The Reason
tw // mention of cheating, weeds dimohon kebijaksanaannya 3k+ words
Bryan menyimpan segenggam plastik berisi bubur kacang hijau, roti bakar dan beberapa cemilan ringan di meja dapurnya, berjalan dengan langkah lebih cepat untuk menghampiri gadis yang terduduk lesu di sofa. Beberapa puluh menit yang lalu, Canti (gadis yang terduduk lesu di sofa) menghubunginya melalui aplikasi pesan singkat, memohon untuk dirinya segera kembali ke apartemen. Canti melanjutkan permohonan putus asanya melalui sambungan telepon, memohon berulang kali pada Bryan agar tak memutus sambungan telepon sampai Bryan menunjukkan batang hidung tepat di hadapannya. Takut, satu kata yang menjadi alasan di balik permohonan Canti.
“You okay?”
Bryan berjongkok di hadapan Canti, menyamakan level pandang dengan wajah si gadis. Jemari di tangan kiri menyelinap ke sela-sela bekunya buku jari Canti, menyelinapkan pula hangat dan tenang bagi getar di tubuh si gadis. Namun, Canti tak memberikan jawaban, kepala Canti yang semakin menunduk juga tetes air mata di celana tidur Canti memberi jawaban bahwa Canti sedang tidak dalam keadaan baik.
“Aku ada di sini, Run.”
Jemari kanan Bryan menyurai anak rambut Canti yang tersebar tak tentu arah (menghalangi pandang mata Bryan atas paras si gadis), “Kamu kenapa?”
Canti masih sama seperti Canti beberapa tahun silam. Setiap kata tanya “mengapa” yang ditujukan padanya selalu berhasil merobohkan benteng pertahanan yang berdiri kokoh menjaga agar tetap tegar seberat apapun masalah yang tengah menimpanya.
Dalam tundukan kepala, Canti memohon lirih pada Bryan, “Tolong peluk aku, Biy.”
Bryan mendekatkan wajah pada Canti, berharap dirinya dapat menangkap kalimat Canti dengan lebih jelas, “Kenapa, Run?”
“Aku butuh kamu.”
Bryan berganti posisi ke ruang kosong di sebelah Canti. Tangannya berpindah pada kepala si gadis, membimbingnya lembut untuk bersandar pada dadanya, “Aku ada di sini, Run,” ujarnya mencoba menenangkan. Bryan tak banyak berbicara, fokusnya terpusat pada cara menenangkan ruwetnya kepala Canti melalui pelukan. Bryan paham, saat ini Canti hanya ingin bersembunyi dari bengisnya dunia menggempur tubuh. Bryan paham, saat ini Canti hanya butuh distraksi untuk hingar bingar dalam rongga kepala.
Jika Bryan diberikan kesempatan untuk berkata jujur, saat ini rongga kepalanya pun tak jauh lebih tenang ketimbang Canti. Skenario paling buruk dari skenario terburuk yang pernah Ia ciptakan tengah bebas berlarian dalam kepala, sejak beberapa hari kebelakang. Skenario buruk dengan Canti sebagai tokoh utama. Menyaksikan Canti terserang mual dan tak berhenti memuntahkan isi perut dalam kurun waktu singkat berhasil memancing Bryan membuat skenario yang menurutnya masuk akal.
“Bagaimana bila Reza berbohong tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu?”
“Bagaimana bila apa yang saat ini terjadi pada Runa adalah akibat dari perbuatan Reza?”
Jalan cerita hasil karyanya mengkonsumsi hampir separuh keteguhan hati Bryan. Ada kalanya Bryan meragukan diri sendiri, meragukan bahwa dirinya akan bertahan bersama Canti bila karangannya benar-benar dikabulkan Tuhan. Bryan belum mempersiapkan diri mengambil tanggung jawab atas apa yang laki-laki brengsek itu perbuat pada Canti. Namun, Bryan pun tak sudi mengikhlaskan Canti untuk berpindah pelukan kepada laki-laki lain, terlebih pada si brengsek yang dengan sadarnya menghancurkan kebahagiaan Canti.
