Ternyata Bukan Rumah yang Aman. (Jupiter & Brian)
tw // violence, abusive , sexual harassment , mention of blood , mention of sex , mention of murder , pedophilia , gengster , mention of death .
Jupiter Pov
Panti Asuhan Teratai Mekar, disana tempat tinggalku. Berada di daerah Selatan, lumayan dekat dengan perbatasan Selatan-Timur. Di panti kami, anak-anak yang berprestasi dan anak yang biasa-biasa saja ditempatkan terpisah. Aku anak nakal yang bodoh. Seharusnya aku tidak bisa mendapat fasilitas bagus dari panti asuhan jika tidak punya bakat dalam olahraga.
Pengasuh bilang, itu dilakukan supaya kami—anak-anak pintar bisa fokus belajar dan berlatih. Diantara kami tahu anak-anak yang biasa saja akan disuruh berkerja. Kadang kami merasa kasihan saat bertemu dengan mereka di luar panti. Ada yang menjualkan barang di pasar, ada yang saat malam hari harus bantu mengangkat sayuran yang akan dikirim ke kota lain. Namun karena selalu dipuji spesial, kami jadi tidak peduli dan lebih memilih bangga dengan diri sendiri.
Biasanya anak-anak di tempatku lebih cepat diadopsi daripada anak yang biasa saja. Brian sempat hampir diadopsi, tapi entah kenapa calon orang tua angkatnya berubah pikiran dan mengadopsi anak lain. Untungnya Brian tidak terlalu sedih, dia bilang lebih nyaman jika berada di panti bersamaku.
Seperti manusia pada umumnya, aku memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ketika teman-temanku berkumpul di sudut kelas untuk menonton video yang kata mereka bagus dan panas, aku ikut duduk di antara mereka. Mengabaikan kemungkinan Brian akan mengomel karena aku tidak ikut ke kantin.
Aku sangat terkejut saat menonton. Darahku mengalir cepat seiring detak jantung yang meningkat. Rasanya aneh melihat dua manusia berbeda jenis kelamin melakukan sesuatu seperti di dalam video. Namun di sisi lain aku merasa penasaran dan ingin menontonnya sampai selesai.
Sejak hari itu aku mencari tahu apa yang dilakukan dua orang di dalam video kemarin. Ternyata nama kegiatan itu adalah seks. Pasangan suami istri biasa melakukannya untuk membuat keturunan. Tapi teman-temanku lebih sering menyebutnya ngentot dan ngewe.
Aku dan anak-anak panti lain—terutama Brian sepertinya tidak ada yang paham dengan hal seperti itu. Kami tidak memiliki ponsel, juga akses internet sangat dibatasi. Izin untuk keluar panti juga susah didapat. Sedikit banyak aku merasa senang karena mengetahui sesuatu yang mereka tidak ketahui.
Tapi rasa senangku harus berakhir ketika salah satu pengasuh memintaku untuk ke kamarnya. Dia membuka pakaian satu persatu setelah memintaku duduk di kasur. Aku jelas saja kaget, aku tahu maksud dari membantu yang pengasuh itu katakan.
“Jupiter mau kan bantuin Bunda? Kamu anak baik, Bunda sayang sama kamu.”
Aku merinding tiap kali mengingat bagaimana ekspresi dan suara Bunda Aya—si pengasuh waktu itu.
“Maaf, Bunda. Tapi Jupiter nggak bisa bantu.”
Aku menolak dengan baik-baik awalnya. Tapi karena terus dipaksa, aku jadi tidak sengaja berbuat kasar dengan mendorong Bunda. Aku berlari keluar kamar dan langsung masuk ke kamarku yang juga dihuni lima anak panti yang lain. Brian terlihat sedang membuat perkerjaan rumah.
Dia menatapku heran, “Kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng. Tidak memberi kalimat apa-apa dan langsung tidur di kasurku. Bayang-bayang kejadian beberapa menit lalu masih amat segar di kepalaku. Bagaimana mungkin orang yang sudah kuanggap seperti orang tua sendiri berbuat seperti itu?
