Toilet yang Sepi
tw // violence , blood , mention of blood
Laki-laki di depan sana—Jenan ingat namanya Revi—berjalan mendekat. “Gua bukan tipe orang penyabar, jadi mending lo tutup mulut atau gua hajar sampai mampus?”
“Tutup mulut dari apa? Gua udah bilang, kan, kalau gua nggak tahu apa-apa.” Jenan bergerak untuk membuka salah satu bilik wc, namun tangannya ditahan.
Revi menggeram, “gua udah bilang, kan? Kalau gua bukan orang yang sabar.”
Rahang Jenan mengeras. Ia menghela nafas lalu menarik tangannya. “Jadi lu pikir gua termasuk orang yang sabar?” Jenan menahan diri agar tetap tenang sambil melepas kaca matanya untuk disimpan ke dalam saku.
Revi tersenyum remeh, “ohh, secara nggak langsung lo bilang kalau memang denger sesuatu, ya?”
Jenan balas tersenyum sampai kedua matanya menyipit bagai bulan sabit. “Iya, gua denger.”
Buagh.
Kepala hingga sebagian tubuh atas Jenan terhuyung ke kanan. Sudut bibirnya terluka hingga membuat darah masuk ke mulut dan menyatu dengan liurnya. Ternyata pukulan si pesuruh Wisnu itu kencang juga.
Cuih.
Jenan meludah ke lantai toilet, dia kembali melihat Revi setelah kerahnya ditarik. Nafas keduanya memburu sebab emosi yang naik sampai ke ubun-ubun.
“Lu ngapain, sih?” Jenan menarik ujung bibirnya ke atas, menampilkan seringai kecil yang nampak begitu menghina di mata lawannya.
“Ni anak nggak ngerti situasi ya? Mau gua hajar sampe mampus?”
Jenan mendengus, “emang bisa?”
Duagh.
Pukulan kedua mendarat di perut Jenan. Namun pemuda itu tidak beraksi sedikit pun. Revi yakin sekali dia baru saja memukul perut, tapi kenapa bisa sekeras ini?
Dugh.
Satu pukulan kembali mendarat di perut Jenan. Empunya tetap tidak bereaksi, tubuhnya tetap tegap. Kali ini Revi tersadar, ternyata dia memilih lawan yang salah. Keringat mengalir di pelipisnya, tengkuknya merinding, dan instingnya meminta Revi untuk segera lari.
Jenan mendorong Revi hingga pemuda itu menjauh. Dia membuka kancing baju satu persatu, lalu membukanya dan menggantung kemeja di atas pintu wc.
Kini di mata Revi orang di hadapannya bukanlah anak SMA. Otot-otot di badan itu terbentuk sempurna, ada beberapa luka sayatan di beberapa tempat, lalu tato kalajengking di perut sebelah kiri. Jenan meregangkan tubuhnya sembari berjalan mendekati Revi.
Revi yang merasa terancam melangkah mundur.
“Tadi lu mukul gua tiga kali, kan?” Dia mengusap bibir yang masih ada bercak darah. “Sekarang giliran gua.” Jenan menarik kerah Revi lalu menampar pipi teman seangkatannya itu sebanyak tiga kali.
Plak.
Plak.
Plak.
Revi yakin tamparannya hanya sebanyak tiga kali, tapi pipinya terasa sangat kebas. Belum lagi pipi bagian dalamnya lecet karena membentur gigi.
“Tadi, lu juga bilang bakal ngehajar gua sampai mampus, kan?”
Plak.
Tamparan kembali mendarat. Jenan melepas cengkraman di kerah Revi, membuat anak itu terhuyung sembari melangkah mundur. Tubuhnya gemetar dan matanya yang berair menatap takut pemuda di depannya.
Jenan menyeringai, “ayo sini pukul gua. Kalau berhasil kena gua janji bakal tutup mulut.”
Revi menggeleng kuat, selanjutnya dia berlutut di depan Jenan. “A-ampun. Gua salah! Tolong maafin gua.”
Bukannya menjawab, Jenan malah menendang Revi hingga pemuda itu tersungkur ke samping. Dia jambak rambut pesuruh Wisnu itu agar kepalanya mendongak.
“Gua maafin tingkah sok lo tadi, tapi habis ini kalau Wisnu nanya kenapa bisa sampai babak belur. Lo jawab aja Jupiter yang mukul.”
Jenan menyeringai lebar, “bilang, kalau Jupiter udah tahu dan dia bakal ngehabisin kalian semua termasuk Dewa.”
Air mata Revi kembali mengalir keluar. Niat awal dia hendak menghabisi si cupu yang lancang menguping obrolan mereka, tapi kenapa sekarang malah dia yang jadi 'si cupu'. Beruntung, toilet yang berada disini jarang didatangi karena airnya selalu mati. Jadi Revi tidak perlu kehilangan muka di depan murid yang lain.
“Woi! Ngerti nggak?” Jenan hendak memukul lagi, namun Revi segera mengangguk.
“I-iya, iya, ngerti. Gua bakal sampein ke Wisnu sesuai dengan apa yang lo bilang.”
Jenan tersenyum, lalu melepas rambut Revi. “Oke, bagus.”