152

Setelah mengetahui apa yang terjadi pada Lalitha tanpa pikir panjang Nahen berlalu meninggalkan teman-temannya.

“Hen, mau kemana dah?” tanya Jovan.

“Iya ni anjir apa banget baru juga setengah jam woy!” seru Arkasa.

“Iya nih buru-buru amat bos,” ucap Aurellio.

“Litha di UGD anjing!” teriak Nahen sembari berjalan dan memakai jaket hitamnya.

“Kalian gak usah ikut, gua aja,” lanjut Nahen.


Sesampainya di Rumah Sakit, Nahen segera menuju UGD mencari keberadaan Lalitha. Ia membuka gorden satu persatu hingga ia menemukan keberadaan Lalitha yang masih memejamkan mata ditemani oleh kedua orang tuanya. Terlihat pada pergelangan tangan kiri Lalitha terbalut oleh perban dan “gips?” gumam Nahen.

Haris dan Gloria kaget karena Nahen membuka gorden tanpa permisi.

“Nahen, kenapa kesini?” tanya Haris.

Alih-alih menjawab, Nahen malah balik bertanya. “Litha kenapa om?”

Haris beranjak dari duduknya dan merangkul Nahen. “Yuk di luar ngomongnya.” Nahen pun mengikuti kemana langkah Haris.

“Om tau kamu khawatir ya sama Litha? Litha tadi menyayat tangannya di depan saya dan istri saya dikarenakan kami tidak percaya dengan perkataannya atas kematian Kak Nathan satu tahun lalu, Nahen ingat kan?”

“Om, tau ga kalau Litha itu tertekan sama kalian? Kalian sama egoisnya dengan orang tua saya. Bedanya saya dibohongi untuk kepentingan Papah saya, kalau Lalitha ditekan untuk menjadi sempurna seperti yang kalian inginkan.”

“Iya saya tau itu Nahen. Kami sudah sadar sekarang, kami telah membaca semua catatan Nathan. Saya benar-benar menyesali semua perbuatan saya,” sesal Haris.

“Penyesalan memang selalu datang belakangan om, saya harap om bisa memperlakukan Lalitha lebih baik lagi,” pinta Nahen. “Jadi sekarang keadaannya gimana om? Kenapa sampai ada gips? Parah sampai patah tulang kah?” tanya Nahen polos.

“Haha kamu ini, ya kali cuma kena pisau sampai patah tulang, Litha cuma menyayat tangannya, emang lukanya kecil, tapi dalam dan itu mengakibatkan dua tendonnya putus dan arterinya sedikit rusak,” jelas Haris.

Nahen tersentak kaget. “Putus om?”

“Iya, waktu pemulihannya bisa dua sampai tiga bulanan,”

Haris menghela napas pelan. “Nahen, om titip Litha sama kamu ya? Apalagi sekarang dia gak bisa gunain tangan kirinya untuk sementara, Litha juga sebentar lagi sadar kok paling besok udah boleh pulang.”

“Yuk ke dalam!” ajak Haris sembari menepuk pundak Nahen.


Sisi lain setelah Haris dan Nahen pergi meninggalkan Gloria dan Lalitha. Gloria tampak pucat, ia sangat terlihat khawatir dengan anak semata wayangnya. Ia kembali menangis, menyesal akan perbuatannya selama ini kepada Litha.

Ia mengusap pipi halus yang tadi ia tampar. “Sakit ya nak? Maafin mamah, mamah minta maaf, mamah gak tau kalau kamu setertekan itu.”

Gloria menggenggam tangan Lalitha sembari memandangi wajahnya. Ia mengambil tablet yang terletak di atas nakas sebelah tempat tidur Lalitha. Gloria membuka catatan Nathan yang belum tuntas ia baca.

1 Maret 2020 Gue ingin mati, mamah terus mendesak gue buat jadi sempurna.

01 September 2020 Gue mulai beli apel, gue harus ngumpulin 200 biji udah itu gue bubukin tuh biji.

9 Desember 2020 Akhirnya bijinya terkumpul, berkat dibantuin Litha juga. Maaf ya dek gue ngibulin lo kalo itu buat tugas praktek. Iya sih praktek, praktek bundir

11 Desember 2020 Sudah waktunya, Nathan minta maaf sama kalian. Nathan capek banget, lelah banget terutama sama Mamah. Nathan emang udah kepikiran ini dari dulu, kalau sewaktu-waktu kalian menemukan catatan ini Nathan bener-bener minta maaf. Jangan salahin Litha karena dia ga salah, tolong terimain kenyataan kalau Nathan sudah ga ada, ini pilihan Nathan, ini keputusan Nathan. Nathan mohon jangan perlakukan hal yang sama ke Lalitha. Nathan ga mau Litha merasakan apa yang Nathan rasakan, jadi boneka yang bisa di pamerkan.

Gloria tak sanggup menahan tangis, ternyata dirinya lah yang menyebabkan anak laki-lakinya pergi. Ternyata rasa egois dan gengsi Gloria terhadap teman dan saudaranya yang menyebabkan ini semuanya.

“Nathan maafin mamah” lirih Gloria.

Disaat Gloria menangis ternyata Lalitha sudah sadar dan sedang memandanginya. Lalitha ikut menangis merasakan kesakitan yang dirasakan oleh Ibunya.

“Mah,” panggil Lalitha.

Gloria tersadar ketika Lalitha memanggilnya, ia bergegas menyeka air matanya, “Eh Litha udah sadar? Sebentar ya mamah panggilkan dokter,”

Lalitha memegang tangan Gloria. “Mah, jangan menangisi kepergian Kak Nathan, jangan menyesal akan semua itu. Itu sudah keputusan Kak Nathan, Litha gak mau denger mamah nangis lagi setiap malam, Litha gak tega.”

Mendengar ucapan anaknya Gloria hanya tersenyum tipis, tak sadar air matanya kembali turun membasahi pipi Gloria.

Lalitha yang melihat itu mencoba menyeka air mata Gloria dengan tangan kanannya. “Mamah udah jangan nangis ya, Litha jadi ikut sedih.”

Gloria merasakan tangan hangat Lalitha menyeka air matanya. Sungguh ia sebetulnya tidak ingin terlihat lemah seperti ini di hadapan anaknya.

“Iya sayang, terima kasih sudah hadir di hidup mamah dan papah. Terima kasih sudah bertahan sampai saat ini ya... Terima kasih atas segala pencapaian kamu, mamah sama papah bangga punya kamu. Mamah minta maaf atas perlakuan mamah dan papah selama ini ya? Kamu mau kan kita ulang dari awal lagi, kita hidupkan kembali kehangatan di keluarga kita?”

Lalitha mengangguk pelan menandakan bahwa ia memaafkan segala kesalahan kedua orang tuanya.

“Kamu jangan nangis dong masa anak mamah nangis?” ucap Gloria sambil menyeka air mata di pipi putrinya.

Dari jauh ternyata Haris dan Nahen ikut berlinang air mata melihat pemandangan anak dan ibu yang cukup mengharukan di depan mereka.