Besoknya aku dipanggil ke ruangan pengasuh. Perasaanku tidak enak, apalagi setelah mendapat tatapan aneh dari beberapa pengurus. Disana aku dimarahi habis-habisan. Mereka mengoceh tentang sopan santun dan sebagainya. Bukannya merasa bersalah, aku malah kesal dan menjawab pernyataan mereka—Niatku untuk membela diri.
“Tapi itu nggak wajar, Bunda. Aku tahu sesuatu yang seperti itu nggak boleh sembarangan dilakukan. Lagian aku masih di bawah umur.”
Tapi tiba-tiba Bunda Aya menamparku. Sangat kuat sampai pipiku terasa sangat nyeri; sudah pasti kulitnya memerah. Aku menatap tidak percaya. Di ruangan ada sekitar tiga pengasuh dan mereka masing-masing memukulku beberapa kali. Bukan dengan tangan kosong, tapi juga dengan tangkai sapu dan rotan.
Aku gemetar ketakutan. Secara impulsif aku meringkuk seolah bersujud pada mereka.
“Maaf Bunda, Jupiter salah. Jupiter udah sok tahu, tolong maafin Jupiter.”
Begitu permohonan maafku saat itu. Aku memang dibebaskan setelahnya, tapi dengan syarat tidak memberi tahu siapa-siapa, juga harus menyembunyikan luka-lukaku. Untungnya yang dipukul cuman bagian badan yang tertutup baju.
Setelah seminggu, aku melihat Brian dipanggil oleh Bunda Aya. Aku mengikuti mereka. Firasatku mengatakan, Brian akan menurut karena dia sama sekali tidak paham. Benar saja, aku mendengar kegiatan mereka dari depan pintu. Brian banyak bertanya kenapa mereka harus melakukan itu dan Bunda Aya dengan santainya menjawab, “Ini karena Bunda sayang sama kamu.” Aku menggeleng dan segera beranjak pergi sebelum ketahuan oleh pengasuh lain.
Tiap kali diajak melakukan seks, aku selalu menolak. Aku tidak nyaman dan rasanya mual tiap kali membayangkan aku melakukannya bersama pengasuhku sendiri. Akibatnya aku selalu dipukuli, kadang sampai tubuhku berdarah lalu pingsan karena kesakitan. Setelah bangun, aku akan langsung pergi ke kamar. Tidak lupa membasuh lukaku tanpa memberinya obat.
Orang pertama yang curiga adalah Bang Jaya—salah satu teman sekamarku. Dia jarang ada di panti. Aku baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk. Bang Jaya masuk ke dalam kamar, dia berganti pakaian. Biasanya dia tidak peduli dengan apa yang kami lakukan, tapi hari itu Bang Jaya langsung menanyaiku. Mungkin karena dia melihat aku seperti sedang menahan sakit.
“Kamu kenapa?”
Walaupun kaget mendengar suaranya, aku tetap tersenyum. “Nggak apa-apa. Kecapean habis latihan.” Jawabanku mungkin tidak memuaskan, karena dia langsung menatapku dari atas sampai bawah. Bang Jaya mendekat sampai jarak kami tinggal satu langkah. Tiba-tiba tangannya terulur untuk menyentuh perutku, tepat di bekas pukulan pengasuh. Mau tidak mau aku meringis.
“Kamu luka?”
Aku mengangguk, “Iya, kena bola.” Tidak lupa terkekeh di akhir kalimat. Kukira dia akan merespon seperti, 'oohh.' tapi yang kulihat malah ekspresi khawatir di wajah Bang Jaya makin menjadi.
“Udah dikompres? Lebam nggak?”
Dia hampir mengangkat pakaianku jika aku tidak langsung mengelak. Bang Jaya menatapku curiga, dia hampir bicara lagi jika Brian tidak datang dengan kerusuhannya.
“Gila! Hari ini cape bangeettt.”