Jadilah Bryan beberapa hari ini lebih banyak bersandiwara untuk menutupi kekalutan dalam pikiran. Bryan selalu bertingkah kuat saat berhadapan dengan Canti, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat. Ada kalanya, amarah mengerubungi diri. Begitu besar keinginannya menghabisi si brengsek untuk menyalurkan dendam, menyalurkan protesnya pada Tuhan atas ketidakadilan yang Canti dapatkan. Persetan dengan kemanusiaan, Bryan hanya ingin Reza merasakan penderitaan yang sama dengan Canti.
“Maaf aku selalu bikin susah, Biy.”
Parau suara Canti mengembalikan Bryan dari lamunan. Buru-buru Ia memaksa kuat untuk kembali ke dalam tubuhnya, juga memaksa si kepala mencari topik yang bisa mengalihkan beban perasaan yang menjangkiti Canti.
“Aku punya cokelat rasa matcha, kamu pasti suka. Sebentar aku ambilin.”
Canti menahan Bryan dengan genggaman di lengan tangan, memohon pada Bryan agar tidak meninggalkannya seorang diri. Seperti yang Canti katakan dalam ruang obrolan, saat ini Ia tidak butuh apapun, entah makanan pengganjal lapar, minuman pelega dahaga maupun hiburan pembawa tawa. Canti hanya butuh tempat untuk bersandar dan Canti hanya ingin meminjam dekap untuk menenangkan huru-hara di kepalanya.
Bryan mengalah atas permintaan Canti, mengurungkan niatnya mengambilkan Canti cokelat di lemar pendingin, “Okay, aku gak akan ke mana-mana.” Jemari Bryan kembali bergabung di antara sela-sela jari Canti, tak lupa kembali membimbing si gadis untuk menyandarkan beban tubuh di dada bidangnya, “I’m all ears, Runa.”
“Aku boleh cerita?”
“Jangankan cerita, kamu minta dipeluk seumur hidup aja aku sanggup, Run.” Bryan melempar canda, berusaha tetap tegar di depan si gadis dan berusaha keras menghibur Canti yang tengah berkutat dengan kisah yang masih disembunyikannya.
Canti menarik tubuh kecilnya dari sandaran dada Bryan, sembabnya mata dan paraunya suara mengomeli Bryan dalam lirih, “Jelek,” lalu sebelah sudut bibirnya terangkat. Senyum pertama setelah berhari-hari wajahnya hanya dihiasi air mata.
“Perut akunya gak dicubit?”
“Kenapa malah minta dicubit? Kan sakit.”
Bryan meraih puncak kepala Canti, memberikan usapan sebagai bentuk rasa lega karena senyum telah sudi hadir di wajah Canti. Senyum Canti dan putaran memori masa lalu berhasil menghentikan sementara skenario buruk dalam kepalanya. Bryan meraih pipi tirus Canti, ibu jarinya kembali sibuk menghapus aliran air mata yang sebelumnya pernah Ia hapus, “Aku jadi inget cubitan cinta dari mantan pacarku pas kuliah dulu, Run. Love language dia tuh physical attack, aku kayaknya hampir tiap hari dicubit di perut, digigitin di tangan, pipi juga, apalagi kalo dia lagi salah tingkah, badanku abis dipukulin. Tapi gimana, aku terlanjur dijebak cinta sama dia, gak bisa kabur, Run. Jadi terima ajalah, toh aku juga sering dikasih cium, soalnya dia ketagihan bibir aku—”
“Ngaco kamu,” protes Canti sembari menghadiahkan cubitan keras pada perut Bryan.
Bryan mengaduh saat jari kurus Canti mencubit keras perutnya, “Nah, persis gini, Run, dia kalo nyubit. Sakit tapi bikin aku main bucin—”
“Jelek banget sih kamu.”
Bryan tertawa di tengah gempuran nyeri di perut kiri, “Kok kamu yang marah, Run? Jangan-jangan kamu mantan pacar aku pas kuliah dulu?”
