145.

Lalitha POV

Terlihat dari jendela Nahen sudah menungguku di luar. Aku segera keluar untuk menghampiri dia.

“Lo kenapa dah?” tanyaku.

“Gua puyeng di rumah, mending keluar deh sekalian kan ngajak pacar jalan-jalan,” jawab Nahen.

“Pacar pura-pura.”

“Calon pacar asli,”

Aku memutar bola mataku setelah mendengar perkataan itu.

“Nyokap sama bokap lo belum balik Tha?” tanya Nahen.

“Belum”

“Yaudah naik.”

Aku menuruti titahnya. Aku dan dia menaiki motor berkeliling Kota Bandung, entah apa yang ada dipikirannya aku belum berani bertanya padanya.

“Tha, cafe biasa enak kayanya deh,” ajak Nahen.

“Oke ayo,”

Cafe ini tempat ternyaman kedua setelah rumah, karena menampilkan pemandangan Kota Bandung yang indah apalagi saat malam hari terlihat lampu-lampu yang menghiasi kota ini.

Setelah sampai dan memesan, aku memilih tempat di luar ruangan dengan kursi panjang dan meja yang menghadap pemandangan kota. Suasana sangat hening, aku dan dia sibuk dengan ponsel masing-masing sekitar 10 menit sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.

“Na, papah ya?” tanyaku.

Dia menyimpan ponselnya, memiringkan duduknya dan terdiam menatap aku yang duduk di sampingnya.

Aku menghela napas. “Gak mau cerita nih?”

“Papah punya anak selain gue,”

“Hah?” sahutku kaget.

“Gue punya sodara tiri Tha.”

“Gimana ceritanya?”

“Iya jadi tadi papah chat gue dia minta maaf karena udah nyembunyiin ini, egois gak sih? Alesannya karena situasi gak memungkinkan, iyalah gimana mau memungkinkan kalau kita berdua dikenalin pasti kita berdua bikin rencana biar papah gagal nikah kali,” jelasnya.

Demi Tuhan aku sangat kaget mendengar penjelasan itu.

“Terus papah lo bilang sodara lo itu siapa?”

“Gak, papah gak bilang dan gue gak bales lagi chatnya.”

Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya, menepuk punggungnya pelan.

“Sabar ya, gue tau rasanya di bohongi gimana,” ucapku dengan sedikit harapan kalau ini bisa menenangkannya.

Dia membalas pelukku. “Makasih Tha, gue kalau udah cerita ke lo terus dapet peluk gini rasanya lega banget.”

“Lo gimana sama nyokap bokap? Udah ngasih tabletnya Kak Nathan?” tanya Nahen.

“Belum, gue gak ada nyali buat ngasih itu. Gue gak tega, gak mau liat mereka nangis,” jawabku.

“Lambat laun lo harus ngasih itu Tha,”

“Iya gue tau itu.”

Tak lama pesananku dan dia datang. Di tengah sedang asik makan dan bercanda, ponselku berbunyi.

Papah

Nama itu muncul di layar ponselku, dengan sedikit rasa kesal aku menjawab telepon itu.

“Halo,”

“Dimana kamu? Pulang!”

“Ya,” ucapku lalu memutus panggilan itu.

“Na, gue disuruh pulang.”

Nahen mengiyakan ucapanku. “Yaudah ayo balik.”

Setelah sampai di depan rumahku, aku segera turun dari motor Nahen dan memberikan helm itu kepadanya.

“Makasih Na,” ucapku.

“Gue yang makasih, oh ya Tha kalau ada apa-apa cepet telpon gue.”

“Iya oke bye,” pamitku sambil membuka gerbang rumah.

Setelah aku menutup gerbang, terdengar Nahen menyalakan motornya dan pergi meninggalkan rumahku.