Kami langsung menoleh ke pintu masuk. Brian sedang meregangkan tubuh sambil mendorong pintu kamar menggunakan kaki. Bang Jaya beranjak dari tempatku untuk memukul kepala Brian.
“Berisik. Bukan kamu aja yang cape.”
Brian merengut lalu balas memukul lengan Bang Jaya. “Dih! Kan nggak ada salahnya ngeluh.”
Selanjutnya mereka mulai mendebatkan tentang penting atau tidak pentingnya mengeluh. Aku lebih memilih tidur daripada mendengar Brian berceloteh. Malam itu aku terbangun jam tiga dini hari. Aku tidak sengaja melihat Bang Jaya bersiap keluar panti.
“Abang mau kemana?”
Bang Jaya tersentak, tapi selanjutnya menghela nafas setelah melihatku. “Ohh, Abang mau pergi latihan. Hari ini masuknya lebih pagi.”
Aku mengangguk, percaya dengan ucapannya. Karena memang beberapa bulan lagi dia ada kegiatan lomba. Aku kembali tidur setelah Bang Jaya pergi. Malam-malam selanjutnya juga Bang Jaya selalu berangkat pagi dan pulang larut malam.
Beberapa hari kemudian, sehabis mandi aku baru sadar salah memilih baju. Biasanya aku memang langsung membawa pakaian ke kamar mandi supaya luka-luka di badanku tidak ketahuan.
Setelah melihat sekeliling kamar dan memastikan tidak ada orang di dalam, barulah aku membuka kemeja putih dan menggantinya dengan kemeja batik. Tapi sayang sekali, belum sempat bagian lengan yang lain dari kemeja terpasang di tanganku, Brian sudah lebih dulu masuk. Dia kaget mendapati tubuhku yang penuh luka. Aku langsung buru-buru memasang kemeja tadi. Brian juga langsung menutup pintu dan menghalangiku agar tidak menyingkir dari kasur.
“Nggak Bri! Aku nggak kenapa-napa. Ini luka gara-gara latihan.”
Aku berusaha supaya dia tidak menarik kemejaku, tapi tenaga Brian yang sedang emosi ternyata tidak bisa diremehkan. Dia membuka paksa kancing kemeja yang tadi kupasang buru-buru. Membuka lebar kemejaku sampai semua luka dan lebam terpampang jelas.
“Jup, ini nggak mungkin karena latihan!” Brian menggeleng, dia melangkah mundur tapi matanya tetap memperhatikan tubuhku.
Tatapan Brian membuatku merasa sangat kecil, semua perasaan negatif yang kupendam seolah meluap. Air mataku keluar sendiri tanpa mampu kutahan. Brian bergeming di depan sana, dan itu membuatku bersyukur karena tidak langsung ditanyai.
Brian Pov
Waktu itu aku membatu, tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika melihat Jupiter menangis. Luka-luka di tubuhnya sangat banyak. Tanganku yang tadi membuka paksa kemeja Jupi bergetar hebat. Apa yang terjadi?
Aku tahu Jupiter seorang atlet basket terbaik di sekolah, tapi memangnya atlet bisa memiliki luka seperti ini? Ada banyak luka pukulan, bahkan ada yang seperti sayatan dari benda tajam. Luka-luka ini sangat tidak wajar jika dimiliki siswa SMP seperti kami.
“Siapa Jup?”
Mataku mulai berkaca-kaca setelah bertanya. Reaksi tubuh Jupiter sungguh membuat hatiku tersayat. Dia gemetar hebat dan makin terisak.
“Jup! Siapa? Kenapa badan kamu jadi begini?”
Aku yang tidak sabar menarik lengan Jupiter sebelum dia menutup wajahnya. Kutatap matanya, coba meyakinkan dia untuk bercerita.
“Jup, kita saudara, kan? Kamu percaya sama aku, kan?”
