak dari atas tubuh anak itu. Dia arahkan Aldo untuk berlutut lalu memukul wajah anak itu berkali-kali. Brian tidak puas jika Aldo cuman menangis, dia ingin Aldo memohon ampun mewakili kedua temannya yang lain.
“A- ampwuun..”
Buagh.
Setelah mendaratkan satu pukulan terakhir. Brian menarik kerah Aldo. “Apa tadi? Ampun?”
Aldo mengangguk cepat. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan jelas karena wajahnya membengkak.
Plak.
“Kurang ajar. Memang kalian langsung berhenti waktu anak-anak yang kalian pukul minta ampun?”
Plak.
“Jawab!”
Bugh.
Aldo gemetar. Air matanya mengalir deras, “ampwun! Ampwun... K-kwami salaahh.”
Plak.
Tamparan terakhir Brian daratkan. Dia langsung berdiri membiarkan Aldo terduduk sambil terisak-isak. Anak itu merunduk seolah sedang sujud di hadapan Brian.
“Ampwuni kwamii.. jangan pwukul lagi—hiks.”
Brian tidak menjawab. Dia mengusap wajahnya lalu pergi meninggalkan Aldo yang sedang menangis. Gemuruh di dadanya tidak berhenti walaupun amarahnya sudah terlampiaskan. Brian sama sekali tidak lega.
Langkahnya terasa berat seiring suara tangis Aldo yang menghilang dari indera pendengarnya.
Dia tidak salah.
Tidak perlu merasa bersalah.
Orang-orang yang dia pukuli adalah orang jahat, tidak perlu merasa bersalah.
Tapi bagaimanapun caranya, Brian tidak mampu meyakinkan diri sendiri. Dia juga jahat. Membuat anak seumurannya menangis sampai memohon ampun seperti tadi.
Bukannya ini sama saja dengan kekerasan yang dilakukan Wisnu pada Chandra?
Atau berbeda karena tujuan Brian untuk membela korban?
Brian tidak tahu. Dia tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya seperti yang dilakukan Bang Na tiap kali selesai menghabisi musuh.
“Kalau nggak dibikin sampai hampir mampus, mereka pasti bakal balik lagi buat bales dendam. Lo harus bisa bikin lawan takut bahkan cuman buat denger suara langkah lo.”
Itu kalimat Nakula setelah mengajari Brian bagaimana cara menang melawan preman di pasar. Saat itu Brian ragu untuk membuat lawannya pingsan. Tapi sekarang dia bahkan tidak ragu lagi walau lawannya pingsan, menangis tersedu-sedu, bahkan memohon-mohon seperti tadi.
Tetapi rasa bersalahnya tidak pernah hilang.