Canti menarik tubuhnya, sedikit menjauhi Bryan. Kedua bola matanya memutar, pikirannya mengawang, entah topik apa yang sedang Canti pikirkan. “Mantan pacar kamu pasti sekeren itu ya dulu, Biy?”
“Sampe sekarang masih keren, Run,” Bryan mengambil waktu sebelum melanjutkan kalimatnya. Punggung kokoh telah sepenuhnya bersandar pada sofa, Bryan menyebar pandang pada dinding putih di hadapan keduanya. Kesepuluh jarinya saling menaut, Bryan mengulum senyum kala rongga kepala memutar memori masa lalu, putaran memori yang turut pula menyematkan kehangatan di rongga dada, “Kayaknya orang-orang mulai bosen, Run, saat aku ceritain tentang mantan aku ini. Dan, orang-orang juga mulai mikir aku berlebihan, gak masuk akan dan segala macemnya. Tapi, karena kamu nanya aku tentang dia, berarti aku harus jawab.”
Sebelum Bryan sempat melanjutkan kalimat, Canti membuka tautan jemari Bryan untuk masuk ke dalam dekapannya. Canti menyandarkan seluruh tubuhnya pada Bryan, turut pula merekatkan gendang telinga di dada Bryan, berharap Ia diberikan izin untuk kembali mendengarkan degup jantung Bryan. Jemari Canti menyelinap di antara milik Bryan, mengembalikan jemari Bryan dalam tautan, namun, kali ini dengan miliknya, “Kamu deg-degan, Biy.”
Bryan tak menampik bahwa ritme jantungnya berantakan dan Ia yakin pipinya memerah. Beberapa bulan terakhir, interaksi keduanya hanya sebatas rekan kerja. Mungkin sekali atau dua kali keduanya pernah berbagi dekap, atau bahkan dirinya yang tidak sadar memberikan kecup di kening, namun, kali ini berbeda. Canti detik ini adalah Canti yang sama dengan kekasihnya beberapa tahun lalu. Perempuan yang selalu memaksa masuk ke dalam pelukannya, memohon untuk didekap dengan jari saling menaut, perempuan yang selalu memohon untuk diberikan usapan di punggung agar segera jatuh terlelap dan perempuan yang selalu mengeratkan telinga di dadanya, untuk mendengar detak jantung dunianya, begitu pengakuan Canti beberapa tahun lalu.
“Kata mantan pacar aku dulu, kalo aku gak deg-degan, artinya aku meninggal. Jadi, deg-degan itu harus, Run,” Bryan mencoba berkilah, menutupi kebenaran dari Canti.
“She’s cute,” balas Canti seakan-akan Ia tidak paham objek pembicaraan Bryan. Canti dengan penuh kesadaran paham bahwa dirinyalah yang tengah Bryan bicarakan, “Tell me more, Biy. Aku ingin tau lebih banyak tentang mantan pacar kamu itu.”
“Is it okay? Kan tadi kamu ingin cerita, Run, malah sekarang aku yang kamu suruh cerita.”
“Gak apa-apa, Biy. Cerita kamu kayaknya lebih seru.”
Bryan menyamankan posisi sandaran juga posisi lengannya, merangkul Canti sepenuhnya dan mulai memainkan usapan ibu jari di lengan atas si gadis, “Dia cewek aneh, judes, jutek, ketus, marah-marah doang kerjaannya, tapi aku sesayang itu sama dia. Rahasia ya, Run, jangan kamu bocorin ke dia. Mantan pacar aku tuh sebenernya masih bayi umur 2 tahun, hobinya minta dikelonin kalo ada petir, kalo aku ngirim foto tanpa dia minta, pasti nangis. Soalnya aku terlalu ganteng kata dia—”
“Sok ganteng kalo kamu,” ujar Canti menyela kalimat Bryan.
“Ya itu kan menurut kamu, Run. Kalo kata mantan aku sih, aku ganteng makanya bikin dia nangis—”
“Dasar aneh,” cibir Canti.