Jupiter tidak menjawab. Tangisnya malah makin menjadi-jadi. Aku dengar pintu kamar dibuka, bulu kudukku merinding karena takut jika yang membuka adalah para Bunda—pengasuh panti. Aku merasa masalah yang dialami Jupiter akan semakin besar bila reaksi pengasuh tidak bagus. Namun karena melihat wajah Jupiter yang tidak terlihat takut, aku jadi menoleh ke belakang—tempat pintu kamar berada.
Pintu dibuka oleh Bang Jaya, Dia tiga tahun lebih tua dari kami dan lebih dulu berada di panti.
“Bang.” Jupi menyapa di sela-sela tangisnya.
“Bang Jaya?” Aku bukan ikut menyapa, lebih ke memastikan apa pemuda itu baik-baik saja. Wajahnya pucat pasi, nafasnya nampak tersengal dan keringat sebesar biji jagung menetes turun melewati pelipis menuju pipinya. Bang Jaya habis lari?
Dia cepat-cepat menutup pintu. Tangannya menyisir helaian rambut ke belakang, dapat kulihat tangan itu bergetar. Dahiku berkerut semakin dalam setelah Bang Jaya duduk di tepi kasurnya sambil menggigiti jari.
“Bang? Abang kenapa?”
Bang Jaya melihat ke arahku, tatapannya tidak fokus. Selanjutnya dia melihat Jupiter, cukup lama karena sepertinya dia kaget melihat kondisi Jupi.
“Jup? Kamu juga korban?”
Aku refleks melihat ke arah Jupiter, dia mengangguk, seolah paham dengan maksud korban yang disebut Bang Jaya. Lalu kepalaku kembali menoleh ke arah Bang Jaya, dia juga melihat ke arahku.
“Kamu pasti juga korban.” ucapnya padaku.
“Ha?”
“Kamu nggak sadar?”
Aku menggeleng, “Sadar apa?”
Bang Jaya berdiri untuk pindah duduk di kasur yang kami duduki—kasur Jupiter. Bang Jaya terlihat menghela nafas. Dia diam sebentar seolah sedang berfikir. Matanya menatapku kasihan.
“Bunda Aya pernah megang badan kamu?”
Dahiku masih berkerut. “Yaa, pernahlah?”
Bang Jaya menggeleng, “Bukan. Bukan megang biasa. Bunda Aya pernah megang di bagian yang ga harusnya nggak sembarangan orang pegang? Coba inget-inget.”
Tiba-tiba satu peristiwa berputar di kepalaku. Saat itu aku baru pulang sekolah, Bunda Aya—salah satu pengasuh kami memintaku untuk menemuinya di kamar. Setelah itu...
“Ohh, iya pernah. Bunda Aya pernah minta tolong buat—”
“Nggak usah dilanjut.” Bang Jaya melihat ke arah Jupiter, dia usap kepala Jupi untuk menenangkannya. “Abang dulu juga pernah, tapi sejak masuk SMA Abang sengaja nyibukin diri sampe nggak pulang beberapa hari. Abang takut, takut banget.”
Aku tidak mengerti. Kenapa Bang Jaya harus takut? Bukannya tidak apa-apa jika Bunda Aya meminta bantuan kita? Dia kan sudah mengurus kita dari kecil. Walau sebenarnya aku memang merasa ada yang salah. Aku hendak bertanya sebelum suara serak Jupi ikut serta dalam obrolan kami.
“Aku,” Suara Jupiter tercekat, dia mengatur nafas sebelum lanjut bicara, “Aku nolak waktu diminta buat begitu, terus Bunda Aya marah. Aku dipukul sama pengasuh lain juga, sering banget sampai rasanya mau mati.” Jupiter berusaha menahan isakannya walau air mata tetap keluar mengaliri pipi. “Mereka bilang aku nggak berbakti.” Suaranya makin parau di akhir kalimat.
Aku menarik Jupiter ke dalam pelukan. Mengusap kepala sampai punggungnya. Mataku melihat Bang Jaya dengan tatapan bingung.
