Pintu cafe terbuka dengan lebar, ada Harvi yang berdiri disana dengan nafas yang tersenggal-senggal. Terlihat dengan jelas dada bidang lelaki itu naik turun dengan cepat seperti tanda kegusarannya.

Ia langsung menghampiri meja yang disana berisikan Ziva, Naros, Jalu, dan Bang Jeff. Rei ada di meja lain bersama teman-temannya, tampak sedang mengerjakan sesuatu.

“Hei kenapa? Ini koper siapa? Kamu mau kemana? Kenapa ga hubungin aku?”

Harvi datang dengan pertanyaan yang sedari tadi melayang di pikirannya. Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir mungil yang ada didepannya. Bibirnya tertutup rapat bak mengunci semua jawaban dari pertanyaan yang telah terlontar.

“Wei, duduk dulu. Tenangin lo dulu.”

Ucap Naros tak digubris oleh Harvi. Ia masih lekat memandangi wajah Ziva yang sedari tadi tertunduk lesu. Entah apa yang ada dipikiran wanitanya ini? Ia ingin wanitanya ini mencurahkan beban pikiran yang ia miliki padanya. Sumpah, keheningan yang dilakukan Ziva membuatnya sangat tersiksa.

Harvi menuruti saran Naros, ia duduk di samping Ziva. Naros dan Jalu pindah ke meja yang lainnya. Sedangkan Bang Jeff kembali ke kasir. Mereka memberikan ruang kepada Harvi dan Ziva.

“Ziva, kenapa?”

Tak ada jawaban. Masih sama. Wajahnya menunduk seperti tak menghiraukan kehadiran Harvi. Keheningan Ziva ini membuat Harvi berlutut, mengangkat dagu wanitanya itu agar ia dapat menatap mata Ziva.

Mata gadis itu bernanar, Harvi tak sanggup melihatnya. Tapi ia harus mendapatkan jawaban dari alasan wanitanya ini pergi membawa koper tanpa menghubunginya.

“Kalau kamu gak mau cerita ke aku gak papa. Aku tunggu sampai kamu mau cerita.”

“Ga gitu, Vi.”

“Terus gimana?”

“Papa pailit”

Kalimat itu seperti petir disiang bolong bagi Harvi. Jalu dan Naros yang berada di meja sebelah pun juga terkejut mendengar apa yang diucapkan Ziva.

“Terus kenapa kamu bawa koper ginia? Papa kemana?”

Tidak, ia tidak boleh mengatakan bahwa ia pergi dari rumah karena papanya ingin menjodohkannya. Ziva hening, memikirkan jawaban apa yang masuk akal untuk diberikan kepada Harvi.

“Ziv?”

“Papa di Surabaya, nenangin diri.”

“Terus kamu disini kenapa? Kenapa ga cerita sama aku dari kemarin?”

“Aku gak mau nyusahin kamu, Vi.”

“Oke sekarang kamu maunya gimana? Kamu mau ngapain sekarang? Aku bisa bantu apa?”

“Aku mau kerja, Vi. Buat lunasin hutang papa aku.”

“Oke, aku bantu cari kerja ya? Berapa hutang papa kamu?”

Ziva terdiam. Jelas tidak mungkin ia mengatakan nominal hutang papanya. Sangat jelas itu akan menjadi beban Harvi. Pasti lelakinya ini akan melakukan 1001 cara agar dapat membantunya.

“Kamu gaperlu tau, Vi. Ini urusan aku.”

“Kenapa kamu gamau terbuka sama aku sih Ziv?”

Bukannya ia tidak mau, ia segan untuk membicarakan masalah uang dengan Harvi yang berjuang untuk hidup di dunia ini seorang diri. Harvi yang kerja kesana kemari untuk membiayai hidup dan pendidikannya. Harvi yang bekerja keras demi menggapai impiannya. Ziva malu, benar-benar malu.

“Sorry nyela, gue bisa ngasih kerjaan ke Ziva kok Vi kalau dia mau,” sela Bang Jeff.

“Serius bang? Bang lo bos terbaik gue. Ziva gimana?”

“Mau kok aku mau Vi kerja apapun yang penting bener.”

“Oke lo bisa mulai kerja disini besok Ziv, jadi kasir ya.”

“Makasih bang, makasih banyak,” ucap Harvi dan Ziva bersamaan.

Teringat sesuatu, dimana gadis ini akan tingal? Harvi berpikir keras dimana ia bisa membawa Ziva ke tempat istirahat sementara. Tiba-tiba ia teringat bahwa keluarga Rei memiliki usaha kos-kosan.

“Rei! Sini dulu. Please.”

Rei yang mendengar namanya sontak menghampiri Harvi dengan kebingungan. Harvi menjelaskan keadaan Ziva dan menanyakan apakah ia masih memiliki kamar kos yang kosong untuk Ziva.

“Hoalah, santai. Ada kok ada. Yaudah ayo sini gue anter sekalian. Kerkel gue bisa gue tinggal bentar kok.”

Rei, Jalu, Naros, Harvi dan Ziva kini berada di mobil Jalu. Mereka berempat sedang mengantar Ziva ke kos milik keluarga Rei. Sementara Ziva, gadis ini sedari tadi tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih kepada Harvi dan teman-temannya. Lagi-lagi ia merasa sangat beruntung memiliki Harvi dalam hidupnya.