Bryan mengeratkan rangkulan lengannya, mendesak Canti semakin masuk ke dalam pelukannya, “Kalo dia gak aneh, mana mungkin aku jatuh cinta, Run. Kalo saat itu dia terima-terima aja aku kejar, mana mungkin aku penasaran. Kalo saat itu dia gak masakin aku, mana mungkin aku kepincut. Badan dia kecil, Run, tapi hatinya besar. Karena dia, aku bisa ngerasain lagi hangatnya keluarga, rasanya keluarga lengkap, rasanya dicintai, rasanya dipercaya dan rasanya mencintai. Itu semua lama banget hilang dari hidup aku, Run. Nah, pas mantan aku muncul, semuanya balik lagi. Intinya, kebahagiaan aku itu semua dari dia.”
Canti menengadahkan kepalanya, menyatukan sorot mata dengan milik Bryan, “Kalo bahagia, kenapa kalian putus?”
“Aku bodoh, Run, merasa segalanya bisa diselesaikan dengan cara aku sendiri. Aku terjebak di masalah yang aku bikin sendiri. Beban masa lalu datang, minta pertanggungjawaban atas trauma yang aku kasih ke dia. Aku sembunyiin ini dari mbak mantan, berharap aku bisa menyelesaikan trauma dia, gak taunya aku kebablasan, keluar dari limit yang aku bikin. Singkatnya, aku selingkuh secara tidak sengaja—”
“Mana ada selingkuh gak sengaja?”
“Iya, aku salah, Run. Aku mengedepankan pikiran picik aku, aku memanfaatkan masa lalu aku itu untuk memuaskan hal yang gak aku dapet dari mantan aku—”
Alis Canti menyatu, sorot matanya dipenuhi dendam, “Serakah. Kalo kamu ngaku sesayang itu sama si mantan, ngaku bahwa apa yang kamu butuh untuk hidup ada di diri dia, kenapa masih nyari orang lain untuk memuaskan diri? Saat itu, mantan kamu bilang bahwa dia siap mendampingi kamu untuk menyelesaikan urusan masa lalu, kenapa kamu malah bertindak gegabah? Kenapa kamu malah memanfaatkan keadaan? Kamu tuh menyia-nyiakan kepercayaan orang yang percaya kamu lebih dari dia percaya sama dirinya sendiri. Gak abis pikir aku.”
“Run, maaf.”
Canti sadar bahwa penuturan Bryan telah memancingnya keluar dari sandiwara yang tengah Ia lakonkan. Canti tersulut emosi, masih jelas di ingatan bagaimana perasaannya hari itu. Hari di mana Ia menyaksikan pengkhianatan Bryan dengan seluruh tubuhnya. Canti mengembuskan nafasnya kasar, mengembalikan diri ke lakonnya sebagai orang asing yang sedang dikisahkan Bryan perihal perempuan yang dicintainya, “Sorry, i relate to your story—”
“Aku minta maaf—”
“Minta maaf ke mantan kamu, ngapain ke aku?” Canti kembali mengeratkan kepalanya di dada Bryan, bersusah payah mengembalikan diri ke perannya, “Setelah putus gimana? Mantan kamu pasti sehancur itu, sedangkan kamu keliatan baik-baik aja.”
“Aku bener-bener hancur hari itu, pas aku diputusin. Seminggu penuh cuma minum, ngerokok, ngeklub, repeat. Skripsi dan penelitian aku hancur, gak kepegang, semangat aku hilang. Sebulan awal, aku masih denial, aku masih menyalahkan orang lain, menyalahkan mantan aku dan masa lalu aku. Padahal udah jelas, semua salah aku. Aku gegabah dan ego aku terlalu tinggi, aku bodoh, Run—”
“Kapan kamu dan masa lalu kamu itu pisah?” tanya Canti ketus.