“Bunda panti Jahat..” Jupiter terus terisak di dalam pelukanku.
Bang Jaya ikut mengusap punggung Jupiter. Kami bertatapan seolah tengah bertukar pikiran masing-masing. Aku memberi kode bahwa aku belum paham dengan yang terjadi, lalu Bang Jaya menatapku seperti sedang berkata, “Nanti abang jelasin.”
Setelah Jupiter berhenti menangis, Bang Jaya meminta kami untuk tetap bertingkah seperti biasa. Aku dan Jupiter pergi ke sekolah. Seharian aku tidak melepas pengawasan dari Jupiter, takut dia kenapa-napa.
Pulang sekolah kami bertemu Bunda Nia. Dia salah satu pengasuh yang sangat pendiam, bahkan kami merasa tidak dekat dengannya. Aku tersenyum pada Bunda Nia, dan dia balas tersenyum. Bunda Nia menitipkan plastik berisikan obat padaku, membuat aku menatapnya heran.
“Untuk teman sekamar kamu.”
Bunda Nia tersenyum lagi, selanjutnya dia menunduk dan pergi keluar. Bunda Nia memang lebih sering berada di gedung panti yang lain, tempat anak-anak yang katanya tidak pintar. Saat aku masuk ke dalam kamar, barulah aku sadar sesuatu. Kenapa Bunda Nia bisa tahu dengan kondisi Jupiter? Semalam Jupiter bilang cuman tiga pengasuh yang tahu tentang luka-lukanya.
Aku buru-buru menutup pintu dan berlari ke kasur Jupiter. “Jup! Jup! Bunda Nia emang tahu ya kalau kamu luka?”
“Ha? Enggalah.”
“Lah, terus? Kok dia ngasih obat?” Aku mengulurkan tangan, memberi obat yang tadi diberi Bunda Nia.
Jupiter melihat ke tanganku sebentar, selanjutnya menggeleng. “Nggak tahu.”
Aku menarik tangan Jupiter karena dia sama sekali tidak berniat akan menerima obat tadi. “Yaudahlah, ambil aja.”
Jupiter nampak termenung menatap obat tadi. “Kalau ini bukan obat gimana?”
Pertanyaan Jupiter membuatku semakin heran. Mana mungkin itu bukan obat. “Maksudnya?”
Setelah diam sebentar, Jupiter menggeleng dan menyimpan obat tadi di atas meja belajar. Dia menarik tanganku untuk duduk di atas kasur, tatapannya membuatku merasa tidak enak. Dia seperti putus asa sekaligus kasihan kepadaku.
“Kita nggak bisa percaya dengan orang-orang di panti, Bri.” Katanya.
Normal pov.
Tidak sampai seminggu, Jaya kembali dengan rencana yang sudah dia susun matang. Mengumpulkan anak-anak panti yang juga sudah tidak tahan. Ada sekitar sepuluh anak, tujuh orang yang lain itu berasal dari panti anak-anak biasa saja.
Mereka dibantu Bunda Nia mencari jalan yang aman keluar panti. Dia juga memberi satu ponsel dan uang saku supaya anak-anak itu bisa makan di jalan. Jupiter tidak sepenuhnya percaya dengan Bunda Nia, namun melihat senyum wanita itu yang begitu tulus, dan dia menangis melepas kepergian anak-anak asuhnya.
“Jaga diri kalian, jangan kasih tahu siapa-siapa kalau kalian dari Panti Teratai Mekar, ya?”
“Iya Bunda, kami pamit ya. Terima kasih banyak.” Bang Jaya pamit mewakili anak-anak lain.
Perjalan pergi dari panti betul-betul tidak mudah. Tiap kali mereka mampir untuk makan, ada saja orang-orang yang bertanya darimana mereka berasal. Mungkin akan terkesan wajar saja, namun di mata Jaya itu sama sekali tidak wajar. Tiap kali dia menjawab seadanya, orang-orang itu langsung kembali melontarkan pertanyaan seolah sedang menggali sesuatu.
Tiap malam dia tanamkan pesan ke adik-adiknya untuk tidak memberi informasi apa-apa jika ditanyai. Mereka semua setuju, tapi Jaya tetap khawatir dengan satu anak. Anak itu berumur sepuluh tahun, paling kecil di rombongan. Jaya selalu memastikan anak itu berada di dekatnya.
Namun tetap saja, kemalangan itu sekejap mata. Saat mereka sedang makan malam di depan ruko kosong, Jaya pamit pada yang lain untuk ke toilet. Setelah ia selesai buang air dan hendak kembali, di jalan dia bertemu Brian yang sudah pucat pasi. Dia berjalan cepat ke arah Jaya, menarik pemuda itu untuk segera menjauh dari tempat mereka makan.
“Bang lari!” Brian berteriak karena Jaya malah terdiam. Jaya bingung.
“Tunggu dul—”
Belum sempat kalimat Jaya selesai, di depan matanya nampak Jupiter tengah berlari mendekat, nafasnya memburu. “Mereka udah dibawa.” katanya.
“Dibawa?”
Suara mesin mobil tiba-tiba memenuhi pendengaran Jaya. Sekujur tubuhnya meremang setelah otaknya mencerna apa yang terjadi.
“Iya, cepet!”
Brian dan Jupiter menarik Jaya bersamaan. Mereka masuk ke semak-semak belukar. Berlari secepat yang mereka bisa. Saking takutnya Jupiter sampai tidak menoleh ke belakang sedetikpun. Dia sudah menangis dengan banyak bayang-bayang kejadian seram di kepalanya.
“Aku nggak mau balik ke panti. Aku nggak mau! Huaaa!”
Brian langsung menarik tangan Jupiter supaya lelaki itu tidak berlari terlalu cepat. “Udah, Jup. Kita udah aman.” katanya.
Jaya setuju. Orang-orang dari panti tidak mungkin mengejar mereka sampai sini. Kini mereka berada di hutan kecil yang akan menembus ke daerah Timur.
Sampai di Timur, mereka merasa seperti masuk ke dalam dunia lain. Orang-orang disini terlalu brutal dan tidak ramah kepada pendatang. Belum lagi penampilan Jaya, Brian, dan Jupiter yang kumuh. Membuat orang-orang berprasangka buruk duluan saat melihat mereka. Di Timur banyak jenis modus penipuan, salah satunya dengan membuat penampilan seperti pengemis untuk merampok.
Beberapa kali mereka hampir dipukuli preman. Untungnya Jaya bisa membujuk para preman agar melepaskan mereka. Lagipula tidak ada untungnya bagi si preman jika tetap mengganggu, anak-anak itu tidak punya harta benda.
Mereka tidur di depan toko orang benama Hardi, beralas kardus dan koran. Untuk uang makan Jaya yang akan berkerja membantu pemilik toko. Tapi setelah pemilik toko tahu Jaya dan adik-adiknya tidak punya rumah, barulah dia menyediakan kamar untuk mereka.
Hari-hari berlalu damai. Sampai suruhan Gentala datang saat dini hari, menagih uang sewa toko. Rombongan Gentala sekitar lima orang menggedor pintu, beberapa dari mereka juga membawa pemukul. Jaya meminta adik-adiknya untuk tidak keluar, sedangkan dia bersama Pak Hardi yang membujuk para Gentala.
Pak Hardi sebatang kara. Istrinya sudah meninggal dan dia tidak mempunyai anak. Toko yang dia tempati adalah tempat paling berharga karena memiliki kenangan bersama istrinya. Namun sejak Gentala menguasai wilayah timur, banyak dari pemilik bangunan menjual tempat mereka pada Gentala. Pemilik bangunan toko yang ditempati Pak Hardi salah satunya, dia menjual tempat karena lelah diteror. Membuat Pak Hardi mau tidak mau berurusan dengan Gentala.
“Saya janji, Mas. Minggu depan pasti saya bayar uang sewanya.”