“Sebulan hancur itu bikin aku sadar, aku harus tegas. Aku harus menyelesaikan pikiran picik itu, aku harus menyudahi perselingkuhan atas dasar pertanggungjawaban itu. Aku tinggalin masa lalu aku, aku sadar bahwa aku salah memilih pilihan. Harusnya, saat dia datang meminta pertanggungjawaban, aku bawa dia ke profesional, bukan malah mengiyakan permintaan dia untuk berpura-pura punya hubungan. Semua hal yang aku lakukan juga udah terlambat, aku gak memperbaiki apa-apa. Kamu terlanjur kecewa, Run. Kamu udah pergi dari sisi aku, Run. Kamu hilang dan segalanya lenyap.”
Canti terdiam, menyimak dengan seksama penuturan Bryan. Penuturan yang kadar ketulusan dan kejujurannya begitu kuat ditangkap telinga. Sejatinya, Canti tetap merasakan sakit pada sebagian hatinya, namun, Ia tetap ingin mendengar segala cerita yang terlewat saat Ia dan Bryan berpisah. Canti ingin tahu bagaimana cara Bryan melewati masa-masa berkabung setelah perpisahan. Canti ingin memastikan kebenaran tentang cerita kehancuran Bryan yang Ia terima dari Satria, “Gimana akhirnya kamu bisa melalui semua itu? Kita wisuda di waktu yang sama which means kamu ngejar penelitian kamu yang hancur itu dalam waktu singkat.”
“Kamu, semua karena kamu dan itu bener-bener sepele. Kamu upload foto untuk pertama kalinya setelah putus, kamu cantik, senyum kamu masih sama, segala yang ada di badan kamu gak berubah. Rasa kangen aku ketemu obatnya, Run, foto kamu itu. Setelah beberapa bulan kamu tutup segala akses komunikasi, whatsapp, twitter, instagram, akhirnya aku bisa liat kamu lagi. Selama pisah, aku cuma bisa liat kamu dari akun kecil aku di twitter, itu pun kamu jarang aktif. Atau, aku liat keadaan kamu dari spotify, tentang lagu-lagu yang lagi kamu dengerin. Aku cuma butuh wajah kamu, Run, senyum kamu. Aku sekangen itu.”
Canti masih enggan berganti topik, melupakan tujuannya meminta Bryan menemani. Canti memilih untuk menuruti rasa penasarannya, “Yogya dan ganja, kamu kenapa?”
“I’ll tell you everything, Run. Waktu wisuda, aku udah siapin bunga untuk kamu, aku mau ngajak kamu balikan. Ternyata kesempatan untuk aku udah gak ada, kamu bersama Yudha. Harusnya aku bahagia, Run, liat kamu bersanding sama laki-laki baik yang bisa memperlakukan kamu jauh lebih baik dari aku, tapi aku bener-bener gak ikhlas. Dan, yap, setelah wisuda aku cabut ke Yogya, minum setiap hari, sampe akhirnya aku kecanduan daun-daun itu, semua itu demi lupain kamu, Run.”
Canti menggeliat, mencoba meloloskan diri dari dekapan Bryan untuk memastikan dugaannya. Dugaan bahwa Bryan menangis, didasari pada getar di tubuh juga suara Bryan, “Kamu nangis, Biy?”
Bryan mengambil jeda sebelum menjawab pertanyaan Canti. Bryan disibukkan dengan upayanya menstabilkan kembali emosinya, “Maaf, Run, malah aku yang sibuk cerita. Aku gak nangis, mata dan idung aku aja keringetan tadi.”
Rangkulan tangan Bryan mengendur, memberi kesempatan pada Canti untuk meloloskan diri dari tubuh Bryan. Canti duduk bersila menghadap Bryan, jemari kurusnya memberikan elusan di lutut Bryan, “Maaf bikin kamu keingetan—”
Bryan memotong kalimat Canti, jarinya lebih dulu membingkai wajah Canti sebelum si gadis sempat membuka kembali tuturnya, “Aku masih sayang kamu, Run. Kasih aku kesempatan kedua, kasih aku kesempatan untuk ganti semua kesalahan aku,” Bryan mengakhiri permohonannya dengan memaksa Canti masuk ke dalam dekapannya. Permohonan yang selama ini Ia pendam akhirnya menemui waktu untuk dituturkan pada si gadis. Permohonan yang paling tulus Bryan panjatkan pada Tuhan tiap kali tengah malam datang.