“Halah!” Pemimpin dari rombongan Gentala itu memukul tembok. “Bapak udah telat bayar hampir tiga bulaaan. Kami nggak bisa ngasih keringanan terus, Pak.” Pria itu terlihat sangat emosi. Kantung matanya menghitam pertanda berhari-hari tidak tidur.
Brian dan Jupiter mengintip dari pintu kamar. Mereka lihat dari lima orang itu ada satu yang juga tidak membawa apa-apa seperti pemimpinnya. Ekspresinya juga terlihat kasihan dengan Pak Hardi. Tawar menawar mereka tetap berlanjut, Pak Hardi meminta untuk diberi keringanan.
“Saya bukannya nggak mau, Pak. Tapi kami juga kerja sama orang, Bos kami nggak bakal mau tahu dengan kesusahan Bapak.” Pemimpin kelompok itu menjelaskan bahwa mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Pak Hardi sudah menangis dan Jaya angkat bicara untuk memohon.
“Mas, tolong yaa, satu minggu lagi akan kami lunasi.”
Si ketua hendak mengatakan sesuatu, tapi satu anggota Gentala yang sejak tadi menahan emosi hampir menghancurkan etalase. Untungnya laki-laki yang tidak membawa senjata tadi langsung menghalangi.
“Goblok!” Pemuda itu menonjok wajah rekannya. “Kalau lu hancurin gimana si Bapak bakal bayar uang sewa? Mikir dong, anjing! Otot doang lu gedein.” Suaranya menggelegar sampai ke seisi toko. Dia mendorong teman-temannya untuk mundur lalu berdiri memunggungi Pak Hardi.
Jaya terkesima, sedangkan ketua rombongan Gentala tadi memijat dahinya. Laki-laki yang baru saja membela Pak Hardi jelas masih seumuran dengan Jaya. Bukan kejadian pertama pemuda itu melawan, dia memang berani menentang rekan-rekannya yang jelas jauh lebih tua dan lebih kekar.
Anggota Gentala yang tadi mau menghancurkan etalase mendapat tatapan tajam dari pimpinan kelompok mereka.
“Oke, kami tunggu seminggu lagi ya, Pak. Kalau belum bayar juga terpaksa kami usir, karena penyewa yang baru udah bayar uang muka ke Bos.”
“Iya, Mas. Saya pasti bayar minggu depan, terima kasih banyak, Mas.”
Pria itu tidak merespon kalimat Pak Hardi, dia langsung meminta kacung-kacungnya untuk pergi. “Udah, ayo ke tempat lain.”
Tiga Gentala yang lain bersorak protes, namun tetap mengikuti pemimpin mereka. Laki-laki yang tadi membela Pak Hardi berbalik, dia pamit pergi dan berpesan agar segera membayar uang sewa karena dia tidak bisa membantu.
Pak Hardi mengangguk dalam, “Iya, nak. Terima kasih banyaak, kalau nggak ada kamu mungkin dagangan bapak sudah hancur.” Pak Hardi sampai mengambil tangan pemuda itu untuk menepuk-nepuknya pelan. Si pemuda tersenyum.
“Nakula!”
Terdengar suara dari pemimpin Gentala, buat pemuda yang bernama Nakula tersentak.
“Iya, sabar!” Nakula menyahut dan langsung berlari keluar. Dapat didengar suara perdebatan Nakula dan orang-orang di rombongannya, pemuda itu dimarahi habis-habisan namun dia tetap melawan.
“Kalau bukan kesayangan Bos udah gua bunuh lu!” Bentak salah satu pria.
“Bunuh sekarang kalau bisa!” Terdengar suara Nakula meninggi. Mungkin akan terjadi baku hantam jika tidak ada yang melerai mereka.
Jaya kembali ke kamar untuk melihat adik-adiknya. Dia peluk Brian dan Jupiter yang terlihat hampir menangis, “Nggak apa-apa, Abang disini bareng kalian. Nggak perlu takut, ya.”