Canti membeku di posisinya, tak terpikir situasi berubah haru oleh permohonan tulus Bryan, bukan karena kisah sedihnya. Niat awal Canti untuk berkisah tentang isi kepalanya berganti agenda menjadi wisata masa lalu, wisata yang bermula dari rasa penasaran Canti tentang perasaan Bryan yang sebenarnya untuk dirinya, “Biy, aku gak bisa— kita gak bisa dipaksakan untuk bersatu lagi—”
“We can work it out.”
“Engga,” balas Canti tegas, “kamu jauh lebih paham alasan aku.” Canti beranjak dari sofa, meninggalkan Bryan dan permohonan yang tidak dapat Ia kabulkan. Canti berjalan cepat ke arah kamar, namun sayang, Bryan berhasil menghentikan langkahnya dengan memberikan rangkulan dari belakang, “Biy, tolong—jangan gini.”
“Aku mau kamu kembali ke hidup aku, Runa,” Bryan memasrahkan wajahnya di tengkuk Canti, menyelami harum tubuh yang begitu Ia rindukan. Skenario terburuk tentang Canti telah lenyap dari kepala Bryan, digantikan permohonan menggebu agar Canti mau memberinya kesempatan kedua untuk bersama. “Aku gak akan menjanjikan apapun, aku cuma butuh kesempatan kedua.”
“Gak ada perasaan yang tertinggal untuk kamu, Biy,” balas Canti lirih. Kepalanya merunduk, menyembunyikan wajahnya dari siapapun yang mungkin akan melihat perubahan air mukanya saat ini, “rasa sayang aku untuk kamu udah hilang bertahun-tahun yang lalu.”
Bryan melepas rangkulan tangan di perut Canti, berpindah tempat ke ruang kosong di depan Canti, “Kamu gak pernah bisa bohong sama aku, Run.” Bryan meraih rahang Canti, mengangkat wajah si gadis agar dua sorot mata saling bertemu, “kasih aku kesempatan untuk mengobati segala luka di diri kamu, Run.”
Canti menggeleng, kembali menolak permintaan Bryan, “Aku bisa mengobati semua ini sendiri—”
“Aku dan Boni gak akan pernah membiarkan kamu nangis sendirian, Run—”
“AKU BISA SENDIRI, BIY,” Canti menjerit, melepaskan rasa yang tertahan di dadanya, “aku bisa sendiri…,” lirihnya dengan kepala yang telah lebih dulu bersandar di dada Bryan, “aku bisa…”
“You got me…your titan—”
“Kamu manusia paling jahat, Biy…aku percaya kamu sebagai tempat aku berlindung, kamu tempat aku pulang, Biy…aku percaya kamu lebih dari apapun…tapi apa? Aku gak pernah cukup, segalanya aku kasih dan tetep gak bikin kamu ada di sisi aku. Gak cuma kamu yang menderita, Biy…aku…aku terjebak dalam pikiran aku. Pikiran bahwa aku murah, aku perempuan tanpa pendirian, perempuan yang mau ngasih segalanya untuk hubungan yang gak jelas akhirnya,” kalimatnya terputus oleh isak tangis. Pukulan di dada Bryan tak henti Canti berikan demi menyalurkan rasa sakit yang selama ini tak pernah Ia berani suarakan, “aku bekas kamu…sentuhan Yudha di badan aku gak pernah menghilangkan diri kamu dari badan aku. Aku kesiksa, Biy… Aku sayang Yudha, tapi setiap dia nyentuh aku, kamu selalu jadi satu-satunya orang yang muncul di kepala aku. Aku brengsek, aku benci kamu…”
“Runa—”
“Lihat kan kamu betapa murahnya aku memancing Reza untuk menikmati seluruh badan aku? Aku bingung, Biy. Aku kehilangan diri aku sejak lama, aku gak pernah kenal siapa aku, Biy… Kamu pergi saat aku mulai percaya dunia…,” Canti terduduk lesu di lantai. Segalanya terlalu rumit untuk Canti mengerti.
“Maaf, aku bener-bener minta maaf, Run.”
“Aku sayang kamu, Biy. Dengan trauma yang kamu kasih, aku tetep sayang sama kamu, Biy. Kamu laki-laki pertama yang aku sayang setelah Papa, kamu pacar pertama aku, Biy…Segala yang aku butuh untuk melawan dunia ada di kamu dan dengan sadarnya kamu ninggalin aku untuk Valerie… aku kurang apa, Biy?”
Bryan kembali meraih rahang Canti, mengangkat kepalanya agar Ia dapat menyaksikan langsung tangis di wajah Canti. Tangis yang tertahan bertahun-tahun lamanya, keluh terpendam dengan Ia sebagai pangkalnya. Bryan tak henti melayangkan permohonan maaf melalui bisikan, namun, Canti masih sibuk dengan curahan isi hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya. Bryan mendekatkan wajahnya, memangkas jarak dengan Canti untuk memberikan tindakan afirmasi yang selalu berhasil menenangkan si gadis, dulu, saat masih bersama. Bryan melandaskan bibirnya pada milik Canti, menyalurkan segala rasa yang Ia punya untuk mengentaskan tangis si gadis.
Canti tak menerima, pun tak menolak. Dalam pejaman mata, Canti tak berusaha menghentikan aliran air mata. Canti ingin menunjukkan pada Bryan tentang rasa tersiksa dirinya selama berpisah, betapa banyak rasa sakit yang Ia pendam. Semakin dalam Bryan memagut bibirnya, semakin dalam pula tangis Canti. Bibir yang menjadi sumber kekuatan dan ketenangannya semasa kuliah kembali menyentuh miliknya setelah sekian lama tak pernah Ia rasa.
Tangis Canti menular pada Bryan, rasa bersalah atas luka yang Ia torehkan di hidup Canti membuat air mata lolos dari pelupuk. Bryan menyudahi pagutan bibirnya, mengambil jeda sejenak untuk sama-sama meresapi tangis. Canti dengan rasa sakit terpendamnya dan Bryan dengan rasa bersalahnya. Dua kening saling menempel, dua telapak tangan saling menaut.
“Aku yang membuat luka kamu, jadi biarkan aku yang mengobati, Run.”
“Biy…”
“Kasih aku waktu 3 bulan, Run. Kalo emang kamu tetap gak bisa percaya sama aku, kamu tetap merasakan sakit yang sama, kamu boleh tinggalin aku, Run.”
Canti melepaskan jarinya dari milik Bryan, berpindah pada dada bidang si lelaki, “Kasih aku bukti bahwa aku gak salah menaruh perasaan sama kamu, Biy. Kasih aku bukti bahwa “kita” bukan sebuah kesalahan, Biy.”
“I will, Run. Aku bener-bener gak akan menjanjikan apapun, kamu boleh pergi dari sisi aku kalo aku masih jadi Biyan si brengsek.”
Canti memulai kembali pagut dua bilah bibir, saling membagi rasa melalui pertukaran isi rongga mulut. Lengan kurus Canti melingkar di leher Bryan, mengeratkan tubuhnya pada tubuh Bryan. Begitu pula Bryan, tangan kekarnya mencengkram punggung Canti, turut merekatkan tubuhnya pada tubuh Canti, “Aku mohon, Biy.”
Bryan merapihkan anak rambut Canti, memberikan kecupan di tiap-tiap kelopak mata Canti yang basah oleh tangisan. Bryan bangkit dari duduknya, mengulur tangan untuk membantu Canti bangkit, “Kamu pasti capek nangis terus, aku kelonin kamu tidur di kamar,” permainan alis Bryan memberi tanda pada Canti untuk menerima uluran tangannya lalu berpindah ke kamar, “ayo.”
“Gendong punggung boleh gak? Aku lemes.”
Bryan menyengajakan decak sebal, berkacak pinggang untuk memarahi tingkah laku Canti, “Makanya kalo disuruh makan tuh nurut. Ayo naik sini.”
“Terima kasih, Biyan titan.”